Ahimsa bagi Gandhi merupakan hukum dasar bagi hidup manusia. Ahimsa berasal dari kata Sansekerta yang bersumber dari ajaran Buddha. Diartikan sebagai ketiadaan kekerasan atau pantang melakukan kekeraaan atau juga nirkekerasan yang dilakukan dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan. Tiada kekerasan bagi Gandhi merupakan perjuangan yang lebih aktif dibanding dengan pembalasan atau penggunaan kekerasan yang sifat dasarnya meningkatkan kejahatan (Vad Metha, 2011: 43). Dalam membangun relasi atau hubungan dengan sesama manusia tentu kita akan diperhadapkan konflik atau pertentangan. Namun bagi Gandhi, pertentangan itu tidak harus disikapi dengan kejahatan atau kekerasan. Latar belakang pemikiran Gandhi tentang kebajikan ini adalah ungkapannya yang mengetengahkan ketaatan warga sipil terhadap penguasa, sehingga tidak menimbulkan perbenturan fisik dan menimbulkan kekerasan bahkan pembunuhan.
Untuk menangkal itu, dalam membangun relasi dengan sesama, Gandhi menegaskan bahwa kita tidak boleh membangun keakraban khusus dengan orang lain atau orang tertentu, sebab manusia lebih mudah dan cenderung menyerap segala yang jahat dari sesamanya ketimbang hal yang baik (Mahatma Gandhi, 2009:6). Sifat demikian terkadang dinilai sebagai pandangan yang skeptis, akan tetapi sebagai upaya untuk menangkal kemungkinan-kemungkinan buruk dalam relasi dengan sesama, bijak untuk membentengi diri sedini mungkin dari hal yang sebagaimana dimaksud. Bersikap lebih bijak terhadap sikap atau tindakan orang lain membantu kita untuk lebih memahami apa yang menjadi akar permasalahan dan memudahkan kita membangun komunikasi dan jalan penuh kedamaian.
Relevensi Konsep Ahimsa Dan Satyagraha Sebagai Upaya Optimalisasi Komunikasi
Sistem pemikiran Gandhi tentang Ahimsa Dan Satyagraha, sejatinya berorientasi untuk menciptakan kebijaksanaan dalam diri tiap-tiap orang dalam menyikapi situasi atau kondisi. Komunikasi yang dibangun dengan roh kebaikan dan kebenaran serta cinta terhadap kedamaian, memampukan tiap-tiap orang menyikapi secara bijak tiap persoalan atau masalah yang sedang ia hadapi. Tentu kebajikan ini bukan tanpa tantangan, misalnya risalah Gandhi tentang Satyagraha atau kebenaran. Tentunyaa konsep ini akan berbenturan dengan konsep subyektivitas pemikiran masing-masing orang. Apa yang benar menurut saya tidak harus benar menurut orang lain. Juga konsep tentang Ahimsa, yang menjunjung tinggi ketataan untuk meretas khaos yang mungkin terjadi bila ada usaha untuk memberontak otoritas yang ada. Pertanyaannya jika ada kebijakan yang bersifat melenceng terhadap nilai dan norma yang berlaku, apakah wajib hukumnya untuk kita taat dan menurutinya?
Akan tetapi kedua konsep ini mau mengangkat satu kebajikan yang mutlak perlu yakni membawa komunikasi pada ranah yang lebih luhur; komunikasi yang memiliki roh untuk memurnihkan motivasi masing-masing orang dalam menjunjung nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Sebagai kumpulan persona, setiap orang dipanggil untuk bertanggung jawab  membina relasi dan komunikasi dengan sesama serta menanamkan sikap tanggung jawab atas semua tindakan yang dibuat oleh manusia. Tanggung jawab yang dimaksudkan adalah bentuk tanggung jawab prareflektif. Sebagaimana Levinas menggambarkan bentuk tanggung jawab ini sebagai suatu panggilan moral manusia, yang dalam segala penghayatan dan sikap-sikapnya didorong oleh sebuah impuls etis; oleh suatu rasa tanggung jawab terhadap sesama (Magnis, 2006:86). Keharusan untuk bersikap baik terhadap orang lain adalah evidensi intuitif  tak terbantahkan yang harus selalu disadari secara langsung. Tanggung jawab prarefleksif  berarti merasa bertanggung jawab dengan orang lain secara murnih/alami tanpa modus atau iming-iming serta pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Metode pendekatan ini memungkinkan segala persoalan yang secara natural terbentuk dari dalam pikiran seseorang akan terkomunikasikan kepada subyek yang lain, sebelum timbul persoalan lanjutan. Aktivitas saling mendengarkan (resiprokal) menjadi modus eksistensial yang memaknai sosialitas manusia, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai seperti solidaritas, kepedulian, empati serta tanggung jawab. Ini pulalah yang membuat esensi sejarah sebagai bentuk penyebaran makna (Sihotang, 2018:200). Malalui tanggung jawab prareflektif, metode pemecahan masalah yang bersifat personal dari hati ke hati dapat terwujud; komunikasi yang memiliki roh kebenaran dan kebaikan akan tercapai. Saling memberi dan berbicara, menerima dan mendengarkan orang lain sebagai tindakan etis yang humanis.
Menurut Gandhi manusia yang sempurna adalah manusia 'satyagrahi', artinya orang yang mampu mengatasi kekuasaan-kekuasaan jahat, tidak hanya yang dari luar tetapi juga yang ada dalam dirinya, yang dilaksanakan dengan sikap Ahimsa dan pemurnian diri, yaitu mencakup sikap lepas bebas terhadap harta milik dan bebas terhadapan kelezatan serta kenikmatan makanan melalui pengekangan diri, puasa dan brahmacharya (Wegig, 1986:60). Cara komunikasi yang baik dan benar hanya akan mencapai titik ideal bilamana selalu bersumber dari kesadara akan segala hal yang baik dan benar serta cinta akan kedamain. Jika terwujud maka niscasa segala bentuk intoleransi, eksplotasi alam, diskrminasi dan segala bentuk kejahatan sosial lainnya akan mudah untuk diselesaikan.
Sumber Pustaka:
   Bertens, K., Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2018
   Bucher, Bernadette, Masa Strukturalisme Dan Untuk Antropologi Umum Yogyakarta: Kresi Wacana, 2018.
   Levinas, Emanuel, Transcedance et intellegibilite, Geneve: Labor et Fides, 1984