Sudah hampir tiga puluh tahun berlalu, sudah begitu banyak sekali perubahan yang terjadi di dalam hidupku dan juga orang orang terdekatku. Sudah banyak pula peristiwa-peristiwa aneh bin ajaib yang telah memberi ragam warna, rasa dan makna di hidupku sebagai seorang mahluk tuhan bernama manusia.
Pada akhirnya, garisan nasib telah menentukan segalanya. Paham betul bilamana semuanya dengan sendirinya mengalir, direncana atau tak disengaja, semua pada akhirnya menemukan jalannya untuk mengisi setiap potongan puzzle yang masih kosong dari rekam jejak kehidupanku yang penuh kejutan.
Oh tuhan, tetapi naasnya, kenangan pahit itu juga masih tetap menggantung, mematung seolah tak berniat untuk sedikit saja bergeser dari bayangan masa laluku, merampok hari-hariku dimasa kini dan meneror masa depanku habis-habisan.
Sebenarnya tak pantas dan tak bijak pula bila diriku, seeongok pohon tua yang berteman setia dengan senja masih berani menyebut soal masa depan sebab barangkali bagi diriku satu-satunya masa depan yang tergolek pasti di depan mata adalah kematian.
Aku tau sampai kapanpun aku takkan pernah bisa dan takkan pernah mampu untuk menghapus  atau bahkan sekedar melupakan sedikit saja dari beberapa keping potongan mozaik memori masa silam ku yang pernah membuatku begitu marah dan putus asa hingga sempat berniat untuk mengakhiri saja kehidupanku yang terlalu rumit ini.
Entahlah, kerap kali aku bertanya tanya pada batinku. Apa aku harus menumpahkan semua sumpah serapah pada dzat mulia yang telah menciptakan ingatan  atau barangkali ada baiknya aku sujud syukur sebab daya ingatanku yang kuat akan kenangan yang tidak biasa itu selalu menghantuiku, mengingatkan diri ini tentang dosa dosa masa lalu ku yang belum tuntas ku bayar. Ya, aku memang berdosa, ku akui bahwa diriku telah berdosa, sungguh sangat berdosa.
Setidaknya dosa dosa itulah yang sampai saat ini telah memaksaku untuk tetap hidup dan menjalani penyiksaan batin tak terperihkan sebab itulah cara terakhirku untuk dapat menebus harga mati dari dosa besar itu. Ironis memang
Takkan dapat aku pungkiri, tak jua kan kubiarkan hati ini berdusta lagi dan melarikan diri. Sekarang aku pasrah, biarlah, biarlah ku katakan saja bahwa rasa bersalah itu telah mengakar kuat di setiap sudut hatiku , aku sadar betul bila  rasa bersalah itu akan kubawa sampai di tempat pembaringan terakhir ku.Â
Barangkali hanya ketika jasad dan ruh berpisah, Â maka disitulah rasa bersalah itu bisa ku urai, ku lerai dan ku cerai. Walau sebenarnya jauh di dalam relung hatiku masih ragu , barangkali tak juga kematian akan dapat memadamkan nyala api rasa bersalah yang telah lama menggelaora di dalam dada ini.
Masih kuingat dengan jelas senyum tulus dan air mata bening itu. Aku tau dia terluka dan akulah penyebab dari semua luka itu. Untuk bisa menggandeng tanganku, dia harus terusir dengan hina dina dari keluarga yang telah memberikan banyak cinta untuknya.
Ku genggam erat jari tangan kanannya yang mungil, melangkah jauh keluar dari pintu gerbang rumahnya, tempat dia dilahirkan dan dibesarkan. Aku telah membuatnya menceraikan keluarganya. Akulah , akulah yang telah merampok dia dari ibu dan ayahnya, merampasnya dari Tuhannya.
Dia yang berwajah cantik oriental, berkulit putih bening dan bertubuh mungil tampak lemah berjalan pelan mencoba mengimbangi langkah kakiku, berat barangkali baginya untuk bergerak dengan leluasa sebab perutnya yang sudah membuncit membuatnya sedikit kewalahan.
