Ada suatu kecenderungan lain bahwa klaim akan kemenangan ataupun kehebatan akademik seringkali diukur berdasarkan gagal tidaknya lawan bicara memahami informasi, ide ataupun argumen yang disampaikan. Bahkan pertanyaan ataupun pernyataan yang seringkali out of context karena itu sulit untuk diidentifikasikan jawabannya, malah dilihat sebagai suatu kemahiran akademik yang tak tertandingi.
Menguatnya niat mempertahankan otoritas komunikator seringkali menjadi titik pemicu untuk mencari-cari pemahaman, istilah-istilah ataupun teori-teori guna menutup-nutupi kekeliruan pernyataan ataupun argumen yang telah dibangun sebelumnya, dibungkus dengan suatu penjelasan yang dikarang-karang secara logis (rationalisasi).
Pada akhirnya, oleh para komunikator yang kurang kritis, komunikasi via media sosial hanya bermuara pada rasa puas diri, rasa frustrasi diri karena kalah kalau tidak membalas, dan juga pemenuhan terhadap pengakuan publik. Di sini, berlaku pola pikir bahwa komunikator yang frustrasi dengan pola pikirnya sendiri ataupun pikirannya sendiri, seringkali ia lebih mudah mempersalahkan pihak lain atau sesama komunikator ketimbang membenahi pola pikir sesama komunikatornya.
Praktek penemuan identitas akademik dengan cara seperti di atas yakni begitu mudahnya mengklaim bahwa kebenaran hanya ada pada dirinya, pada pikirannya, pada argumennya, pada rationalisasi defensifnya, tidak lain adalah suatu pola penegasan akan popularitas diri yang lebih dipentingkan daripada kebenaran yang mau disampaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H