Mohon tunggu...
frisilia utami
frisilia utami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa universitas negeri Yogyakarta

Hallo, aku Frisilia Utami, seorang gadis biasa yang punya ketertarikan yang besar terhadap dunia tulis menulis. Bagiku menulis adalah cara ku mengekspresikan banyak hal terkait dunia yang begitu luas di dalam pikiranku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Meilin, Gadis yang Ku Rampas dari Tuhannya

14 September 2024   13:02 Diperbarui: 14 September 2024   13:03 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku begitu egois saat itu. Jiwa mudaku selalu merasa tidak rela bila aku harus menghabiskan banyak waktu bekerja sebagai kuli bangunan, office boy, ojek atau pegawai fotokopi. Aku sering malu dengan bekas teman kuliahku. Aku masih tidak bisa meninggalkan semua kebiasaan lama ku sebelum menikah seperti nongkrong bersama teman-teman, pergi mendaki gunung dan keluyuran malam hari. Yang jelas aku tidak siap dan tidak rela untuk meninggalkan kehidupan masa lajangku, kebebasan masa mudaku. Sehingga hari demi hari membuatku begitu muak dengan semua tetek bengek urusan rumah tangga.

Belum genap dua bulan usia pernikahan kami, aku memutuskan untuk melarikan diri, meninggalkan semua tanggung jawab dan beban yang pada saat itu kupikir sangat tidak adil. Entah kemana rasa sayang dan cintaku untuk mei menguap. Tapi pada titik itu aku merasa bahwa kita tidak semestinya tetap bersama. Aku merasa bahwa aku berhak atas kebebasan ku lagi. Aku ingin menikmati hidup ku dan menjadi seorang suami atau nanti seorang ayah bukanlah hal yang kuharapkan.

Dua bulan sebelum memasuki pergantian tahun 2010, aku memutuskan untuk meninggalkan Indonesia, merantau ke negeri sakura sebagai TKI. Pilihan ini sudah lama ku pertimbangkan, kurencanakan matang-matang. Dengan bantuan salah satu teman kuliah dan paman ku di Jogya aku turut serta mendaftar, mengurus dan mengikuti program dari sebuah LSM yang bekerja sama dengan Disnaker Yogyakarta itu. 

Tak lupa ku kabari orang tuaku di Semarang. Walau mereka awalnya sedikit kurang setuju tapi aku kekeuh dengan pilihan ku. Melihat kemantapan hatiku mereka akhirnya memberikanku restu dan dukungan dengan mengirimkan sejumlah uang untuk keperluan ku  sementara waktu disana nantinya. Ironisnya, sampai detik itupun mereka tidak pernah tau perihal Meilin yang telah ku nikahi dan tengah mengandung anak kami. Aku masih belum punya nyali, aku ciut aku seorang pecundang.

Tanpa pamit dan penjelasan, ku tinggalkan Meilin begitu saja. Padahal aku tau dia tengah hamil besar, beberapa bulan lagi dia akan melahirkan buah hati kami yang dulu tak pernah kuinginkan. Pada saat itu, aku hanya pamit untuk ke rumah temanku di kulon Progo dengan alasan mau minta tolong dicarikan pekerjaan. Aku tau bahwa Meilin akan sangat menderita nantinya, sendirian dia ku tinggalkan di tempat kos kami yang kumuh itu. Terbesit sedikit rasa kasihan dan rasa bersalah di hati ku saat itu tapi niatku telah bulat.

Berpuluh tahun berlalu, aku tak pernah tau seperti apa dan bagaimana Meilin sekarang. Nyatanya aku masih dalam pelarianku, tak berani bahkan untuk sekedar tau seberapa dalam luka telah ditorehkan di hatinya. Aku tetaplah diriku yang penakut, aku hanyalah diriku yang terlalu takut dengan tanggung jawab dan beban. Aku seorang pecundang yang tak pernah dewasa. Aku bahkan tak berani menghadapi rasa bersalah ku sendiri.
Dan seperti inilah diriku saat ini,  aku hidup dalam lautan kesunyian dan sepi, aku terperangkap di sebuah negeri asing dimana tak dapat ku temui cinta yang ku rindukan. Angin musim semi yang berembus menerbangkan khayalanku, membawa diriku terbang jauh begitu jauh ke sebuah tempat dimana aku pernah menikmati bakpia kacang merah dengan seorang gadis manis bermata sipit yang begitu syahdu memanggil ku 'mas'. Sungguh aku rindu menikmati indahnya pantai Parangtritis di kala senja bersama dia, Meilin.
Seorang anak yang ku rampas dari ayah dan ibu nya, yang ku rampok dari dekapan Tuhannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun