Atas pemahaman seperti ini, sebagai warga negara dan anggota Gereja perlu menghayati martabatnya sebagai kodrat original terberi, yang perjuangan terhadapnya sama sekali tidak bergantung pada statusnya sebagai warga negara maupun sebagai anggota Gereja. Justru dengan konsep seperti ini, Gereja dan negara segera disadarkan bahwa martabat manusia adalah yang pertama dan terutama dalam perjuangan kesejahteraan daripada sekedar status-status sosial yang dikenakan kepada manusia.
Perjuangan terhadap kesejahteraan umat manusia akhirnya perlu memandang dunia dan politik sebagai ruang untuk membangun relasi dan mitra kerja. Filsuf Yunani kuno yakni Aristoteles telah lama menandaskan tentang sosialitas manusia yang begitu berarti justru karena apa yang mereka perjuangkan adalah demi kebaikan bersama yang disebutnya kebaikan tertinggi yakni kebahagiaan.
Akhirnya, mengabdi manusia berarti memuliakan Allah. Manusia sebagai aktor politik, manusia sebagai makhluk penghuni dunia, tidak boleh dilepaskan dari kodratnya sebagai ciptaan yang berharga. Dalam status sebagai ciptaan, berpolitik berarti menjadikan dunia semakin berkembang dan bertumbuh. Perjuangan politik tanpa mengabdi pada martabat manusia sebenarnya tidak memperjuangkan apa-apa. Menyucikan dunia tanpa prioritas terhadap manusia sebagai subyek pembangunan justru bertentangan dengan status Gereja sebagai pakar perihal kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H