Perkembangan media sosial memudahkan percepatan akses informasi. Pengetahuan yang mulanya pelik untuk diperoleh karena hanya secara tertulis pada media-media cetak ataupun pada website tertentu, dan itupun jangkauannya sangat terbatas, kini begitu mudah diperoleh via share facebook maupun whatsapp.
Tak kalah juga berbagai perdebatan dilancarkan via facebook dan whatsapp. Perdebatan ataupun diskusi-diskusi malah lebih suka dilakukan via FB atau WA walaupun jarak berdekatan bahkan bersebelahan kamar. Dari aspek kognitif, praktek seperti ini wajar-wajar saja mengingat bahwa media sosial memang ditujukan untuk membangun komunikasi.
Fenomen hadirnya berbagai media sosial ini, di satu sisi terkesan mengesampingkan begitu saja tatap muka secara langsung untuk bertukar pikiran. Kemudahan yang ditawarkan media sosial, mengondisikan manusia untuk terperangkap dalam cara berpikir akan pentingnya cara dan media yang dipakai serentak melemahnya niat untuk bertatap muka secara langsung membicarakan sesuatu yang perlu.
Atas alasan jarak dan kesibukan, memang media sosial tercipta untuk memudahkan komunikasi tetapi atas alasan itu pula, adapun poin-poin komunikasi yang memang tidaklah memadai atau tidaklah cukup kalau dibicarakan atau didiskusikan hanya sebatas pada cara virtual media sosial.
Hemat saya, diskusi ataupun perdebatan melalui media sosial, jika pemanfaatannya tidak bijak maka akan muncul figur-figur yang lebih mementingkan penyampaian informasi atau ide tanpa memperhitungkan aspek humanitas sesama komunikator.Â
Di sini, di satu sisi, media sosial menghadirkan suatu keberanian virtual, di mana orang merasa lebih berani untuk menyampaikan pendapat via media sosial daripada bertatap muka secara langsung. Keberanian yang diantarai ini, secara obyektif personal, sesama komunikator lebih cenderung untuk saling mendiskreditkan satu sama lain dengan strategi rasionalisasi defensif, mengedepankan ide-ide tertentu yang terkesan dipaksakan untuk diterima begitu saja. Â
Sebagai konsekuensinya, penolakan ataupun tidak merespon ide-ide yang ditawarkan akan mudah dibaca sebagai suatu kekalahan atau suatu ketakberdayaan ataupun lebih ekstrim disebut suatu kebodohan.
Saya sendiri sadar akan pergumulan akademik ini, karena itu saya biasanya tidak tertarik kalau ingin berdebat via media sosial semisal FB ataupun  WA. Walaupun demikian, semangat literasi untuk saling berbagi, saling bertukar pikiran dalam tataran yang normal tetap saya tekuni.
Hemat saya, ada suatu pergeseran nilai penggunaan media sosial dari niat untuk saling berbagi menuju pada kehendak untuk mencari popularitas diri. Seringkali terjadi bahwa niat untuk mencari popularitas diri malah ditempuh melalui berbagai diskusi dan perdebatan via FB dan WA.Â
Hal ataupun praktek yang sebenarnya sifatnya privasial, tetapi karena popularitas diri yang mau dikedepankan daripada niat untuk saling berbagi pengetahuan, akhirnya bermuara pada penemuan dan pemakaian stategi rasionalisasi defensif dalam komunikasi. Akibatnya, imunitas publik atau kekebalan publik membentuk mental setiap komunikator untuk mempertahankan informasi ataupun ide-ide yang telah dikemukakannya, dan seringkali terjadi bahwa cara-cara itu akhirnya bercorak ad hominem.Â
Inilah suatu kecemasan zaman ini, bahwa kehadiran media sosial di satu sisi merupakan suatu ancaman serius bagi relasi sosial tatap muka secara langsung. Selain itu, kecenderungan popularitas diri banyak kali dibungkus dalam usaha menemukan identitas diri sebagai seorang informan, sarjana dan seorang ilmuwan yang teruji melalui argumen-argumen rationalisasi defensif.
Ada suatu kecenderungan lain bahwa klaim akan kemenangan ataupun kehebatan akademik seringkali diukur berdasarkan gagal tidaknya lawan bicara memahami informasi, ide ataupun argumen yang disampaikan. Bahkan pertanyaan ataupun pernyataan yang seringkali out of context karena itu sulit untuk diidentifikasikan jawabannya, malah dilihat sebagai suatu kemahiran akademik yang tak tertandingi.
Menguatnya niat mempertahankan otoritas komunikator seringkali menjadi titik pemicu untuk mencari-cari pemahaman, istilah-istilah ataupun teori-teori guna menutup-nutupi kekeliruan pernyataan ataupun argumen yang telah dibangun sebelumnya, dibungkus dengan suatu penjelasan yang dikarang-karang secara logis (rationalisasi).
Pada akhirnya, oleh para komunikator yang kurang kritis, komunikasi via media sosial hanya bermuara pada rasa puas diri, rasa frustrasi diri karena kalah kalau tidak membalas, dan juga pemenuhan terhadap pengakuan publik. Di sini, berlaku pola pikir bahwa komunikator yang frustrasi dengan pola pikirnya sendiri ataupun pikirannya sendiri, seringkali ia lebih mudah mempersalahkan pihak lain atau sesama komunikator ketimbang membenahi pola pikir sesama komunikatornya.
Praktek penemuan identitas akademik dengan cara seperti di atas yakni begitu mudahnya mengklaim bahwa kebenaran hanya ada pada dirinya, pada pikirannya, pada argumennya, pada rationalisasi defensifnya, tidak lain adalah suatu pola penegasan akan popularitas diri yang lebih dipentingkan daripada kebenaran yang mau disampaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H