Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengabdi Manusia Berarti Memuliakan Allah

15 November 2018   17:58 Diperbarui: 15 November 2018   18:20 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Refleksi Teologis Terhadap Keterlibatan Sosial Gereja Dalam Politik) - dokpri

Gereja Katolik dalam perjalanan waktu tak henti-hentinya memandang politik sebagai ruang dan aktivitas yang mesti terus dibenahi. Pandangan ini tidak berarti Gereja menempatkan diri pada satu bagian yang lain sama sekali kemudian memandang politik sebagai "yang harus diadili" sebagaimana putusan hukum oleh hakim terhadap seorang terdakwa.

Gereja sebagai persekutuan para beriman tidak dapat menyangkal bahwa jaminan kesejahteraan terhadap masyarakat merupakan tugas khas negara yang patut dicapai melalui ruang politik. Patut diketahui pula bahwa urusan teknis terkait dengan kesejahteraan masyarakat, dalam arti tegas bukanlah urusan Gereja sebab Gereja bukanlah lembaga politik.

Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II, dalam refleksi tentang keterlibatan sosial Gereja, khususnya dalam bidang politik, telah menunjukkan teladan yang baik bahwa Gereja dalam pendirian moral dan atas daya dorong imannya, terpanggil untuk menjadikan politik sebagai ruang terlaksananya misi Gereja demi keselamatan universal umat manusia. Di sini, ada titik temu antara missio dan communio bahwa panggilan Gereja untuk melaksanakan misi keselamatannya tidak dapat menghindari persekutuan dengan dunia dalam segala aktivitas perpolitikannya. Atas cara ini, Gereja tidak boleh terlalu nekat untuk mencampuri urusan perpolitikan negara, sejauh segala perilaku dan kebijakan tidak mencoreng atau merugikan iman dan moralitas Gereja.

Khususnya di Indonesia ini, dalam konteks tahun politik (baca:2018-2019), para Uskup se-Indonesia dalam sidang tahunan Konfrensi Wali Gereja Indonesia (KWI) tahun 2017 lalu, telah merilis Nota Pastoral KWI 2018 bertajuk dengan tema : Panggilan Gereja Dalam Hidup Berbangsa-Menjadi Gereja Yang Relevan dan Signifikan. Dalam Nota Pastoral ini, para Uskup menegaskan gerak langkah mereka tentang keterlibatan sosial Gereja dalam bidang-bidang kehidupan umat manusia, termasuk bidang politik, dengan mengintegrasikan spiritualitas kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan masyarakat Indonesia zaman ini sebagai bagian integral dari gereja yang mesti terus dipupuki dalam semangat cinta kasih yang berkanjang dalam iman Kristiani.

Perkanjangan dalam iman Kristiani ini membuahkan karya-karya misioner Gerejani sebagai bentuk pelaksanaan amanat misi Yesus sendiri tentang bagaimana menjadi saksi, garam dan terang bagi dunia, bukan karena Gereja memandang dunia dan politik sebagai yang asing. Justru demi suatu dunia yang tenteram, muncullah tuntutan katolisitas Gereja bahwa Gereja pada prinsipnya diutus oleh Allah untuk menjadi Sakramen universal keselamatan bagi dunia. Gereja melalui karya pewartaannya, dunia melalui aktivitas perpolitikannya; sama-sama terpanggil untuk mengabdi pada martabat manusia yang bermuara pada kesejahteraan bersama. Di sini, konsep tentang menyucikan dunia berarti menyucikan manusia-manusianya.

Dalam kerangka Ajaran Sosial Gereja, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes menempatkan manusia sebagai subyek yang mesti diabdi dan dibina ketika Gereja mewartakan misinya di dalam dunia dan bersama dunia. Dalam arti ini, Paus Paulus VI dalam Ensiklik Populorum Progressio (26 Maret 1967) telah menggarisbawahi perhatian Gereja yang besar terhadap perkembangan bangsa-bangsa dengan manusia sendiri sebagai subyek pembangunan. Dengan mempelajari berbagai konteks sosial ketidakadilan dalam hidup berbangsa dan bernegara, Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (30 Desember 1987) menaruh keprihatinan sosial yang besar terhadap perkembangan bangsa dengan menggarisbawahi perilaku susila manusia dan terhadap manusia sebagai bentuk perkembangan yang sesungguhnnya.

Dengan menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan, cinta kasih sebagai dasar pemersatu dalam segala bidang kehidupan tidak dapat dihindari. Cinta kasih yang mendalam terhadap martabat manusia, di satu sisi mendorong setiap pejuang Gereja dan bangsa untuk membentuk pola cipta, rasa, karsa dan perilaku susila demi menata dunia ini agar semakin indah dan teratur. Dalam arti ini, keterlibatan sosial Gereja perlu ditempatkan dalam kerangka kerja sama bahwa Gereja hanya dapat menunjukkan dimensi sakramentalnya di dunia kalau manusia-manusia diarahkan untuk memandang politik sebagai ruang dan aktivitas yang perlu dimanfaatkan dalam terang ajaran Yesus sendiri tentang bagaimana seharusnya sesama manusia saling memperlakukan.

Ajaran Yesus tentang bagaimana saling memperlakukan, dalam semangat kerja sama diintegrasikan dengan nilai-nilai kebangsaan bermuara pada menjunjung tinggi sikap solidaritas, subsidiaritas, kesejahteraan umum dan option for the poor. Dalam arti ini, kita paham bahwa keterlibatan sosial Gereja dalam menyucikan dunia, aspek sakramentalnya justru makin nampak melalui semangat solidaritas, mengabdi kesejahteraan umum, subsidiaritas dan berpihak pada kaum miskin dan lemah. Mengabdi manusia berarti mengatakan sikap solider, pro kesejahteraan umum, sikap subsidier, dan memperhatikan nasib manusia yang miskin dan lemah karena dijejali dengan berbagai kebijakan tidak adil.

Atas cara ini, Gereja semakin menunjukkan orisinalitasnya sebagai pakar perihal kemanusiaan. Sebagai pakar perihal kemanusiaan, Gereja sebagai persekutuan umat beriman terpanggil untuk memandang dunia dan politik sebagai ruang yang dihidupi oleh umat manusia sebagaimana Kristus sendiri memilih untuk datang dan hadir di tengah-tengah dunia.

Kristus sebagai Putera Allah, dalam segala pewartaanNya, Ia menempatkan Kerajaan Allah sebagai kunci utama dan sebagai model Kristiani bagi dunia untuk mengusahakan kesejahteraan umat manusia. Karena itu, panggilan Gereja dalam dunia dan politik, sesungguhnya berciri khas teologis dan kristologis. Ciri khas teologis dan kristologis ini hanya dapat dimengerti dalam kerangka bahwa segala upaya yang dilakukan, dilakukan demi kesejahteraan dan keselamatan umat manusia. Di sini muncul pula ciri khas antropologis yang menaruh perhatian terhadap kesejahteraan umat manusia sebagai "yang paling dikehendaki oleh Bapa dan Putera".

Dalam terang teologi penciptaan, memperjuangkan kesejahteraan berarti menjadikan Bapa semakin hidup dengan menciptakan pola penyucian dan pewaartaan  yang menjawabi tantangan zaman. Dalam terang kristologi, terjadi pertukaran yang sangat mengagumkan antara Allah dan manusia; Allah menjadi manusia; manusia diangkat kodratnya menjadi anak-anak Allah. Dalam terang antropologi Kristiani, manusia sebagai ciptaan  yang unik dan istimewa dengan segala potensi yang dikaruniakan kepadanya, berupaya untuk membangun mitra kerja demi bonum commune, dalam terang relasi kasih Trinitas sebagai model dalam membangun persekutuan hidup. Dalam arti ini, perjuangan tentang kesejahteraan manusia hanya dapat berarti bagi Gereja dalam segala karya misionernya, kalau manusia itu sendiri benar-benar ditempatkan pertama-tama sebagai makhluk ciptaan yang mendahului statusnya sebagai warga negara dan anggota Gereja.

Atas pemahaman seperti ini, sebagai warga negara dan anggota Gereja perlu menghayati martabatnya sebagai kodrat original terberi, yang perjuangan terhadapnya sama sekali tidak bergantung pada statusnya sebagai warga negara maupun sebagai anggota Gereja. Justru dengan konsep seperti ini, Gereja dan negara segera disadarkan bahwa martabat manusia adalah yang pertama dan terutama dalam perjuangan kesejahteraan daripada sekedar status-status sosial yang dikenakan kepada manusia.

Perjuangan terhadap kesejahteraan umat manusia akhirnya perlu memandang dunia dan politik sebagai ruang untuk membangun relasi dan mitra kerja. Filsuf Yunani kuno yakni Aristoteles telah lama menandaskan tentang sosialitas manusia yang begitu berarti justru karena apa yang mereka perjuangkan adalah demi kebaikan bersama yang disebutnya kebaikan tertinggi yakni kebahagiaan.

Akhirnya, mengabdi manusia berarti memuliakan Allah. Manusia sebagai aktor politik, manusia sebagai makhluk penghuni dunia, tidak boleh dilepaskan dari kodratnya sebagai ciptaan yang berharga. Dalam status sebagai ciptaan, berpolitik berarti menjadikan dunia semakin berkembang dan bertumbuh. Perjuangan politik tanpa mengabdi pada martabat manusia sebenarnya tidak memperjuangkan apa-apa. Menyucikan dunia tanpa prioritas terhadap manusia sebagai subyek pembangunan justru bertentangan dengan status Gereja sebagai pakar perihal kemanusiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun