Dia yang berwajah cantik oriental, berkulit putih bening dan bertubuh mungil tampak lemah berjalan pelan mencoba mengimbangi langkah kakiku, berat barangkali baginya untuk bergerak dengan leluasa sebab perutnya yang sudah membuncit membuatnya sedikit kewalahan.
Namanya Meilin Goenawan, gadis asal Sumatera peranakan Tionghoa yang merupakan teman kuliahku di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Tak pernah terbayangkan oleh kami saat itu bahwa hubungan kami yang begitu intim pada akhirnya akan berujung mala petaka. Sebenarnya aku malu untuk mengatakan ini, tapi bagaimanapun semua telah terjadi.Â
Aku yang dibesarkan di tengah keluarga Islam jawa yang memegang kuat prinsip nilai-nilai keagamaan nyatanya merupakan produk yang gagal. Setelah kugauli dia sebanyak tiga kali, Meilin akhirnya berbadan dua. Kami yang masih muda dan tidak bisa berfikir dengan logis dan rasional akhirnya memutuskan untuk menggagalkan kehamilan itu. Tapi semuanya sia-sia. Tak bisa disembunyikan dan di tutup tutupi lagi akhirnya ku beranikan diri untuk menikahi Meilin yang usia kandungan nya saat itu sudah 5 bulan.
Karena insiden kehamilan itu, kami tidak bisa menyelesaikan studi kami. Dilain sisi aku tak berani memberitahu keluargaku perihal pernikahan ini sebab aku tau mereka akan begitu kecewa dan murka. Lebih lagi ummi ku yang sebenarnya telah memilihkan calon istri untukku, anak lelaki satu-satunya dikeluarga kami sehingga hanya pamanku yang tinggal di Jogya yang tau perihal peristiwa ini.
Sementara itu, keluarga Meilin marah besar saat mereka tau putrinya telah hamil dan terpaksa hengkang dari pendidikannya. Lebih lagi saat mereka tau bahwa Meilin kini telah memeluk keyakinan yang sama dengan ku. Saat kami berkunjung ke Palembang untuk meminta restu orang tuanya. Tak sudi mereka bersua, enggan ibunya keluar dari kamarnya hanya ayahnya yang acuh tak acuh menatap kami dengan dingin.
"Terserah mei, sekarang jalani saja pilihan koe, mama dan papa sudah tidak mau tau. Pergilah dengan pilihanmu" ucapnya dingin
Saat itu kulihat hanya kepasrahan yang ada di dalam matanya. Aku tau mei begitu terluka. Dia telah mengorbankan segalanya demi cinta kami dan tak ada yang tersisa, dia hanya mengharapkan kasihku.
"Mas Ade, janji ya kamu ngak akan ninggalin aku. Aku udah ngelakuin semua nya buat kamu mas, cuman kamu yg aku punya saat ini" lirih nya lembut dalam dekapanku
Dia sering meminta ku bersumpah dengan nama tuhan yang ku yakini bahwa aku akan selalu mencintainya dan takkan pernah meninggalkannya. Barangkali dia sudah merasakan sesuatu yang janggal dihati nya, barangkali dia percaya bahwa cinta laki-laki memang seringkali  mudah berubah. Namun dia dengan kepolosannya selalu berharap bahwa kami akan selalu bahagia selama cinta yang kami miliki tetap ada, nyatanya tidak demikian...
Kehidupan tak pernah memberi jeda untuk setiap masalah hadir menyapa, tak juga mau memberi aba aba agar bersiap menyambut duka atau bahagia. Kehidupan pernikahan kami tidak pernah berjalan mudah. Aku yang telah menjadi suami terpaksa harus bekerja demi mencari nafkah bagi keluarga baruku. Tapi mendapatkan pekerjaan tidaklah mudah, lebih-lebih aku hanya bisa mengandalkan ijazah SMA sebab kuliah ku tidak pernah selesai.Â
Di titik rendah itu aku dilanda kebingungan sekaligus kekecewaan. Aku mulai menyadari bahwa aku belum siap dengan semua beban dan tanggung jawab itu. Aku tak sanggup menjadi kepala keluarga sebab aku sendiri masih bergantung dengan kiriman uang orang tuaku yang masih menganggap bahwa studi ku baik-baik saja.