Mohon tunggu...
Frisch Young Monoarfa
Frisch Young Monoarfa Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

Suami, ayah dua anak, pemerhati masalah sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jero Wacik; Justice Collaborator, Pengecut atau Pahlawan?

6 Mei 2016   23:15 Diperbarui: 8 Mei 2016   14:51 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah whistleblower dan justicecollaborator  kerap muncul dalam penanganan kasus korupsi di KPK. Istilah keduanya dikutip dari Surat Edaran Mahkamah Agung(SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (WhistleBlower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

 Dalam SEMA disebutkan, whistleblower adalah pihak yangmengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Sedangkan justicecollaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

 

Tindak pidana tertentu yang dimaksud SEMA adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang,perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir.Sehingga, tindak pidana tersebut telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.

 

Beberapa waktu lalu Nassarudin, terpidana sekaligus JusticeCollaborator nomor wahid di Indonesia mengatakan bahwa masih ada oknum-oknum lain yang belum diperiksa atau diadili dalam berbagai perkara korupsi, antara lain proyek Migas atau proyek Hambalang. Angelina Sondakh terpidana dalam kasus korupsi di Kemendikbud juga mengungkapkan hal yangsama. 

 

Dari sudut pandang penegak hukum, Justice Collaborator tentusaja memudahkan pengungkapan kasus-kasus korupsi yang umumnya dilakukan secara bersama-sama dan melibatkan banyak pihak, -berjamaah istilahnya-. Bahkan setiap tersangka diharapkan menjadi Justice Collaborator untuk mengungkap semua pemain dan yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam perkara korupsi.Tidak jelas apakah harapan terhadap Justice Collaborator ini karena penyidik KPK yang malas bekerja atau perbuatan korupsi yang sulit dibuktikan

 

Kredibilitas JusticeCollaborator

 Bagaimanasebenarnya kredibilitas Justice Collaborator bisa dipercaya sebagai narasumber pengungkapan sebuah kasus korupsi? Bagaimana standar kebenaran ucapan JusticeCollaborator dapat diukur bila tidak disertai fakta dan data, apalagi terlihat gejala “heroisme” dengan mengungkapkan di media massa terlebih dahulu?

 

JeroWacik yang divonis 4 tahun dari tuntutan JPU 9 tahun,tidak lepas dari peran Justice Collaborator Mantan SEKJEN Kementerian ESDM,Wayono Karyo. Dalam persidangan banyak pernyataannya yang menyudutkan posisi JW selaku Menteri ESDM. Padahal sebelumnya Wayono Karyo telah di vonis 6tahun dalam kasus suap anggota DPR dan kepala SKK Migas. Dalam tuntutan JaksaKPK, Fitroh Rochyanto terhadap terdakwa Wayono Karyo, disebutkan selaku Kuasa Pengguna Anggaran di Kementerian ESDM, Waryono memerintahkan pengumpulan dana untuk membiayai kegiatan pada Setjen Kementerian ESDM yang tidak dibiayai APBN.Yang sungguh mengherankan, KPK kemudian mendakwa Jero Wacik dengan perkara yang sama, yaitu memerintahkan pengumpulan dana dan pemerasan sesuai pasal 12EUUTipikor, padahal jelas2 perkara itu sudah lebih dulu diajukan dengan terdakwa Waryono Karyo. 

 

Dari fakta persidangan terlihat jelas inkredibilitas Waryono Karyo sebagai saksi Justice Collaborator yang hanya ingin menyelamatkan diri dengan cara memfitnah orang lain. Di sidang pengadilan, dalam surat tuntutannya, berkali-kali pernyataan “ menurut Waryono Karyo”dipakai sebagai landasan Jaksa KPK untuk menyudutkan Jero Wacik. Sebagai contoh permintaan uang 2 M, yang menurut Waryono Karyo atas permintaan Menteri, ternyata uang tersebut berhasil ditemukan di ruang kerja Waryono Karyo bersamaan dengan penemuan uang dalam bentuk dollar Amerika, yang diakui Wayono Karyo sebagai uang operasional Sekretariat Jendral.

