Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selibat Butuh Sahabat, Sahabat Butuh Selibat

24 Juli 2019   06:45 Diperbarui: 24 Juli 2019   08:21 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selibat butuh sahabat. Sahabat butuh selibat. Bersahabatlah dalam selibat, di dalamnya, menghidangkan rasa lapar dan haus akan kemesraan illahi di dalam kemesraan insani.

Selibat akan kehilangan identitasnya tanpa mengikatkan diri pada kemesraan dengan Yang Illahi. Selibat akan berubah menjadi bencana ketika mendewakan kemesraan insani.

Selibat bukannya ada di persimpangan antara kemesraan illahi dan kemesraan insani. Selibat tidak bercorak antara-antara. Selibat itu sebuah kepastian. Yang paling pasti bagi selibat ialah menghayati kesendirian sebagai rahmat.

Selibat ada dalam kemesraan Illahi dan kemesraan insani. Selibat adalah rahmat terberkati yang memampukan setiap kaum terpanggil untuk mendekatkan diri pada Yang Illahi dan yang insani.

Ekaristi, Doa dan Keheningan adalah media illahi bagi para selibater untuk mendekatkan diri pada Yang Illahi.

Selibater selalu berarti berdaya dorong, bertubuh dan berdarah. Hanya dalam daya dorong yang benar, tubuh dapat berfungsi dengan baik.

Saya terkesima, membaca buku berjudul Sahabat Dalam Selibat karya Pater Patrisius Pa, SVD. Buku itu kaya nilai, terutama pengalaman bersahabat yang disajikan di dalamnya.

Selibat berarti hidup tidak menikah, itu berarti tidak kawin. Selibat berarti tidak hidup bersama layaknya suami-istri. Di sini selibat menunjuk pada kemurnian diri di dunia tanpa ikatan dengan kenikmatan duniawi sebagai antisipasi bahwa di Surga kelak tidak ada yang kawin dan dikawinkan.

Sebagaimana telah ditandaskan dalam Kitab Suci bahwa ada yang memilih hidup tidak menikah karena pilihannya sendiri demi Kerajaan Surga.

Karena selibat menunjuk pada kemurnian diri; yang bebas dari kenikmatan duniawi, maka praktek homoseksual dan segala praktek lain yang melibatkan tubuh untuk memuaskan nafsu turut dipandang sebagai penghambat hidup selibat.

Selibat bukanlah media untuk membenci seksualitas. Selibat adalah wadah bagi orang-orang terpilih untuk menyadari bahwa daya dorong yang baik tidak selalu harus disalurkan melalui hidup menikah.

Pada titik ini, seorang kaum terpanggil harus terus memupuk kemesraan yang intim bersama dengan Yang Illahi. Selibat merupakan tanda relasi yang intim bersama dengan Yang Illahi.

Menurut Paus Fransiskus, sebagaimana dilansir oleh Kompas.com, 27/05/14, "walaupun selibat bukanlah dogma karena itu terbuka kemungkinan untuk bisa berubah, tetapi ajaran Gereja Katolik menandaskan bahwa  hidup selibat harus terus dihormati dan dipupuk oleh kaum rohaniwan, biarawan/biarawati, karena melaluinya mereka mendedikasikan diri secara total, mengambil Gereja sebagai "istrinya" dalam melaksanakan misinya,"pungkas Paus Fransiskus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun