Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Spiritualitas Pengorbanan dalam Hidup Selibat

14 November 2019   10:40 Diperbarui: 14 November 2019   10:44 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam Gereja Katolik, salah satu kaul yang diikrarkan oleh kaum biarawan-biarawan, dan juga dihayati oleh kaum tertahbis pada umumnya adalah selibat. 

Hidup selibat dirasakan amat penting, pasalnya Gereja Katolik masih dalam zaman gelap, dan bahkan hingga sekarang (walaupun diam-diam, dipraktekkan secara terselubung), terjadi begitu banyak problem praktek seksual oleh biarawan-biarawan dan kaum tertahbis. Terjadi begitu banyak kasus pemerkosaan, phedophilia yang justru pelakunya adalah para pejabat resmi Gereja. 

Lantas, kita bertanya, masih pentingkah atau masih relevankah hidup selibat dalam zaman modern ini? Kalaupun penting, bagaiman seharusnya memahami selibat, dan bagaimana seharusnya menghayatinya? Tentu terlalu berat untuk problem itu ditemukan jawaban dan solusi seutuhnya dalam tulisan ini. Tetapi batas kesadaran mendalam, terutama karena status saya sebagai seorang klerus, maka saya tergerak untuk menulisnya, dan boleh dikatakan, tulisan ini merupakan informasi tetapi sekaligus sebagai wanti-wanti. 

Kita bertanya, apa itu selibat? Adakah dasar biblis, dasar hukum dan dasar teologisnya? Dengan ringan, dan dalam upaya sadar, saya akan mengutarakannya.

Yang pertama ; 

Selibat berarti hidup tidak kawin dan hidup tidak menikah. Maksudnya ialah entah kawin bebas dengan siapa saja, dan apalagi hidup menikah, itu tidak diperbolehkan. Termasuk di dalamnya, praktek homoseks juga dipandang sebagai pelanggaran terhadap selibat. 

Yang Kedua; 

Penginjil Matius, menulisnya dengan sangat jelas. Ketika para Murid, nampaknya terjebak dalam suatu "ketakutan" bahwa hidup suami-istri begitu sulitnya untuk setia, karena kasus perzinahan, murid-murid memberi jawaban, lebih baik tidak kawin atau tidak menikah (bdk.Mat.19:10). 

Menyikapi jawaban pada Murid, Yesus segera mengambil sikap. Sebab kalau tidak, bahayanya ialah hidup selibat bisa dihayati sebagai pelarian atau karena ketakutan untuk tidak mau hidup menikah. Bisa saja, orang memilih menjadi biarawan-biarawan, atau kaum tertahbis karena takut atau mau menghindari problem-problem moral yang timbul pasca menikah.

Kemungkinan lain bisa terjadi bahwa orang-orang yang mengalami gangguan alat reproduksi secara biologis, misalnya impoten dan atau mandul, bisa menjadi alasan untuk menjadi biarawan-biarawati atau kaum tertahbis karena tidak ada gunanya hidup kawin atau menikah. 

Yang ketiga : 

Problem-problem yang muncul dari para Murid ataupun yang diandaikan seperti di atas, ditemukan jawaban arifnya oleh Yesus, di bawah ini : 

Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."  (Mat 19:12).

Jawaban Yesus di atas, menggugurkan problem yang diajukan oleh para Murid. Bahwa memilih untuk tidak kawin atau tidak menikah, bukan karena takut atau mau menghindari resiko pasca menikah. Pilihan menjadi kaum tertahbis atau biarawan-biarawati, bukanlah pelarian karena tidak mau menikah. Pilihan itu juga karena pelarian biologis, dalam arti tidak bergunanya alat reproduksi karena impoten atau mandul. 

Orang memilih karena kesadarannya yang utuh, demi Kerajaan Sorga. Itu berarti, bukan tidak ada niat untuk menikah. Niat itu ada dan akan tetap ada, selama masih bertubuh dan berdarah. Niat itu diarahkan demi sesuatu yang nilainya lebih tinggi yakni demi Kerajaan Sorga. Inilah letak spiritualitas pengorbanannya bahwa orang dengan relaz sadar, tahu dan mau mengorbankan niatnya menikah itu demi Kerajaan Sorga. 

Maka secara biblis dan teologis, tidak benar dan sama sekali tidak pernah atau tidak boleh dibenarkan ataupun tidak boleh dibiarkan, kalau ada anggapan bahwa biarawan-biarawati ataupun kaum tertahbis, mereka adalah orang-orang yang mau menghindari perkawinan ataupun pernikahan. Juga tidak benar kalau ada anggapan bahwa biarawan-biarawati, kaum tertahbis, mereka adalah golongan impoten dan atau mandul, yang ingin mencari titik nyaman melalui pilihan mereka. 

Yang keempat : 

Pilihan hidup selibat juga merupakan suatu pilihan antisipatif. Mengapa karena Yesus telah mengatakannya bahwa kelak, di Surga tidak ada yang kawin dan dikawinkan. 

"Karena pada waktu kebangkitan, orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga".  (Mat 22:30). Itu berarti di Surga, tidak ada lagi perasaan fisik dan tidak ada yang hidup secara fisik-al, di sana.

Pernyataan Yesus di atas menunjuk jelas bahwa kelak yang hidup di sana (Surga), adalah roh atau jiwa spiritual, seperti Malaikat, yang bukan fisik. Maka ada relevansinya dengan tugas antisipatif seorang kaum tertahbis di dunia ini sebagai gembala jiwa-jiwa umat manusia. 

Yang kelima : 

Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik, tahun 1983, merumuskan tentang hidup selibat dengan sangat gamblang, seperti di bawah ini.  

Kan. 247  1 Hendaknya mereka dipersiapkan dengan pendidikan yang sesuai untuk menghayati status hidup selibat, dan belajar menghargainya sebagai anugerah istimewa dari Allah.

Kan. 277  1 Para klerikus terikat kewajiban untuk memelihara tarak sempurna dan selamanya demi Kerajaan surga, dan karena itu terikat selibat yang merupakan anugerah istimewa Allah; dengan itu para pelayan suci dapat lebih mudah bersatu dengan Kristus dengan hati tak terbagi dan membaktikan diri lebih bebas untuk pelayanan kepada Allah dan kepada manusia.

Kan. 291 Selain yang disebut dalam kan. 290, 10, hilangnya status klerikal tidak membawa serta dispensasi dari kewajiban selibat, yang diberikan hanya oleh Paus.

Kan. 599 Nasihat injili kemurnian yang diterima demi kerajaan Allah, yang menjadi tanda dunia yang akan datang dan merupakan sumber kesuburan melimpah dalam hati yang tak terbagi, membawa- serta kewajiban bertarak sempuma dalam selibat.

Kan. 1037 Calon untuk diakonat permanen yang tidak beristri, demikian pula calon untuk tahbisan presbiterat, jangan diizinkan untuk menerima tahbisan diakonat, kecuali secara publik di hadapan Allah dan Gereja menurut upacara yang sudah ditetapkan, telah menerima kewajiban selibat, atau sudah mengucapkan kaul kekal dalam tarekat religius.

Yang keenam : 

Dari semua poin yang telah diuraikan di atas, kita sampai pada titik simpul bahwa selibat merupakan suatu kerohanian untuk mendekatkan diri dengan Allah, demi Allah dan hanya untuk Allah. 

Selibat bukan pelarian. Selibat bukan mandul. Selibat bukan impoten. Selibat adalah suatu kesadaran aktif, termasuk sadar bahwa yang memilih masih berstatus sebagai yang bertubuh dan berdarah, dan karena itu saya dorong seksual harus tetap ada. Daya tarik terhadap lawan jenis dan sesama jenis, harus tetap ada. Kalau saya tarik itu, tidak ada, seorang selibater akan menghadapi gangguan berat dalam karya pastoralnya. 

Dengan hidup tidak menikah, sebenarnya seorang selibater ingin menegaskan bahwa cintanya masih muda dan hatinya masih bebas. Dan kedua-duanya masih murni. Kepada setiap orang yang mendatanginya, seorang selibater seakan-akan memperlihatkan bahwa ia masih single dan masih terbuka kemungkinan untuk diperolehnya. 

Kesadaran seperti di atas, dalam arti rohani merupakan suatu daya dorong yang memberi semangat, agar seorang selibater, di tengah menghayati hidup selibat sebagai pengorbanan, ia pun tetap bergairah dalam karya pastoral, ketika didatangi ataupun ketika ia menjumpai siapa saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun