Mohon tunggu...
Frid gato Ma
Frid gato Ma Mohon Tunggu... Nelayan - KEA

ULTRAMEN _ VOLUNTARISME

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Meretas Anomianisme, Membangun NTT

31 Januari 2018   21:41 Diperbarui: 31 Januari 2018   22:36 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gembeltraveller.com

MERETAS ANOMIANISME , MEMBANGUN NTT

(Oleh; Ferdianus Gato Ma -- Mahasiswa Fakultas Filsafat)

Sejak era kebangkitan nasional (1900-1942) hingga era kemerdekaan (1945-1975), Provinsi Nusa Tenggara Timur  telah berkiprah dalam dunia perpolitikan yang ditandai dengan peralihan status kerajaan menjadi swapraja, yang terbagi dalam beberapa pulau di Nusa Tenggara dan kemudian mencapai suatu titik terang yakni pada tanggal 20 Desember 1958, saaat pulai Flores, Sumba, Timor dan pulau-pulau sekitarnya resmi  menjadi satu dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dinakodai oleh tujuh orang pemimpin terhitung dari J. Lala Mentik (1960-1965), El Tari (1966-1978), Ben Mboi (1978-1988), Hendrik Fernandez (1988-1993), Herman Musakabe (1993-1998), Piet Alexander Tallo (1998-2008), hingga Frans Lebu Raya (2008-sekarang); menjadikan Provinsi Nusa Tenggara Timur masih berdiri kokoh di bagian Tenggara Republik Indonesia dengan 21 kabupaten dan 1 kota.

Namun sayang suatu realita yang tidak dapat disembunyikan bahwa perlahan semerbak  harum cendana mulai hilang oleh kegusaran dan bau tidak sedap dari segalah bentuk kejahatan yang dari tahun ke tahun kian berkembang seirama dengan segalah bentuk perkembangan yang terjadi di provinsi ini.

Tercatat dalam catatan akhir tahun 2017 dijumpai begitu banyak peristiwa atau tindak kriminal yang  menghiasi kolom-kolom berita di surat kabar maupun media pemberitaan lainnya, misalnya kasus human traffiking yang terhitung mencapai 137 kasus sejak Januari hingga Agustus 2017 (data diambil oleh Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3 TKI) provinsi NTT); penangkapan 4 orang pejabat koruptor di kebupaten Sabu Raijua yang menggelapkan dana hingga milyaran rupiah; tawuran antar mahasiswa dalam satu civitasakademik, pemerkosaan hingga aksi begal yang sementara menjadi  hotnews di ibu kota provinsi akhir-akhir ini. Masih begitu banyak tindak kriminal yang menghiasi  Provinsi Nusa Tenggara Timur dan menjadi pekerjaan rutin para pemerintah daerah berserta jajarannya. Lalu muncul pertanyaan apa yang menjadi penyebab dari segalah tindak kejahatan ini?

Renung Anomianisme

Salah satu akar persoalan yang seyogianya kita soroti bersama adalah sikap atau paham anomianisme yang sadar atau tidak telah kita tumbuh-kembangkan dalam segalah bentuk aspek kehidupan kita sehari-hari, mulai dari dalam pribadi kita masing-masing, dalam hidup keluarga, komunitas, maupun dalam  kehidupan bersama kita di lingkungan dimana kita berada.

Paham ini tumbuh dan berkembang dari situasi  yang oleh  Emile Durkheim disebut  anomia(ayang berarti 'tidak, bukan, tanpa'dan nomos yang berarti 'hukum');  yakni situasi hidup yang seolah-olah tidak ada hukum, atau ada tetapi tidak berfungsi. Situasi ini menggambarkan ketiadaan norma dalam masyarakat yang membimbing dan mengarahkan kehidupan bersama sehingga menciptakan keadaan tanpa pemerintahan, aturan, hukum dan menciptakan kekacauan sosial.\

Situasi ini kemudian melahirkan sikap anomis atau "anomianisme". Anomianisme sendiri merupakan suatu paham atau sikap pribadi dalam masyarakat/kelompok tertentu yang sekehendak pribadi menanggalkan norma yang berlaku dengan menciptakan suatu situasi seolah-olah tidak ada hukum atau melihat hukum seolah-olah tidak berfungsi sama sekali. Paham ini tidak terlepas dari keberadaan manusia sebagai  suatu komunitas duniawi (civitas terrena). Dalam semua tingkat kebersamaan dalam hidup tersebut perihal terpenting yang semestinya harus diperjuangkan adalah suatu dunia yang teratur (kosmos).

Namun tidak demikian dengan realita yang terjadi, yang  tersaji dalam keseharian hidup kita di NTT ini  ialah situasi khaosdimana segalah bentuk tindak kriminal mengejawantahkan dunia yang kacau balau dan tidak teratur. Berbagai jenis dan bentuk kejahatan ternyata telah diadopsi habis-habisan oleh masyarakat NTT sehingga tidak jarang model tindakan kejahatan di Jakarta juga dapat di jumpai di provinsi kita ini. Perihal demikian bukanlah opini  atau stigmatisasi belaka, namun inilah fakta yang terkuak dan kita jumpai bahkan kita alami sebagai akibat merosotnya moral warga masyarakat kita dan tentunya juga pemerintah yang dininabobokan  oleh kuasa dan kekayaan.

Paham  anomianisme telah mendarah-daging dalam diri masyarakat NTT, sehingga tidak jarang banyak yang bertindak sesuka hati tanpa mempedulikan keberadaan dan kepentingan umum, melakukan berbagai bentuk penyimpangan seperti yang di paparkan di awal opini, menganggap kejahatan sebagai suatu kecelakaan yang tidak sengaja dilakukan, menganggap diri benar sehingga mengutamakan ideologinya sendiri, bahkan lebih buruk lagi orang-orang pintar masa kini seolah-olah bertindak sebagai  Sangfaber mundi (pembuat dunia); yang dengan segalah pemikirannya memanfaatkan orang-orang kecil guna mencapai kepentingan dan kebutuhan pribadinya.

Berkembang kemudian muncul paham Homo Homini Lupus : manusia adalah serigala bagi sesamanya (Thomas Hobbes, 1588-1679). Orang , tepatnya pribadi anomis adalah pribadi yang tidak memiliki prinsip, pegangan, dan arah hidup sehingga tidaklah mengherankan bila sepak terjang hidupnya tidak jelas tujuannya yang acap kali menampilkan gaya hidup yang seenaknya sendiri dan tidak bertanggung jawab terhadap diri sendiri maupun sesama masyarakat.  Penganut paham anomianisme juga berjalan tanpa norma, hidup tanpa nilai, bertindak tanpa moral dan bergerak tanpa cita-cita.

Masyarakat yang telah dirasuki oleh paham ini tidak akan segan-segan melakukan kejahatan, bahkan mereka sendiri tidak sadar atas kejahatan yang sedang mereka perbuat. Hukum dan aturan yang berlaku bukan sekadar tidak memberi efek jerah melainkan lebih dari itu bahwa hukum dan aturan seakan tidak memiliki kekuatan atau daya apapun dalam mengahalangi kehendak tiap pribadi untuk melakukan tindak kejahatan.

Pemerintah seenaknya menggunakan uang masyarakat, masyarakat memperlakukan sesamanya sebagai binatang, seorang ayah tegah mencabuli anak kandungnya sendiri, dan segalah bentuk tindakan lainnya yang sejatinya sangat bertolak belakang dengan hakikat kita sebagai manusia. Aristoteles dalam salah satu tulisannya menyebutkan tata tertib, peraturan dan hukum sebagai "akal budi" yang bebas dari nafsu. Lalu bagaimana bila orang menganggap bahwa aturan dan hukum tidak berfungsi, norma harus ditiadakan? maka tentu yang terjadi kemudian adalah situasi anomia dengan sendiri akan tercipta. Situasi yang hingga saat ini hidup di tengah-tengah masyrakat, namun sayang hanya segilintir orang saja yang menyadarinya apalagi berupaya untuk mengatasinya.

Pemerintah yang Merakyat

Suatu wilayah (polis) menjadi baik bila diarahkan pada kepentingan umum, dan sebaliknya akan menjadi buruk bila hanya diarahkan pada kepentingan penguasa. Bukan tidak mungkin bahwa situasi prihatin di atas (anomia) dapat dikurangi bahkan dimusnahkan dari provinsi kita, karenanya salah satu hal yang terpenting yang harus dilakukan sekarang ialah melakukan upaya untuk membenah, mengubah dan meluruskan cara berpikir masyarakat demi mengarahkan hidup pada kehidupan yang layak untuk dihidupi. Inilah harap sebagai buah dari revolusi mental ala Presiden Jokowi.

Menjadi pertanyaannya ialah siapa yang menjadi penggerak dari perubahan ini? Sudah tentu jawabannya adalah pemerintah yang adalah sang pemimpin. Dalam upaya untuk mensejahterakan rakyat, pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah maupun wakil pemerintah daerah memiliki tanggung jawab tersendiri seperti yang telah tertuang dalam Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, khususnya pada Pasal 27: a) memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakanUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b) meningkatkan kesejahteraan rakyat;  c) memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;  d) melaksanakan kehidupan demokrasi;        e) menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;  f) menjaga etika norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; g) memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;

h) melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik; i) melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah.

Jika tiap point yang terdapat dalam  pasal tersebut dijalankan oleh pemerintah daerah kita maka saya percaya bahwa segalah persoalan yang ditakuti tidak akan terjadi. Pada musim peralihan jabatan dan perebutan kursi dalam pesta demokrasi sekarang ini, sudah tentu masyarakat disajikan dengan janji-janji manis para kandidat pemimpin. Para calon pemerintah daerah saling beradu strategi, visi dan misi, serta model pemerintahan yang akan mereka terapkan bila terpilih kelak. Provinsi Nusa Tenggara Timur menimbun begitu banyak persoalan yang tentunya menjadi tugas dan tanggung jawab yang harus diselesaikan oleh pemimpin yang akan terpilih nantinya.

Sosok pemimpin yang dibutuhkan NTT saat ini adalah pemimpin dengan mental merakyat. Bukan sekadar berbangku tangan melantangkan suara dari tahkta kuasa memberi mandat agar rakyat bekerja. Sosok pemimpin yang di butuhkan di NTT saat ini adalah pemimpin yang langsung turun ke lapangan, berada bersama rakyat. Jelih melihat persoalan radikal yang menggerogoti masyarakatnya, sebagai upaya pencegahan sebelum berujung pada perilaku atau tindak kriminal. Pemimpin yang dibutuhkan NTT saat ini adalah pemerintah yang ikut merasa derita masyarakat, bukan terlena oleh petikan dawai sasando sambil berbaring di ruang sejuk dan segar.

Menyikapi persoalan mendasar tentang penghilangan norma secara pribadi, paham anomianisme sejatinya merupakan suatu ancaman yang perlu di perangi oleh masyrakat NTT yang dikomandai oleh gubernur beserta panglima-panglimanya, sebab dampak yang di timbulkannya sangat menggangu keseimbangan hidup dan tidak tanggung-tanggung efek negatif serta persoalan yang ditimbulkannya.

Namun amat disayangkan bahwa terkadang dalam penyelesaian setiap persoalan, pemerintah lebih dan mungkin 'hanya'memfokuskan perhatian pada pelaku kejahatan dan bentuk kejahatannya lalu menjatuhkan hukuman. Pemerintah kurang jelih melihat apa yang melatar-belakangi kepincangan ini sehingga tidak mengherankan bahwa upaya restorasi yang dibuat terasa amat lambat dan terkadang tidak  berdampak apa-apa.

Hemat saya  pemerintah seharusnya meneliti akar masalahnya terlebih dahulu, menemukan apa yang menjadi alasan sehingga para pelaku tindak kejahatan melakukan tindakan tidak terpuji demikian.  Inilah perihal radikal yang seharusnya disikapi oleh pemerintah. Permasalahan tentang asas (arkhe) dan segalah bentuk kejahatan akan mudah diatasi bila pemerintah berupaya mewujudkan kesajahteraan masyarakatnya dan menciptakan keutamaan (arete)bagi setiap individu yakni "jiwa yang baik" yang kemudian mewujud pada kesejahteraan hidup. Hanya dengan berada bersama masyarakat pemerintah akan dapat memahaminya, bukan sekedar memangku jabatan belaka lalu menjadi pejabat Tirani,yang meresahkan banyak masyarakat.

Pemimpin yang terpilih sekiranya diprioritaskan untuk memiliki kemampuan ber-imajinasi simpatik, agar sedapat mungkin turut serta dan berbela rasa dengan kehidupan orang-orang yang dipimpinnya; mampu untuk membayangkan bagaimana daerahnya  akan terlihat seturut sisi tilik keyakinan-keyakinan yang sangat berbeda dari keyakinan-keyakinannya sendiri, bagaimana merasa beratnya hidup dangan segalah keterbatasan dalam upaya --upaya yang tampak menurutnya tidak ada gunanya namun teramat penting untuk makna kehidupan masyrakat kecil.

Mental sang pemimpin harus dibenahi terlebih dahulu, sebelum menyuarakan revolusi mental untuk seluruh masyrakat. Bila norma-norma kian pudar di tengah kehidupan masyrakat, maka inilah tugas pemerintah untuk kembali menghadirkan norma tersebut sebagai wejangan kehidupan. Sehingga keberadaan norma ini menghilangkan paham-paham anomianisme yang selama ini menggerogoti kehidupan masyarakat NTT. Hanya pemimpin yang ada bersama rakyatlah yang mampu melihat dan punya daya mengatasi persoalan ini.

Terwujudnya Bonum Comune

Menghayati suatu bentuk kehidupan yang baik pada hakikatnya mesti bersangkut paut dengan ihwal mengatasi tiap konflik atau persoalan yang terjadi, namun terkadang untuk melakukan hal ini, bisa dibilang teramat sulit kerena konflik atau persoalan tersebut sering kali disebabkan oleh ketakcocokan dan ketaksepadanan di antara nilai-nilai yang perwujudannya dianggap hakiki oleh paham-paham atau konsep tertentu tentang suatu bentuk kehidupan yang baik seturut ideologi masing-masing orang. Paham anomianisme sejatinya merupakan suatu kepincangan yang terselubung yang tentunya tidak dapat disadari oleh semua orang, namun paham inilah sejatinya yang menjadi asal-muasal segalah bentuk kejahatan yang terjadi di seluruh wilayah termasuk di NTT.

Upaya menindak para perilaku tindak kejahatan serasa kurang begitu efektif, sebab kenyataannya kejahatan akan kembali bermunculan; mati satu  tumbuh seribu, bila disimpulkan. Perihal ini merupakan kenyataan alami yang tidak dapat di sangkal, sebab pada hakikatnya dalam diri manusia ada kecenderungan untuk tetap bertindak ke arah kejahatan dan keburukan (concupiscentia). Harmonisasi antara pemerintah dan orang-orang yang diperintah harus terus dibina demi membangun NTT tercinta. Dari kenyataan ini dapat didiskursifkan bahwa arah perkembangan dan kemajuaan NTT berhubungan erat dengan kualitas sang pemimpin dalam membina, mengarahkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang bermoral dan menjunjung tinggi nilai dan norma. Dikatakan bahwa Pemimpin yang berintegritas  ialah pemimpin yang memimpin dengan semboyan  kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex Esto).

Terhadap polemik kejahatan yang ada, tidak menjadi  alasan untuk semua masyarakat NTT memperjuangkan apa yang disebut dengan kebaikan bersama (Bonum Comune). Pemerintah daerah yang akan terpilih untuk periode kepemimpinan 5 tahun ke depan tidak sekadar diserah terimakan jabatan, namun juga setumpuk persoalan yang menjadi tanggung jawab untuk siap di benahi dalam segalah bentuk aspek kehidupan. Siapa pun pemimpin yang akan terpilih sudah tentu memiliki kualitas yang teruji namun diharapkan pula memiliki kerendahan hati dan kebijaksanaan untuk dapat melihat secara mendasar apa yang menjadi akar pokok persoalan yang terjadi.

Moral yang merosot dalam masyarakat hanya dapat di benah jika sang pemimpin dalam hal ini pemerintah yang adalah panutan utama bagi masyarakat dalam menjalankan pemerintahan hendaknya senantiasa menjunjung tinggi nilai dan norma. Menjalankan roda pemerintahan seturut dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan tentunya memperhatikan hak hidup anggota masyarakat.

Jika demikian maka tentu, kesejahteraan hidup masyarakat akan tercapai dan berimbas pada terwujudnya kebahagian bersama. Gubernur dan Wakil Gubernur baru yang akan terpilih nantinya tidak sebatas mengemban gelar sang pemimpin akan tetapi lebih mulia dari itu mereka akan menjadi sosok gembala, contoh ulung, sang motivator dan pribadi yang menjadi teladan masyrakat NTT. Segalah tindak tanduk mereka akan menjadi tolak ukur bagi masyarakat atau bawahannya dalam bertindak.

Jika semua nilai dan norma dijunjung tinggi oleh pemerintah maupun masyarakat NTT, maka paham anomianisme akan musnah, kesejahteraan hidup akan jadi kenyataan seturut yang dicita-citakan, tidak sebatas utopia penghias kata-kata di masa kompanye terselenggara dan akhirnya semerbak aroma cendena kelak akan kembali membumbung di langit  menyambut kemajuan Provinsi Nusa Tenggara Timur tercinta.

Salam dari rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun