Namun amat disayangkan bahwa terkadang dalam penyelesaian setiap persoalan, pemerintah lebih dan mungkin 'hanya'memfokuskan perhatian pada pelaku kejahatan dan bentuk kejahatannya lalu menjatuhkan hukuman. Pemerintah kurang jelih melihat apa yang melatar-belakangi kepincangan ini sehingga tidak mengherankan bahwa upaya restorasi yang dibuat terasa amat lambat dan terkadang tidak  berdampak apa-apa.
Hemat saya  pemerintah seharusnya meneliti akar masalahnya terlebih dahulu, menemukan apa yang menjadi alasan sehingga para pelaku tindak kejahatan melakukan tindakan tidak terpuji demikian.  Inilah perihal radikal yang seharusnya disikapi oleh pemerintah. Permasalahan tentang asas (arkhe) dan segalah bentuk kejahatan akan mudah diatasi bila pemerintah berupaya mewujudkan kesajahteraan masyarakatnya dan menciptakan keutamaan (arete)bagi setiap individu yakni "jiwa yang baik" yang kemudian mewujud pada kesejahteraan hidup. Hanya dengan berada bersama masyarakat pemerintah akan dapat memahaminya, bukan sekedar memangku jabatan belaka lalu menjadi pejabat Tirani,yang meresahkan banyak masyarakat.
Pemimpin yang terpilih sekiranya diprioritaskan untuk memiliki kemampuan ber-imajinasi simpatik, agar sedapat mungkin turut serta dan berbela rasa dengan kehidupan orang-orang yang dipimpinnya; mampu untuk membayangkan bagaimana daerahnya  akan terlihat seturut sisi tilik keyakinan-keyakinan yang sangat berbeda dari keyakinan-keyakinannya sendiri, bagaimana merasa beratnya hidup dangan segalah keterbatasan dalam upaya --upaya yang tampak menurutnya tidak ada gunanya namun teramat penting untuk makna kehidupan masyrakat kecil.
Mental sang pemimpin harus dibenahi terlebih dahulu, sebelum menyuarakan revolusi mental untuk seluruh masyrakat. Bila norma-norma kian pudar di tengah kehidupan masyrakat, maka inilah tugas pemerintah untuk kembali menghadirkan norma tersebut sebagai wejangan kehidupan. Sehingga keberadaan norma ini menghilangkan paham-paham anomianisme yang selama ini menggerogoti kehidupan masyarakat NTT. Hanya pemimpin yang ada bersama rakyatlah yang mampu melihat dan punya daya mengatasi persoalan ini.
Terwujudnya Bonum Comune
Menghayati suatu bentuk kehidupan yang baik pada hakikatnya mesti bersangkut paut dengan ihwal mengatasi tiap konflik atau persoalan yang terjadi, namun terkadang untuk melakukan hal ini, bisa dibilang teramat sulit kerena konflik atau persoalan tersebut sering kali disebabkan oleh ketakcocokan dan ketaksepadanan di antara nilai-nilai yang perwujudannya dianggap hakiki oleh paham-paham atau konsep tertentu tentang suatu bentuk kehidupan yang baik seturut ideologi masing-masing orang. Paham anomianisme sejatinya merupakan suatu kepincangan yang terselubung yang tentunya tidak dapat disadari oleh semua orang, namun paham inilah sejatinya yang menjadi asal-muasal segalah bentuk kejahatan yang terjadi di seluruh wilayah termasuk di NTT.
Upaya menindak para perilaku tindak kejahatan serasa kurang begitu efektif, sebab kenyataannya kejahatan akan kembali bermunculan; mati satu  tumbuh seribu, bila disimpulkan. Perihal ini merupakan kenyataan alami yang tidak dapat di sangkal, sebab pada hakikatnya dalam diri manusia ada kecenderungan untuk tetap bertindak ke arah kejahatan dan keburukan (concupiscentia). Harmonisasi antara pemerintah dan orang-orang yang diperintah harus terus dibina demi membangun NTT tercinta. Dari kenyataan ini dapat didiskursifkan bahwa arah perkembangan dan kemajuaan NTT berhubungan erat dengan kualitas sang pemimpin dalam membina, mengarahkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang bermoral dan menjunjung tinggi nilai dan norma. Dikatakan bahwa Pemimpin yang berintegritas  ialah pemimpin yang memimpin dengan semboyan  kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex Esto).
Terhadap polemik kejahatan yang ada, tidak menjadi  alasan untuk semua masyarakat NTT memperjuangkan apa yang disebut dengan kebaikan bersama (Bonum Comune). Pemerintah daerah yang akan terpilih untuk periode kepemimpinan 5 tahun ke depan tidak sekadar diserah terimakan jabatan, namun juga setumpuk persoalan yang menjadi tanggung jawab untuk siap di benahi dalam segalah bentuk aspek kehidupan. Siapa pun pemimpin yang akan terpilih sudah tentu memiliki kualitas yang teruji namun diharapkan pula memiliki kerendahan hati dan kebijaksanaan untuk dapat melihat secara mendasar apa yang menjadi akar pokok persoalan yang terjadi.
Moral yang merosot dalam masyarakat hanya dapat di benah jika sang pemimpin dalam hal ini pemerintah yang adalah panutan utama bagi masyarakat dalam menjalankan pemerintahan hendaknya senantiasa menjunjung tinggi nilai dan norma. Menjalankan roda pemerintahan seturut dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan tentunya memperhatikan hak hidup anggota masyarakat.
Jika demikian maka tentu, kesejahteraan hidup masyarakat akan tercapai dan berimbas pada terwujudnya kebahagian bersama. Gubernur dan Wakil Gubernur baru yang akan terpilih nantinya tidak sebatas mengemban gelar sang pemimpin akan tetapi lebih mulia dari itu mereka akan menjadi sosok gembala, contoh ulung, sang motivator dan pribadi yang menjadi teladan masyrakat NTT. Segalah tindak tanduk mereka akan menjadi tolak ukur bagi masyarakat atau bawahannya dalam bertindak.
Jika semua nilai dan norma dijunjung tinggi oleh pemerintah maupun masyarakat NTT, maka paham anomianisme akan musnah, kesejahteraan hidup akan jadi kenyataan seturut yang dicita-citakan, tidak sebatas utopia penghias kata-kata di masa kompanye terselenggara dan akhirnya semerbak aroma cendena kelak akan kembali membumbung di langit  menyambut kemajuan Provinsi Nusa Tenggara Timur tercinta.