Akhir-akhir ini aku merasa ada yang berbeda dengan diriku. Sesuatu yang aku sendiri pun tak paham. Belum pernah seumur hidupku aku merasa sekecewa dan semarah ini pada kehidupan. Barangkali aku telah tiba pada titik nadir ku...
Tak bisa ku pejamkan mata ku ini barang sejenak. Sudah berusaha berkali-kali ku coba menetralkan hatiku yang tengah bergemuruh ini, tak lupa pula ku coba menenangkan pikiranku yang tengah carut marut ini tapi untuk kesekian kalinya aku gagal..
Tak terelakan lagi, aku tak tahan terus terusan memaksa diri ini untuk tak beranjak bangun dari matras tipis ini. Kubiarkan diriku bangkit, lantas berusaha menyalakan lampu. Tapi ku urungkan niatku, sebab ku pikir akan lebih nyaman bila aku berbaring di tempat tidurku yg kusam dan peot ini dalam keremangan malam. Lantas setelah beberapa saat aku mencoba menyelami kegaduhan dalam kepala ku. Aku tak dapat menahan diri untuk tidak menangis.
Aku kecewa, ku katakan sekali lagi betapa diri ini kecewa. Untuk kesekian kalinya aku harus merelakan do'a- do'a ku tengelam dalam kesia-siaan. Lantas ku dengar jeritan hatiku merutuki nasib hidupku yang tak kunjung mujur. Ingin ku tertawakan deretan kata mutiara kehidupan yang dulu sering ku gaungkan. Nyatanya, semua itu hanyalah kata-kata manis yang sama sekali tak bisa di terima sebagai sesuatu yang masuk akal bilamana dalam posisi yang tidak mengenakkan seperti sekarang ini. Dimana keadilan itu?, tak ada. Dunia sejak awal memang tidak adil. Dan aku tidak seharusnya berpura-pura tegar menerima ketidakadilan ini. Aku muak dengan segala omong kosong yang mengatasnamakan warna warni perjalanan kehidupan. Ini bukan kehidupan. Ini sudah seperti neraka sebab kehidupan seperti apa sekiranya yang kan memberi makna bilamana yang terasa hanya penderitaan dan kesengsaraan.
Dua puluh empat tahun sudah aku menjalani kehidupan di atas muka bumi ini. Ironisnya presentase warna gelap hitam lebih dominan mewarnai hidupku ketimbang warna yang lebih indah lainya. Lantas tak segampang itu bagi diri ini untuk sepakat menyatakan kehidupan bak pelangi yang indah. Sepatutnya diriku menyatakan bila aku adalah salah satu dari sejumlah manusia yang entah kenapa bernasib tak beruntung. Bukan aku tak ingin bersyukur atau tak merasa cukup dengan apa yang aku punya tapi kau bagaimana lagi, orang-orang bisa dengan mudahnya mengatakan untuk tetap bersyukur dan bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani walau seberat apapun masalah dan derita yang harus dihadapi. Tapi mereka tidak di posisi kami yang tidak beruntung ini. Mereka tidak bisa memahami apa yang kami rasakan karena mereka bukanlah kami. Sejujurnya, bila kami diberi pilihan untuk lebih memilih mati muda atau tak terlahir ke dunia ini dan atau harus menjalani kehidupan yang penuh penderitaan ini. Tentu saja pilihan pertama dan kedua lebih kami inginkan.Â
Bayangkan aku sudah muak dengan segala tetek bengek penderitaan ini. Apa yang bisa ku banggakan dari hidupku. Aku terlahir dari seorang ibu yang tak bersuami. Jangan tanyakan siapa ayahku sebab ibu sendiri pun tak pernah mau repot-repot menjelaskan darah lelaki mana yang mengalir di dalam tubuhku. Aku hanyalah seorang anak jadah pembawa sial. Begitulah dia merutuki ku setiap kali dia pulang ke kontrakan sumpek ini dalam keadaan mabuk setelah berpesta pora di diskotik bersama teman-temannya. Jelas, dia tak pernah meninggalkan kehidupan malam yang telah mendarah daging dalam hidupnya.
Aku juga tak berani menghentikan kegilaannya ini sebab aku tau aku tak lebih baik dan tak lebih suci dari dirinya. Mana boleh aku marah padanya sebab walau hidupnya jauh dari kata bermoral, sejak aku masih meringkuk didalam rahimnya, aku telah hidup dari uang hasil jerih payahnya bergelut di dunia kelam itu. Mana berani aku protes kepadanya sebab satu-satunya yang menginginkan kehadiran ku di dunia ini hanya dia seorang. Dia dengan kerelaan tidak memilih mengugurkan aku dari kandungannya meskipun tak ku pungkiri dia tidak sepenuhnya sungguh menginginkan aku.
