Pertama sekali, saya ingin memetakan tulisan ini dalam strategi foho fehan. Strategi foho fehan yang saya maksudkan dalam tulisan ini, hanya dalam arti yang familiar yakni masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan, disebut masyarakat foho dan masyarakat yang tinggal di daerah dataran plus daerah lautan, disebut masyarakat fehan. Dari sudut penggunaan bahasa, umumnya daerah foho berbahasa Dawan dan daerah fehan berbahasa Tetun.
Hanya dalam arti di atas, pemahaman foho fehan dapat berguna. Karena itu, staregi foho fehan bukan suatu konsep bercorak provokatif untuk siapa saja yang hendak membaca tulisan ini.
Kabupaten Malaka secara geografis dan territorial, dapat saya kategorikan dalam strategi fofo fehan. Sebagai Kabupaten dengan usia muda, Malaka kini memasuki usia kedua suksesi kepemimpinan daerah. Situasi politik seperti empat tahun lalu (baca: tahun 2015, secara perlahan mulai hidup kembali).
Entah masyarakat foho ataupun fehan, ada rupa-rupa pertanyaan dan pernyataan. Ada yang bertanya; apa yang sudah dilakukan pemimpin sebelumnya? Adakah figur-figur baru? Perlu wajah baru? Ada juga yang mengatakan; lanjutkan.
Antara pertanyaan dan pernyataan, satu yang pasti ialah Kabupaten Malaka akan memasuki perhelatan politik  yang kedua dalam jangka waktu lima tahunan ke depan.
Di tengah para pendukung dan simpatisan mengandalkan figurnya masing-masing, hingga kini ada beberapa figur yang telah mendaftar ke partai-partai politik untuk bertarung dalam event pilkada Malaka yang bakalan terjadi yakni dr. Stef Bria Seran, figur petahana Malaka, Wande Taolin, Dr. Simon Nahak, Kim Taolin, Roy Tei Seran dan beberapa figur lainnya, yang telah mendafar.
Nampaknya strategi foho fehan patut diperhitungkan dalam pemilihan figur dan atau paket. Figur petahana pun menjadi perhitungan bagi figur-figur yang ingin maju sebagai wakil. Karena gaung figur terkategori masih cukup familiar, maka figur-figur yang nekat maju, patut penuh perhitungan.
Dari beberapa figur yang telah mendaftar untuk ikut bertarung dalam pilkada Malaka nantinya, muncul praandaian-praandaian publik. Ada yang mengatakan; ada permainan politik, yang sebetulnya dimaksudkan untuk memenangkan figur atau paket tertentu. Ada juga yang membaca keseriusan politis figur-figur yang telah mendaftar dan yang bakalan mendaftar.Â
Ada juga yang mengatakan; Malaka perlu tiga atau empat paket untuk mengalahkan paket petahana kelak. Ada juga yang mengatakan; akan besar dampaknya kalau hanya dua paket yang bertarung.
Dari antara pertanyaan dan pernyataan yang berkembang, dapat disimpulkan suatu suatu hipotesa bahwa perhelatan politik Malaka saat ini sebetulnya belumlah memanas. Walaupun demikian, beberapa figur di antaranya selalu disebut-sebut.
Menguatnya strategi foho fehan dalam perhelatan politik Malaka, di satu sisi besar kemungkinan bagi figur-figur yang masih kuat pengaruhnya secara demografis, topografis dan territorial.
Secara demografis, banyaknya penduduk yang kelak layak sebagai pemilih dalam pilkada Malaka nantinya membawa keuntungan bagi figur-figur yang dijagokan dalam strategi foho fehan.
Sebagai penulis, saya akui bahwa gaung figur petahana masih cukup kuat. Sebagai putera asal daerah foho, saya membaca suatu kekuatan besar yang muncul dari taolin.Â
Tentu saya tidak ingin menyebutkan nama terang, siapa orangnya (dan saya tidak mau untuk itu), tetapi seturut struktur kemasyarakatan, perlu diakui bahwa hingga kini, dari daerah foho, belum ada figur yang gaungnya sekuat taolin, kalaupun ada, maka maafkanlan tulisan ini.
Saya tidak menyudutkan siapapun figur yang ingin maju, juga saya tidak membangga-banggakan taolin dalam skala yang lebih luas tetapi sebetulnya tulisan ini merupakan untaian kata dan huruf, yang secara berani saya lahirkan dari kata dan bahasa yang selama ini dimainkan secara terselubung di tengah masyarakat dengan pola berpikir analog dan paradoks.
Pada akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa foho fehan tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk konflik. Malaka bukan hanya foho, Malaka bukan hanya fehan. Foho fehan tidak boleh dipertentangkan lalu muncul konsolidasi yang dapat berujung pada perang pena besar-besaran, apalagi perang saudara dengan senjata berdarah dingin.Â
Malaka adalah foho fehan. Malaka adalah kekuatan yang dapat dipadukan untuk memajukan masyarakat. Dalam arti ini, foho fehan ditempatkan sebagai suatu analog dan paradoks.
Beranalog berarti foho fehan bersatu dalam kearifan Manumeo Malaka membangunkan masyarakat ke tempat kerja pada waktu dini hari. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H