 

Kesaksian seorang Justice Collaborator seperti Waryono Karyo seharusnya diabaikan, dan kesaksian seperti ini harus dituntut sebagai kesaksian palsu, karena terbukti bahwa pernyataannya hanya akal-akalan dan usaha untuk menyelamatkan diri sendiri dengan memfitnah orang lain. Layaknya seorang pengecut yang berlagak seperti pahlawan, Waryono Karyo dengan mudahnya melempartanggung jawab kesalahan yang ia perbuat kepada Menteri ESDM selaku atasannya. Yang lebih miris adalah sikap penyidik KPK yang begitu percaya keterangan yang disampaikan. Seharusnya penyidik KPK mau berusaha lebih keras dan tidak hanya mengandalkan kesaksian Waryono Karyo seorang. 

 

Munculnya Sprindikbaru

 

Fenomena yang kemudian muncul adalah Sprindik (Surat perintah penyidikan) baru terhadap Jero Wacik pada bulan Februari 2015 setelah lima bulan ditetapkan sebagai tersangka September 2014, dengan menyebutkan pelanggaran pasal-pasal baru yang tidak ada kaitannya dengan pasal12E. Kasus teranyar Sprindik baru ini juga terjadi dalam perkara Ketum PSSI LaNyalla Mataliti. "Jangansampai tidak, harus sampai di Pengadilan Tipikor.Apapun itu caranya, meski harus berulangkali mengeluarkan Sprindik baru,"kata Kajati Jatim Maruli Hutagalung dalam sebuah portal berita di Surabayamenanggapi sidang praperadilan Dana Hibah yang dimenangkan La Nyalla Mataliti.Kajati mengeluarkan sprindik baru dengan memunculkan pasal TPPU setelah sebelumnyamendakwa La Nyalla melakukan tindak pidana korupsi dana Hibah Kadin Jawa Timur.

 

Penerbitan sprindik baru bisa jadi merupakan alasan untuk keukeuh menetapkan seseorang sebagai tersangka. Jadi yang menjadi target adalah orangnya, bukan perbuatannya. Jika seseorang sudah menjadi target untuk dijebloskan ke penjara, kasusnya menjadi tidak penting, karena tujuannya adalah menjebloskan orang tersebut ke  penjara. Ini bukti kesewenang-wenangan KPKatau penegak hukum lain yang sangat arogan. Pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna, sehingga kalau mau dicari kesalahannya, sekecil apapun akan dapat ditemukan. Bukan masalah orang itu kemudian pantas untuk dihukum atau tidak, tetapi tindakan para penegak hukum itu sudah sangat keterlaluan dan jauh dari etika. 

 

Bukan rahasia lagi ketika para penegak hukum ramai-ramai berburu koruptor sebagai cara untuk mendapatkan promosi atau kenaikan pangkat. Berburu koruptor menjadi bisnis baru yang sangat diidam-idamkan para penegak hukum di Indonesia. Nilai perkara tidak penting,tetapi lebih penting adalah kesempatan memenjarakan orang-orang yang dianggap popular dan publik figure. Jangan heran dan bukan rahasia pula jika berburu koruptor sudah menjadi agenda politik, dan“pesanan” pihak tertentu. Perkara Jero Wacik adalah fenomena yang sangat buruk dalam penegakan hukum di Indonesia, karena para penyidik dan Jaksa KPK tetap“memburu korban” sesuai “pesanan”.

 Di masa yang akan datang, semoga tidak muncul lagi paraJustice Collaborator, pengecut penebar fitnah yang berperan pahlawan penumpas koruptor seperti Waryono Karyo, agar penanganan perkara korupsi benar-benar transparan dan berdasar pada keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun