Mohon tunggu...
Frid gato Ma
Frid gato Ma Mohon Tunggu... Nelayan - KEA

ULTRAMEN _ VOLUNTARISME

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Meretas Komunikasi sebagai Ruang Simbolik (Upaya Menerjemahkan Konsep Ahimsa dan Satyagraha Mahatma Gandhi)

26 Juni 2021   00:07 Diperbarui: 26 Juni 2021   00:10 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Titik Tolak

           Jurgen Habermans, sebagai salah seorang filsuf kontemporer yang sangat getol meneliti esensi masyarakat yang komunikatif serta ilmu-ilmu sosial masyarakat modern lainnya, berpendapat bahwa tema persoalan postmodernisme tidak hanya menjadi topik diskursus intelektual, tetapi juga tantangan (res) keprihatinan sosial untuk dirinya secara pribadi dan masyarakat pada umumnya (Hardiman, 2009:200). Upaya menciptakan masyarakat yang komunikatif senantiasa berbenturan dengan dinamika persoalan yang ada. Kesadaran ini harus membawa manusia pada pengertian yang menyatukan manusia dengan dunianya. Persoalan-persoalan tersebut perlu dilihat pertama-tama sebagai efek dari rapuhnya fondasi komunikasi antar sesama sebagai manusia. Oleh karenanya perlu adanya gerakan pembenahan yang radikal.

            Namun terkadang upaya untuk mengatasi polemik atau persoalan di atas, seakan terpenjara dalam konsep atau gagasan utopia belaka. Konsekuensi logis dari gagasan utopia ini adalah kenyataan bahwa persoalan seperti intoleransi, radikalisme, diskriminasi serta isme-isme yang menciptakan situasi anomis lainnya, akan abadi menjadi tontonan masyarakat. Sejauh ini, tidak ada langkah konkret yang bersifat tepat guna sebagai jalan keluar (problem solving). Upaya komunikasi sebagai bentuk tanggap terhadap persoalan hanya hadir dalam ruang simbolik. Terjebak pada dunia simbolik yang menimbulkan representasi subyektif yang berbeda-beda dari masing-masing orang (Bucher, 2018: 352). Tidak mengherankan bila kemudian banyak ketimpangan-ketimpang atau masalah sosial yang bermunculan di Indonesia. Intoleransi menjadi tema sentral untuk melihat akar dari semua masalah yang ada

            Komunikasi sebagai jembatan untuk mempertemukan banyak pemikiran dan persepsi hanya akan efektif, bilamana ada roh yang menggerakannya. Tulisan ini mencoba mengkorelasikan konsep Mahatma Gandhi; seorang tokoh revolusioner yang mengabdikan diri dan waktunya untuk mengangkat keagungan hidup yang harmonis dan damai. Ia menentang hukum yang tidak adil secara damai, walaupun ia tetap ditangkap dan dipenjara. Dua konsep utamanya yakni Ahimsa dan Satyagraha hemat saya sangat relevan untuk diasimilasikan dengan roh yang menjadi basis cara manusia membangun relasi atau cara manusia berkomunikasi yang dibalik himpitan kesenjangan sosial dan intoleransi yang kian masif. Komunikasi yang perlu digiatkan adalah komunikasi yang memiliki roh anti kekerasan dan menjunjung tinggi kebenaran; komunikasi tidak cukup diterjemahkan sebagai ruang simbolik belaka.

Konflik Kepentingan Sebagai Akar Masalah

            Perjumpaan antara sesama manusia dalam suatu tatanan hidup sudah tentu terpusat dalam ruang dan waktu. Realitas ini menjadi titik pembentuk kesadaran dalam diri seseorang untuk melihat dan merekunstruksi pilihan-pilihannya dalam bertindak. Namun terkadang, sesuatu hal yang tidak dapat dihindari adalah kenyataan bahwa dalam bersosialisasi, manusia seringkali tidak lepas dari sifat antisosial dan mendewakan individualisme serta sikap egoisme. Inilah yang menjadi akar dari konflik kepentingan. Konsep egois yang radikal sebagaimana kita ketahui melalui butir-butir pemikiran Max Stirner, dapat dijadikan sebagai rujukan kala kita menguraikan terminalogi individu dan pilihannya. Persis seperti dogma  Wile zur Macht milik Nietzche, Stirner juga menguraiakan basis pernyataan kehendak untuk berkuasa. "Hanya saya sendiri yang menentukan apa yang menjadi hak saya dan bukan orang lain. Meskipun seluruh dunia menganggap sesuatu bukan hak saya, namun bila saya menganggap sesuatu itu hak saya maka saya akan mewujudkannya (Bertens, 2018:152)".