Bila dirumah aku tak mendapatkan kehangatan kasih sayang seorang ibu dan hangatnya seorang ayah. Aku tak punya siapapun yang bisa ku sebut keluarga. Di sekolah pun dulu juga tak jauh berbeda. Teman-teman sekolah ku tak ada yang mau berteman denganku sebab kata mereka aku anak haram. Orang tua mereka tak setuju jika anak-anak nya bergaul dengan anak seorang pelacur. Demikianlah alasan itu juga yang akhirnya membuat ku tak ingin datang ke sekolah lagi. Pada akhirnya aku harus berpuas diri dengan hanya memiliki ijazah sekolah dasar saja.Â
Lucunya hidup sebab nasib ternyata turun temurun, garis takdir berbentuk melingkar membuatku terperangkap dalam kenistaan dan kehinaan hidup. Beberapa orang memang dilahirkan ke dunia untuk merasakan nikmat kehidupan dunia. Sejauh kaki melangkah, yang mereka temui hanyalah satu keberuntungan dan keberuntungan lainnya. Kehidupan mereka nyaris sempurna. Punya keluarga yang harmonis, orang tua berpendidikan, lingkungan yang sehat dan positif, fisik yang menarik, harta dan kecerdasan. Sayangnya ada pula beberapa orang yang terlahir ke dunia ini hanya untuk satu tujuan yaitu berkubang dalam satu penderitaan ke penderitaan lainnya.
.....
Ada satu hal yang barangkali sering membuat orang lain iri padaku yang entah bagaimana harus aku syukuri atau aku rutuki. Banyak yang bilang aku lumayan cantik seperti gadis Kalimantan. Kulit ku putih kemerahan, mata kecil, rambut lurus hitam dan bertubuh mungil. Nyatanya kecantikan yang sering disanjung orang ini malah menjadi petaka bagi diriku sebab karna alasan ini juga aku di kaderisasi ibuku untuk meneruskan karier gemilangnya sebagai wanita penghibur.
Entah sudah berapa banyak lelaki hidung belang yang telah aku layani. Yang jelas aku telah memulai kehidupan hitam ini sejak aku berusia enam belas tahun. Jangan kira aku menikmati nya. Bayangkan saja diusia muda dimana seharusnya aku bisa menjalani hidup ku sebagai gadis remaja yang berbahagia, aku terpaksa oleh keadaan untuk menjalani siksaan batin, fisik dan mental dengan membiarkan tubuhku dijamah dan digerayangi oleh sejumlah lelaki dewasa yang sama sekali tidak aku kenal. Aku dipaksa oleh nasib untuk berdamai dan terbiasa dengan segala kenistaan dan kehinaan ini. Aku masih ingat betul bagaimana klien pertama ku telah merenggut kesucianku. Dia mengaku sebagai seorang mahasiswa di kampus ternama dikota kami, kota yang dikenal sebagai kota pelajar. Â Aku yang masih belia tak bisa mengerti dan tak habis pikir bagaimana mungkin seorang berpendidikan tinggi seperti dia ternyata bejatnya tak jauh beda dengan lelaki belang yang tak mengenyam bangku pendidikan dan tergila gila dengan urusan selangkangan.Â
Jujur saja, setelah delapan tahun aku berkiprah di dunia kotor ini. Aku telah menemani berbagi macam manusia yang dengan segala keunikan dan kelebihan nya; memiliki jabatan mentereng, uang yang banyak, ketampanan dan kecerdasan. Nyatanya tak ada yang mampu menyelamatkan mereka dari godaan nafsu yang satu ini. Katakanlah, barangkali aku sudah hampir gila dengan rutinitas kotor yang semakin hari semakin menggerogoti jiwaku. Semakin lama dan semakin bertambah jumlah lelaki yang telah kulayani, semakin hampa dan semakin tidak berarti diri ini.
Semua hasil, uang dan hadiah barang mewah seperti tas dan sepatu yang para klien itu berikan padaku tak membuat ku merasa bahagia dan puas dengan kehidupan ku ini. Memang, untuk apa pula aku harus merasa puas dan senang dengan kehidupan semacam ini. Walaupun aku dikenal sebagai salah satu bunga favorit di antara klien-klien kami tapi aku merasa sama sekali tak beruntung dan tak berbahagia dengan kenyataan itu.Â
Sebenarnya beberapa kali terlintas dibenak ini untuk mengakhiri segala penderitaan ini. Bukankah aku masih ada pilihan. Bilamana preman-preman beringas suruhan madam Ratna tak bisa ku lawan dan tak ada kemungkinan bagi diri ini untuk bisa melarikan diri lagi dari pekerjaan nista ini maka satu-satunya pilihan yang tersisa adalah menjemput kematian.Â
Tapi aku tak pernah benar-benar berani untuk menjemput kematianku sendiri. Bukan, bukan karena aku takut mati atau takut dengan penderitaan lainnya yang barangkali tengah menunggu seorang pendosa seperti ku. Sesungguhnya yang selalu menghalangi niatku untuk bunuh diri adalah ketakutan bila nantinya tuhan enggan bahkan sekedar untuk menjatuhkan vonis atas diriku. Sebab aku terlalu hina, terlalu kotor dan nista bagiNya.Â
Maka dari itu aku memilih bertahan dan tetap melanjutkan hidupku dalam kehinaan ini. Satu-satunya yang menjadi penghiburku dan memberi kebahagiaan bagi diri ini adalah kesempatan untuk berkunjung ke rumah bapa Allah setiap Minggu pagi. Aku sengaja meminta jatah libur sehari pada hari itu setiap Minggu agar aku bisa meminta pengampunan dosa, sebab di rumah tuhan, di sanalah aku masih bisa merasa tenang. Satu-satunya aku tidak merasa ditinggalkan dan dihakimi. Walaupun seringkali aku berpikir barangkali bunda Maria yang suci dan perawan tak sudi menerima tamu, seorang pendosa kotor dan hina seperti ku tapi putranya sang juru selamat, ku harap kan menyelamatkanku dari ketidakadilan ini..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H