"Woy, naik ga?!" Om-om tua dengan kaca mata hitam ala rolling stone, dengan anting anting cuma sebelah, memakai bandana bertuliskan Slankers memaksa remaja ini untuk melangkahkan kaki pertamanya di dalam monster berkaki empat, berkecepatan 120 tenaga kuda, mampu menelan 12 orang dewasa, memiliki suara nyaring, kencang, dan menggema bernama ANGKOT.
Ini pertama kalinya remaja ini menaiki sebuah angkot. Selama satu jam, satu album dari Sheila on 7 , sudah dua kali diputar. Konon, katanya, hanya angkot yang menggunakan lagu ini yang laris. Satu jam. Tibalah di suatu tempat bernama terminal. Dunia berasa bergetar, memutar mengitar remaja ini, seolah - olah matahari pun ikut mencibir. Tidak tahan dengan perjalanan tadi, semua isi perut remaja ini terkuras, cairan seperti susu di warnai dengan ukiran mi instan yang sudah mengembang dengan sedikit warna hijau sawi keluar menghiasi pinggir jalan kota itu.
BACK TO:
JANUARI 2016,
Saya belom bisa move on, bukan dari angkot, bukan pula phobia. Tapi berkendara dengan kendaraan roda tiga atau lebih dengan waktu di atass 30 menit membuat perut saya bergejolak layaknya masa itu. Saya harus melangkah, saya harus bergerak. Pintu mobil hanya selangkah didepan saya. Papandayan, yang katanya gunung wisata yang sangat indah ada di depan mata, saya hanya butuh satu langkah!
Saya mengambil satu tarikan nafas panjang, saya yakin dengan tujuan saya. Saya harus Move on. Ini bukan langkah pertama saya seperti masa lalu, sudah jutaan langkah sudah dilalui, sudah ratusan angkot saya naiki, saya tidak takut. Ini adalah langkah pertama saya, menuju Papandayan.
katanya ini gunung wisata.
Â
-bersambung-
Â
(masih berusaha konsisten)