Pelaku tersebut sebelumnya sempat melarikan diri, namun berhasil diamankan oleh Polsek Gondokusuman berkat bantuan warga setempat. Sejauh ini polisi telah mengamankan barang bukti berupa sepeda motor, clurit, botol miras, dan gir motor. “Dalam kasus ini, keempat pelaku dijerat pasal 170 KUHP dan/atau pasal 351 KUHP No. 55 KUHP tentang penganiayaan dan UU Darurat No. 12”, ucap Surahman selaku Kapolsek Gondokusuman Yogyakarta.
Keberanian yang dilakukan sekelompok remaja di jalanan ini memprovokasi pihak lain diluar organisasi untuk ikut terlibat dalam aksinya sehingga dapat dikatakan para remaja ini dimanfaatkan oleh beberapa oknum lainnya. Oknum diluar organisasi tersebut memanfaatkan para remaja dengan alasan, ketika sebuah kejahatan dilakukan oleh orang dewasa maka akan memiliki hukuman yang berat sehingga oknum tersebut “meminjam tangan” para remaja untuk melancarkan aksi mereka dengan harapan apabila dihukum sanksinya hanya pembinaan.
Oknum diluar organisasi tersebut bisa saja seorang alumni dari sekolah mereka, kelompok preman, atau pihak-pihak lain yang membutuhkan manfaat dari aksi ini. Melalui keterlibatan banyak oknum tersebut akhirnya terbentuk sebuah geng klithih. Sedangkan dari aspek remaja itu sendiri merupakan bentuk kekecewaan dari mereka ketika berada di rumah maupun sekolah.
Fenomena klithih yang dilakukan keempat remaja tersebut merupakan tindakan tidak sadar hukum. Aparat penegak hukum yaitu pihak kepolisian harus mampu menjalankan fungsinya melalui hukum yang positif untuk ketentraman warga kota Yogyakarta. Namun, dalam menanggulangi aksi klithih, polisi memerlukan kontribusi dari pihak masyarakat.
Kontribusi tersebut dapat berupa pengawasan dari masyarakat. Apabila terdapat masyarakat yang melihat suatu tindakan mencurigakan atau bahkan tindakan kekerasan secara langsung, masyarakat diminta untuk sigap dan cepat tanggap dalam menyampaikan informasi kepada pihak kepolisian.
Dalam menelusuri kasus klithih pihak kepolisian masih belum maksimal, polisi hanya fokus mengatasi akibat dari klithih. Seharusnya, pihak kepolisian memiliki langkah yang tegas dengan mencari akar dari permasalahan berupa sumber atau penggerak dibalik adanya aksi klithih. Indonesia sendiri memiliki struktur hukum yang diatur pada UU No.8 Tahun 1981 meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas).
Undang-undang yang telah tercantum tersebut menjadi penentu agar hukum bekerja dengan baik dan adil. Pada fenomena klithih yang terjadi, kesadaran remaja terhadap hukum menjadi tolok ukur maraknya klithih di Yogyakarta. Substansi pendidikan menjadi peranan penting dalam peningkatan kesadaran remaja akan hukum. Oleh karena itu, pada saat pembelajaran berlangsung diharapkan untuk membangun rasa disiplin atau taat pada hukum.
Dari berbagai kasus klithih yang terjadi di Yogyakarta, perlu adanya penanggulangan yang dimulai dari tindakan preventif dan represif. Tindakan preventif merupakan upaya pencegahan agar hal buruk tidak terjadi, seperti upaya pembinaan yang bertujuan menguatkan mental remaja. Dalam upaya pencegahan ini peranan sekolah juga penting dilakukan.
Sekolah dapat melakukan razia saat pulang sekolah. Razia ini dilakukan untuk siswa yang seringkali nongkrong sehabis pulang sekolah dan terindikasi sebagai remaja nakal. Peran dari keluarga dan masyarakat menjadi pokok penting dalam pembentukan pribadi anak. Diharapkan keluarga dapat memfasilitasi anak sesuai kebutuhan agar tidak disalahgunakan. Masyarakat maupun keluarga dapat membantu anak untuk menyalurkan bakat mereka secara positif.
Sedangkan tindakan represif merupakan penindakkan pelaku pelanggaran norma agar menimbulkan efek jera. Upaya yang dilakukan dalam tindakan represif ini dapat berupa tindakan dari pihak kepolisian sebagai aparat penegak hukum, memberikan hukuman seberat-beratnya dengan tindak pidana yang sesuai dengan undang-undang agar pelaku jera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H