Namanya Meilin Goenawan, gadis asal Sumatera peranakan Tionghoa yang merupakan teman kuliahku di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Tak pernah terbayangkan oleh kami saat itu bahwa hubungan kami yang begitu intim pada akhirnya akan berujung mala petaka. Sebenarnya aku malu untuk mengatakan ini, tapi bagaimanapun semua telah terjadi.Â
Aku yang dibesarkan di tengah keluarga Islam jawa yang memegang kuat prinsip nilai-nilai keagamaan nyatanya merupakan produk yang gagal. Setelah kugauli dia sebanyak tiga kali, Meilin akhirnya berbadan dua. Kami yang masih muda dan tidak bisa berfikir dengan logis dan rasional akhirnya memutuskan untuk menggagalkan kehamilan itu. Tapi semuanya sia-sia. Tak bisa disembunyikan dan di tutup tutupi lagi akhirnya ku beranikan diri untuk menikahi Meilin yang usia kandungan nya saat itu sudah 5 bulan.
Karena insiden kehamilan itu, kami tidak bisa menyelesaikan studi kami. Dilain sisi aku tak berani memberitahu keluargaku perihal pernikahan ini sebab aku tau mereka akan begitu kecewa dan murka. Lebih lagi ummi ku yang sebenarnya telah memilihkan calon istri untukku, anak lelaki satu-satunya dikeluarga kami sehingga hanya pamanku yang tinggal di Jogya yang tau perihal peristiwa ini.
Sementara itu, keluarga Meilin marah besar saat mereka tau putrinya telah hamil dan terpaksa hengkang dari pendidikannya. Lebih lagi saat mereka tau bahwa Meilin kini telah memeluk keyakinan yang sama dengan ku. Saat kami berkunjung ke Palembang untuk meminta restu orang tuanya. Tak sudi mereka bersua, enggan ibunya keluar dari kamarnya hanya ayahnya yang acuh tak acuh menatap kami dengan dingin.
"Terserah mei, sekarang jalani saja pilihan koe, mama dan papa sudah tidak mau tau. Pergilah dengan pilihanmu" ucapnya dingin
Saat itu kulihat hanya kepasrahan yang ada di dalam matanya. Aku tau mei begitu terluka. Dia telah mengorbankan segalanya demi cinta kami dan tak ada yang tersisa, dia hanya mengharapkan kasihku.
"Mas Ade, janji ya kamu ngak akan ninggalin aku. Aku udah ngelakuin semua nya buat kamu mas, cuman kamu yg aku punya saat ini" lirih nya lembut dalam dekapanku
Dia sering meminta ku bersumpah dengan nama tuhan yang ku yakini bahwa aku akan selalu mencintainya dan takkan pernah meninggalkannya. Barangkali dia sudah merasakan sesuatu yang janggal dihati nya, barangkali dia percaya bahwa cinta laki-laki memang seringkali  mudah berubah. Namun dia dengan kepolosannya selalu berharap bahwa kami akan selalu bahagia selama cinta yang kami miliki tetap ada, nyatanya tidak demikian...
Kehidupan tak pernah memberi jeda untuk setiap masalah hadir menyapa, tak juga mau memberi aba aba agar bersiap menyambut duka atau bahagia. Kehidupan pernikahan kami tidak pernah berjalan mudah. Aku yang telah menjadi suami terpaksa harus bekerja demi mencari nafkah bagi keluarga baruku. Tapi mendapatkan pekerjaan tidaklah mudah, lebih-lebih aku hanya bisa mengandalkan ijazah SMA sebab kuliah ku tidak pernah selesai.Â
Di titik rendah itu aku dilanda kebingungan sekaligus kekecewaan. Aku mulai menyadari bahwa aku belum siap dengan semua beban dan tanggung jawab itu. Aku tak sanggup menjadi kepala keluarga sebab aku sendiri masih bergantung dengan kiriman uang orang tuaku yang masih menganggap bahwa studi ku baik-baik saja.
Aku begitu egois saat itu. Jiwa mudaku selalu merasa tidak rela bila aku harus menghabiskan banyak waktu bekerja sebagai kuli bangunan, office boy, ojek atau pegawai fotokopi. Aku sering malu dengan bekas teman kuliahku. Aku masih tidak bisa meninggalkan semua kebiasaan lama ku sebelum menikah seperti nongkrong bersama teman-teman, pergi mendaki gunung dan keluyuran malam hari. Yang jelas aku tidak siap dan tidak rela untuk meninggalkan kehidupan masa lajangku, kebebasan masa mudaku. Sehingga hari demi hari membuatku begitu muak dengan semua tetek bengek urusan rumah tangga.
Belum genap dua bulan usia pernikahan kami, aku memutuskan untuk melarikan diri, meninggalkan semua tanggung jawab dan beban yang pada saat itu kupikir sangat tidak adil. Entah kemana rasa sayang dan cintaku untuk mei menguap. Tapi pada titik itu aku merasa bahwa kita tidak semestinya tetap bersama. Aku merasa bahwa aku berhak atas kebebasan ku lagi. Aku ingin menikmati hidup ku dan menjadi seorang suami atau nanti seorang ayah bukanlah hal yang kuharapkan.
Dua bulan sebelum memasuki pergantian tahun 2010, aku memutuskan untuk meninggalkan Indonesia, merantau ke negeri sakura sebagai TKI. Pilihan ini sudah lama ku pertimbangkan, kurencanakan matang-matang. Dengan bantuan salah satu teman kuliah dan paman ku di Jogya aku turut serta mendaftar, mengurus dan mengikuti program dari sebuah LSM yang bekerja sama dengan Disnaker Yogyakarta itu.Â
Tak lupa ku kabari orang tuaku di Semarang. Walau mereka awalnya sedikit kurang setuju tapi aku kekeuh dengan pilihan ku. Melihat kemantapan hatiku mereka akhirnya memberikanku restu dan dukungan dengan mengirimkan sejumlah uang untuk keperluan ku  sementara waktu disana nantinya. Ironisnya, sampai detik itupun mereka tidak pernah tau perihal Meilin yang telah ku nikahi dan tengah mengandung anak kami. Aku masih belum punya nyali, aku ciut aku seorang pecundang.
Tanpa pamit dan penjelasan, ku tinggalkan Meilin begitu saja. Padahal aku tau dia tengah hamil besar, beberapa bulan lagi dia akan melahirkan buah hati kami yang dulu tak pernah kuinginkan. Pada saat itu, aku hanya pamit untuk ke rumah temanku di kulon Progo dengan alasan mau minta tolong dicarikan pekerjaan. Aku tau bahwa Meilin akan sangat menderita nantinya, sendirian dia ku tinggalkan di tempat kos kami yang kumuh itu. Terbesit sedikit rasa kasihan dan rasa bersalah di hati ku saat itu tapi niatku telah bulat.
Berpuluh tahun berlalu, aku tak pernah tau seperti apa dan bagaimana Meilin sekarang. Nyatanya aku masih dalam pelarianku, tak berani bahkan untuk sekedar tau seberapa dalam luka telah ditorehkan di hatinya. Aku tetaplah diriku yang penakut, aku hanyalah diriku yang terlalu takut dengan tanggung jawab dan beban. Aku seorang pecundang yang tak pernah dewasa. Aku bahkan tak berani menghadapi rasa bersalah ku sendiri.
Dan seperti inilah diriku saat ini, Â aku hidup dalam lautan kesunyian dan sepi, aku terperangkap di sebuah negeri asing dimana tak dapat ku temui cinta yang ku rindukan. Angin musim semi yang berembus menerbangkan khayalanku, membawa diriku terbang jauh begitu jauh ke sebuah tempat dimana aku pernah menikmati bakpia kacang merah dengan seorang gadis manis bermata sipit yang begitu syahdu memanggil ku 'mas'. Sungguh aku rindu menikmati indahnya pantai Parangtritis di kala senja bersama dia, Meilin.
Seorang anak yang ku rampas dari ayah dan ibu nya, yang ku rampok dari dekapan Tuhannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H