Pernyataan ini akan menjadi sangat kontroversi apabila diperhadapkan dengan tanggung jawab seorang individu untuk merealisasikan etika sosial dan etika individunya dalam konteks hidup bersama. Akan tetapi secara realistis pernyataan ini telah hidup dan berkembang dalam kehidupan manusia modern ini. Hingga tidak mengherankan bilamana konflik atau kesenjangan sosial menjadi konsumsi wajib di ruang publik. Terselimut dalam deretan-deretan fakta perihal dekradasi nilai dalam tatanan hidup global kendati kemajuan terpampang di depan mata. Eksploitas alam dan alienasi manusia. Kesenjangan sosial antara yang miskin dan kaya. Terorisme dan bangkitnya radikalisme agama. Perpecahan dalam keluarga, pelecehan seksual, praktik aborsi, diskriminasi dan tindak kejahatan sosial lainnya, hadir sebagai konsekuensi logis dari egoisme radikal yang mendarah-daging dalam diri masing-masing orang. 

            Masalah dehumanisasi di atas, merupakan sederatan fakta yang cukup representatif menggambarkan polemik atau masalah saat ini. Pertama-tama persoalan ini tentu bertolak dari disposisi atau pernyataan sikap seseorang sebagai individu otonom dalam menyikapi suatu realitas. Pernyataan sikap tiap-tiap orang akan menjadi suatu kekuatan bila membentuk masa dengan pola pendekatan persamaan persepsi. Oleh karena itu, pendekatan personal guna meluruskan ideologi pemikiran seseorang sebagai individu perlu menjadi preferensi sebelum membangun kekuatan untuk menghadapi persoalan komunal atau kejahatan terorganisir lainnya.  

Konsep Ahimsa Dan Satyagraha Sebagai Tawaran Solutif

Satyagraha, berarti berpegang teguh pada kebenaran. Pejuang yang menjalankan Satyagraha dsiebut dengan Satyagrahi. Dalam tataran praktikal dan politis, seorang Satyagrahi harus menjalani disiplin yang taat. Kesesuaian antara pikiran, kata-kata dan perbuatan harus menjadi acuan dan prinsip utama (Vad Metha, 2011:62).  Untuk mengatasi kondisi tersebut Gandhi menekankan perlunya dialog dengan diskusi yang rasional. Karena setiap orang mempunyai persepsi masing-masing dalam melihat kebenaran.

Dengan adanya dialog kedua subjek yang berselisih akan mengerti kondisi masing-masing dan mulai memahami bagaimana cara terbaik untuk menghadirkan solusi terbaik bagi kebaikan bersama. Dalam menyelesaikan konflik, bagi Gandhi harus berdasarkan tiga asumsi Pertama, karena tidak ada pihak yang memiliki kebenaran mutlak, masing-masing harus memasuki diskusi dengan semangat kerendahan hati dan dengan pikiran terbuka. Kedua, karena masing- masing melihat kebenaran  berbeda, ia harus melakukan upaya tulus untuk masuk ke alam berfikir lawannya dan menghargai mengapa dia melihat masalah ini secara berbeda. Ketiga, diskusi rasional tidak ada gunanya jika pihak-pihak yang berkepentingan mementingkan diri sendiri dan cenderung tidak menyukai atau membenci satu sama lain (M.K.Gandhi, 2009:74).

Ahimsa bagi Gandhi merupakan hukum dasar bagi hidup manusia. Ahimsa berasal dari kata Sansekerta yang bersumber dari ajaran Buddha. Diartikan sebagai ketiadaan kekerasan atau pantang melakukan kekeraaan atau juga nirkekerasan yang dilakukan dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan. Tiada kekerasan bagi Gandhi merupakan perjuangan yang lebih aktif dibanding dengan pembalasan atau penggunaan kekerasan yang sifat dasarnya meningkatkan kejahatan (Vad Metha, 2011: 43). Dalam membangun relasi atau hubungan dengan sesama manusia tentu kita akan diperhadapkan konflik atau pertentangan. Namun bagi Gandhi, pertentangan itu tidak harus disikapi dengan kejahatan atau kekerasan. Latar belakang pemikiran Gandhi tentang kebajikan ini adalah ungkapannya yang mengetengahkan ketaatan warga sipil terhadap penguasa, sehingga tidak menimbulkan perbenturan fisik dan menimbulkan kekerasan bahkan pembunuhan.

Untuk menangkal itu, dalam membangun relasi dengan sesama, Gandhi menegaskan bahwa kita tidak boleh membangun keakraban khusus dengan orang lain atau orang tertentu, sebab manusia lebih mudah dan cenderung menyerap segala yang jahat dari sesamanya ketimbang hal yang baik (Mahatma Gandhi, 2009:6). Sifat demikian terkadang dinilai sebagai pandangan yang skeptis, akan tetapi sebagai upaya untuk menangkal kemungkinan-kemungkinan buruk dalam relasi dengan sesama, bijak untuk membentengi diri sedini mungkin dari hal yang sebagaimana dimaksud. Bersikap lebih bijak terhadap sikap atau tindakan orang lain membantu kita untuk lebih memahami apa yang menjadi akar permasalahan dan memudahkan kita membangun komunikasi dan jalan penuh kedamaian.

Relevensi Konsep Ahimsa Dan Satyagraha Sebagai Upaya Optimalisasi Komunikasi

Sistem pemikiran Gandhi tentang Ahimsa Dan Satyagraha, sejatinya berorientasi untuk menciptakan kebijaksanaan dalam diri tiap-tiap orang dalam menyikapi situasi atau kondisi. Komunikasi yang dibangun dengan roh kebaikan dan kebenaran serta cinta terhadap kedamaian, memampukan tiap-tiap orang menyikapi secara bijak tiap persoalan atau masalah yang sedang ia hadapi. Tentu kebajikan ini bukan tanpa tantangan, misalnya risalah Gandhi tentang Satyagraha atau kebenaran. Tentunyaa konsep ini akan berbenturan dengan konsep subyektivitas pemikiran masing-masing orang. Apa yang benar menurut saya tidak harus benar menurut orang lain. Juga konsep tentang Ahimsa, yang menjunjung tinggi ketataan untuk meretas khaos yang mungkin terjadi bila ada usaha untuk memberontak otoritas yang ada. Pertanyaannya jika ada kebijakan yang bersifat melenceng terhadap nilai dan norma yang berlaku, apakah wajib hukumnya untuk kita taat dan menurutinya?

Akan tetapi kedua konsep ini mau mengangkat satu kebajikan yang mutlak perlu yakni membawa komunikasi pada ranah yang lebih luhur; komunikasi yang memiliki roh untuk memurnihkan motivasi masing-masing orang dalam menjunjung nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Sebagai kumpulan persona, setiap orang dipanggil untuk bertanggung jawab  membina relasi dan komunikasi dengan sesama serta menanamkan sikap tanggung jawab atas semua tindakan yang dibuat oleh manusia. Tanggung jawab yang dimaksudkan adalah bentuk tanggung jawab prareflektif. Sebagaimana Levinas menggambarkan bentuk tanggung jawab ini sebagai suatu panggilan moral manusia, yang dalam segala penghayatan dan sikap-sikapnya didorong oleh sebuah impuls etis; oleh suatu rasa tanggung jawab terhadap sesama (Magnis, 2006:86). Keharusan untuk bersikap baik terhadap orang lain adalah evidensi intuitif  tak terbantahkan yang harus selalu disadari secara langsung. Tanggung jawab prarefleksif  berarti merasa bertanggung jawab dengan orang lain secara murnih/alami tanpa modus atau iming-iming serta pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Metode pendekatan ini memungkinkan segala persoalan yang secara natural terbentuk dari dalam pikiran seseorang akan terkomunikasikan kepada subyek yang lain, sebelum timbul persoalan lanjutan. Aktivitas saling mendengarkan (resiprokal) menjadi modus eksistensial yang memaknai sosialitas manusia, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai seperti solidaritas, kepedulian, empati serta tanggung jawab. Ini pulalah yang membuat esensi sejarah sebagai bentuk penyebaran makna (Sihotang, 2018:200). Malalui tanggung jawab prareflektif, metode pemecahan masalah yang bersifat personal dari hati ke hati dapat terwujud; komunikasi yang memiliki roh kebenaran dan kebaikan akan tercapai. Saling memberi dan berbicara, menerima dan mendengarkan orang lain sebagai tindakan etis yang humanis.

Menurut Gandhi manusia yang sempurna adalah manusia 'satyagrahi', artinya orang yang mampu mengatasi kekuasaan-kekuasaan jahat, tidak hanya yang dari luar tetapi juga yang ada dalam dirinya, yang dilaksanakan dengan sikap Ahimsa dan pemurnian diri, yaitu mencakup sikap lepas bebas terhadap harta milik dan bebas terhadapan kelezatan serta kenikmatan makanan melalui pengekangan diri, puasa dan brahmacharya (Wegig, 1986:60). Cara komunikasi yang baik dan benar hanya akan mencapai titik ideal bilamana selalu bersumber dari kesadara akan segala hal yang baik dan benar serta cinta akan kedamain. Jika terwujud maka niscasa segala bentuk intoleransi, eksplotasi alam, diskrminasi dan segala bentuk kejahatan sosial lainnya akan mudah untuk diselesaikan.

Sumber Pustaka:

     Bertens, K., Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2018

     Bucher, Bernadette, Masa Strukturalisme Dan Untuk Antropologi Umum Yogyakarta: Kresi Wacana, 2018.

     Levinas, Emanuel, Transcedance et intellegibilite, Geneve: Labor et Fides, 1984

     M.K.Gandhi, Mahatma Gandhi Sebuah Autobiografi. Yogyakarta:Narasi, 2009.

     Magnis, Franz, Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2006

     Mahatma Gandhi,  Semua Manusia         Bersaudara, Kehidupan Dan Gagasan Mahatma Gandhi, (Penerj. Kustiniyati Mochtar), Jakarta:Yayasan Obor Jakarta, 2009.

     R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, Jakarta: Kanisius, 1986.

     Sihotang, Kasdin, Filsafat Manusia Jendela Menyingkap Humanisme, Yogyakarta: Kanisius, 2018

    Vad Metha, 2011. Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun