Secara definisi, belum ada pengertian klithih secara khusus. Klithih merupakan kosa kata bahasa Jawa yang memiliki arti tindakan atau aksi seseorang di malam hari yang merugikan orang lain. Perbuatan tersebut sekarang ini identik dilakukan oleh seorang remaja yang dianggap sebagai masa transisi dari anak-anak menuju dewasa.
Hukum memandang bahwa keberadaan kata remaja secara pasti tidak ditulis dalam undang-undang. Umumnya, remaja dikenal pada usia anak tingkat sekolah menengah pertama (SMP) dan tingkat menengah atas (SMA) yang berkisar pada usia 13-18 tahun. Menurut Papalia pada bukunya yang berjudul “Human Development”, masa remaja adalah masa dimana para remaja berada pada posisi pertigaan kehidupan antara cinta, pekerjaan, dan partisipasi masyarakat dewasa sehingga masa remaja merupakan masa peluang sekaligus resiko.
Kenakalan remaja seperti klithih ini biasanya terjadi diakibatkan karena tahap perkembangan pikiran mereka yang masih belum mumpuni. Kematangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional yang dimiliki remaja masih belum stabil sehingga diperlukan kontrol sosial yang tepat. Kontrol sosial merupakan suatu pengendalian untuk mencegah terjadinya penyimpangan sosial dan mengarahkan masyarakat terutama remaja untuk berperilaku sesuai norma yang ada.
Masalah kenakalan remaja yaitu klithih menjadi fokus perhatian yang serius dan menimbulkan keresahan warga. Dalam pandangan patologis sosial, kenakalan remaja ini diposisikan sebagai tindakan dan tingkah laku remaja yang bertolak belakang dengan moral, kedisiplin, stabilitas, norma, dan hukum.
Pandangan tersebut menggambarkan sifat seorang remaja yang lekat dengan pembangkangan atau pemberontakan. Secara kriminologi, faktor dari kenakalan remaja adalah pengalaman dan pengamatan. Pengalaman yang dimaksud berasal dari pengalaman remaja itu sendiri dan akan berpengaruh terhadap pola pikir remaja. Pengalaman tersebut bisa saja berupa pengalaman baik bahkan pengalaman buruk.
Sedangkan pada faktor pengamatan didapatkan dari luar atau lingkungan sekitar remaja. Pengamatan tersebut merupakan cara remaja melihat sesuatu yang belum mereka ketahui sehingga rasa ingin tahu terhadap hal baru itu akan muncul dengan sendirinya. Rasa ingin tahu tersebut akan membawa remaja dalam membentuk pola pikir mereka dan cenderung belum mampu mengontrol pikirannya.
Istilah kenakalan anak ini mengacu pada UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak. Klithih yang sebagian besar dilakukan oleh remaja merupakan bentuk agresivitas. Agresivitas adalah bentuk pengekspresian emosional seseorang. Seseorang terutama remaja yang memiliki agresivitas yang tinggi cenderung selalu memiliki keinginan untuk melukai orang lain.
Pada awalnya, klithih hanyalah kegiatan jalan-jalan seseorang tanpa adanya tujuan tertentu. Dilansir dari Tribun.com bahwa klithih dapat disebut sebagai sebuah kegiatan berputar-putar di kota dan dilakukan tanpa tujuan. Namun dalam konteks kenakalan remaja, aksi klithih merupakan aktivitas berkeliling dengan kendaraan bermotor yang dilakukan sekelompok remaja dengan tujuan mencari seseorang sebagai korbannya.
Di kota Yogyakarta, bentuk penganiayaan tanpa motif yang terjadi di jalanan ini sempat meredup di tahun 2018 hingga pada tahun 2020 awal kasus ini kembali menggemparkan warga. Kota Yogyakarta sendiri memiliki aturan yang membatasi gerak kenakalan remaja yaitu pada Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat. Peraturan daerah tersebut menjadi tameng dalam mengurangi tindakan kenakalan remaja baik secara preventif maupun represif. Tindakan atau fenomena klithih yang dilakukan oleh kalangan remaja ini terbentuk karena tuntutan masyarakat berdasarkan gejala sosial yang terjadi.
Kasus yang baru-baru ini terjadi di Yogyakarta yaitu aksi klithih oleh sekelompok remaja. Aksi tersebut terjadi pada (4/6/2021) di daerah Gondokusuman, Yogyakarta. Empat remaja ditangkap anggota Polsek Gondokusuman. Keempat pelaku beralasan ingin balas dendam karena temannya menjadi korban serangan geng lain. Pelaku tersebut adalah warga Terban, Yogyakarta yang berinisial AI (18), MTW (20) MRA (19), dan HJS (21).
Surahman selaku AKP Gondokusuman mengatakan bahwa pelaku berkeliling kota untuk mencari korban. Surahman menuturkan pada saat itu rombongan geng klithih bertemu keempat korban dengan inisial BP (19), VNW (20), SRP (20), dan EPW (20). Pelaku AI dan MTW mengacung-acungkan clurit pada korban. Sedangkan kedua pelaku yang berinisial MR dan HJS menabrakkan sepeda motor mereka ke sepeda motor korban hingga BP dan VNW selaku korban terjatuh.
Pelaku tersebut sebelumnya sempat melarikan diri, namun berhasil diamankan oleh Polsek Gondokusuman berkat bantuan warga setempat. Sejauh ini polisi telah mengamankan barang bukti berupa sepeda motor, clurit, botol miras, dan gir motor. “Dalam kasus ini, keempat pelaku dijerat pasal 170 KUHP dan/atau pasal 351 KUHP No. 55 KUHP tentang penganiayaan dan UU Darurat No. 12”, ucap Surahman selaku Kapolsek Gondokusuman Yogyakarta.
Keberanian yang dilakukan sekelompok remaja di jalanan ini memprovokasi pihak lain diluar organisasi untuk ikut terlibat dalam aksinya sehingga dapat dikatakan para remaja ini dimanfaatkan oleh beberapa oknum lainnya. Oknum diluar organisasi tersebut memanfaatkan para remaja dengan alasan, ketika sebuah kejahatan dilakukan oleh orang dewasa maka akan memiliki hukuman yang berat sehingga oknum tersebut “meminjam tangan” para remaja untuk melancarkan aksi mereka dengan harapan apabila dihukum sanksinya hanya pembinaan.
Oknum diluar organisasi tersebut bisa saja seorang alumni dari sekolah mereka, kelompok preman, atau pihak-pihak lain yang membutuhkan manfaat dari aksi ini. Melalui keterlibatan banyak oknum tersebut akhirnya terbentuk sebuah geng klithih. Sedangkan dari aspek remaja itu sendiri merupakan bentuk kekecewaan dari mereka ketika berada di rumah maupun sekolah.
Fenomena klithih yang dilakukan keempat remaja tersebut merupakan tindakan tidak sadar hukum. Aparat penegak hukum yaitu pihak kepolisian harus mampu menjalankan fungsinya melalui hukum yang positif untuk ketentraman warga kota Yogyakarta. Namun, dalam menanggulangi aksi klithih, polisi memerlukan kontribusi dari pihak masyarakat.
Kontribusi tersebut dapat berupa pengawasan dari masyarakat. Apabila terdapat masyarakat yang melihat suatu tindakan mencurigakan atau bahkan tindakan kekerasan secara langsung, masyarakat diminta untuk sigap dan cepat tanggap dalam menyampaikan informasi kepada pihak kepolisian.
Dalam menelusuri kasus klithih pihak kepolisian masih belum maksimal, polisi hanya fokus mengatasi akibat dari klithih. Seharusnya, pihak kepolisian memiliki langkah yang tegas dengan mencari akar dari permasalahan berupa sumber atau penggerak dibalik adanya aksi klithih. Indonesia sendiri memiliki struktur hukum yang diatur pada UU No.8 Tahun 1981 meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas).
Undang-undang yang telah tercantum tersebut menjadi penentu agar hukum bekerja dengan baik dan adil. Pada fenomena klithih yang terjadi, kesadaran remaja terhadap hukum menjadi tolok ukur maraknya klithih di Yogyakarta. Substansi pendidikan menjadi peranan penting dalam peningkatan kesadaran remaja akan hukum. Oleh karena itu, pada saat pembelajaran berlangsung diharapkan untuk membangun rasa disiplin atau taat pada hukum.
Dari berbagai kasus klithih yang terjadi di Yogyakarta, perlu adanya penanggulangan yang dimulai dari tindakan preventif dan represif. Tindakan preventif merupakan upaya pencegahan agar hal buruk tidak terjadi, seperti upaya pembinaan yang bertujuan menguatkan mental remaja. Dalam upaya pencegahan ini peranan sekolah juga penting dilakukan.
Sekolah dapat melakukan razia saat pulang sekolah. Razia ini dilakukan untuk siswa yang seringkali nongkrong sehabis pulang sekolah dan terindikasi sebagai remaja nakal. Peran dari keluarga dan masyarakat menjadi pokok penting dalam pembentukan pribadi anak. Diharapkan keluarga dapat memfasilitasi anak sesuai kebutuhan agar tidak disalahgunakan. Masyarakat maupun keluarga dapat membantu anak untuk menyalurkan bakat mereka secara positif.
Sedangkan tindakan represif merupakan penindakkan pelaku pelanggaran norma agar menimbulkan efek jera. Upaya yang dilakukan dalam tindakan represif ini dapat berupa tindakan dari pihak kepolisian sebagai aparat penegak hukum, memberikan hukuman seberat-beratnya dengan tindak pidana yang sesuai dengan undang-undang agar pelaku jera.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI