Secara demografis, banyaknya penduduk yang kelak layak sebagai pemilih dalam pilkada Malaka nantinya membawa keuntungan bagi figur-figur yang dijagokan dalam strategi foho fehan.
Sebagai penulis, saya akui bahwa gaung figur petahana masih cukup kuat. Sebagai putera asal daerah foho, saya membaca suatu kekuatan besar yang muncul dari taolin.Â
Tentu saya tidak ingin menyebutkan nama terang, siapa orangnya (dan saya tidak mau untuk itu), tetapi seturut struktur kemasyarakatan, perlu diakui bahwa hingga kini, dari daerah foho, belum ada figur yang gaungnya sekuat taolin, kalaupun ada, maka maafkanlan tulisan ini.
Saya tidak menyudutkan siapapun figur yang ingin maju, juga saya tidak membangga-banggakan taolin dalam skala yang lebih luas tetapi sebetulnya tulisan ini merupakan untaian kata dan huruf, yang secara berani saya lahirkan dari kata dan bahasa yang selama ini dimainkan secara terselubung di tengah masyarakat dengan pola berpikir analog dan paradoks.
Pada akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa foho fehan tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk konflik. Malaka bukan hanya foho, Malaka bukan hanya fehan. Foho fehan tidak boleh dipertentangkan lalu muncul konsolidasi yang dapat berujung pada perang pena besar-besaran, apalagi perang saudara dengan senjata berdarah dingin.Â
Malaka adalah foho fehan. Malaka adalah kekuatan yang dapat dipadukan untuk memajukan masyarakat. Dalam arti ini, foho fehan ditempatkan sebagai suatu analog dan paradoks.
Beranalog berarti foho fehan bersatu dalam kearifan Manumeo Malaka membangunkan masyarakat ke tempat kerja pada waktu dini hari. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H