Saya menonton malam kreasi yang diselenggarakan oleh para Frater tingkat 1 Seminari Tinggi Santo Mikhael Penfui Kupang. Kreasi ini bergerak dalam tema utama Siapa Kawan Siapa Lawan.Â
Kegiatan kreasi ini merupakan program wajib tahunan dalam Lembaga Pendidikan Calon Imam, Seminari Tinggi Santo Mikhael Penfui Kupang. Menurut kebiasaan, program ini dikhususkan bagi para frater tingkat satu setiap tahun. Kegiatan dimulai tepat pukul 20.15 hingga pukul 22.15 WITA, bertempat di aula utama Seminari Tinggi.
Menarik ketika menyaksikan mata acara yang mereka tampilkan. Alur cerita yang mereka peragakan menampakkan begitu jelasnya bahwa dalam pertarungan politik, ada semacam status quo ekstrim untuk tidak peduli siapa kawan, siapa lawan. Pada awalnya kawan, akhirnya menjadi lawan. Demikian juga, pada awalnya lawan, akhirnya menjadi kawan.
Para pelakon tingkat 1 ini, menampilkan pertarungan politik dengan mengedepankan berbagai strategi politik berupa premanisme politik, politik identitas, politisasi agama yang tersamar-samar dan politik suap untuk memusnahkan lawan. Akibat suap dan konspirasi ini, akhirnya salah satu calon kandidat untuk merebut kursi kekuasaan berhasil terbunuh sebelum pertarungan politik. Â
Selain itu, para Frater tingkat satu menampilkan kreasi mereka melalui tarian tradisional yakni tarian Kataga (tarian tradisional Sumba Barat) dan tarian Bilut-Ronggeng (tarian kombinasi Belu, TTU dan Malaka). Para penari masing-masing memegang pedang berupa kelewang dan perisai. Mereka dengan gencarnya menampilkan benturan praktek budaya melalui peragaan saling menyerang dengan pedang yang ada pada tangan mereka saat menari.Â
Di antara kedua kubu tarian ini, tidak ada yang mau mengalah. Mereka tidak mengakui satu sama lain. Di tengah kericuhan ini, muncul seorang tokoh agama (seorang pastor) untuk mendamaikan mereka. Akhirnya mereka pun berhasil didamaikan yang disimbolkan dengan pola tarian gandeng bersama melalui Tebe (tarian Belu, Malaka).
Tak kalah juga, dimunculkan pantomim atau bercerita dengan ekspresi dan peragaan fisik. Antara dua orang yang lebih dahulu tampil, mereka memperagakan sikap saling melawan, saling mengejek hingga saling menyerang secara fisik. Di tengah perlawanan ini, muncullah seorang tokoh anak muda dengan gaya khasnya berhasil mendamaikan mereka.
Tontonan lain yang sangat mengusik perhatian para penonton adalah paduan suara yang mereka tampilkan. Mulanya mereka hanya terdiri dari beberapa orang. Kemudian jumlah mereka makin bertambah-tambah hingga mereka didatangi oleh seorang konduktor yang memang sangat hebat memandu musik vocal dan pola peragaan.Â
Lagu-lagu yang mereka nyanyikan pun merdu. Salah satunya adalah lagu Bolelebo (salah satu lagu daerah dari Nusa Tenggara Timur yang hendak membahasakan pentingnya persatuan dan kerukunan antar sesama masyarakat NTT).
Para penonton yang terdiri dari para pembina, para frater, para karyawati dan beberapa undangan lainnya, menyaksikan penampilan mereka dengan sangat antusias. Para cameraman pun beraksi tiada hentinya dengan setelan blitz camera ibarat kilat menyambar di malam hari. Unggahan status Facebook, Intagram, WhatsApp begitu cepatnya dilakukan bahkan berlomba-lomba, lagipula tidak ada lain yang diunggah selain kisah tentang penampilan mereka.
Percakapan-percakapan, peragaan-peragaan yang mereka tampilkan, muatannya bercorak filosofis dan teologis. Situasi konflik yang tengah dilakonkan pun benar-benar ditekuni sehingga menyita perhatian para penonton. Pada bagian tertentu, para penonton tanpa suara dan kata, mengapresiasi penampilan mereka dengan berkali-kali memberi aplaus.
Lihat Sosbud Selengkapnya