Kedua,Persamaan (Egalite) memberi perlindungan dan jaminan atas hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Setiap orang berhak atas kepemilikan harta pribadi dan bebas berinteraksi dalam koridor sosio budaya. Jaminan hak ini memberi peluang bagi setiap orang untuk bekerja dan berkembang secara maksimal.Â
Ketiga, Persaudaraan (Fraternite). Konsep ini direfleksikan sebagai buah usaha dari pelaksanaan dua konsep terdahulu. Konsep persaudaraan muncul sebagai harapan akan tercapainya perdamaian dan kesejahteraan bersama (bonum commune)yang berakar pada prinsip-prinsip solidaritas.
Meskipun pendapat Vasak agar bernada profan tetapi nilai reflektifnya dapat dijadikan buah pembelajaran yang tak kalah pentingnya dalam konteks penghormatan martabat manusia. Aliran pemikiran dan konsep tentang harkat dan martabat manusia (laki-laki dan perempuan) ini bermuara pada suatu pemahaman induktif bahwa manusia, entah perempuan entah laki-laki memiliki persamaan harkat dan martabat. Kaum perempuan di dalam tatanan penciptaan maupun di dalam kehidupan duniawi -- memiliki kesamaan dan kesetaraan martabat dengan laki-laki. Sebab laki-laki dan perempuan adalah citra Allah yang agung dan indah.Â
Hal lain yang penting untuk dicatat pula, bahwa Kristus menempatkan hukum cinta kasih sebagai hukum tertinggi dalam kekristenan. Maka, dasar itulah yang menjadi kekuatan bagi iman kristiani bahwa manusia, siapa pun dia, apapun jenis kelaminnya, ataupun perbadaan SARA sekalipun harus dicintai secara total, sebagaimana Allah mencintai manusia tanpa pembedaan.
Keterpilihan Bunda Maria dan Martabat Perempuan
Keterpilihan Maria, perawan dari Nazaret oleh Allah untuk menjadi Bunda Allah (theotokos)adalah suatu rencana pewahyuan Allah dalam misteri penyelamatan manusia dari dosa dan maut (Bdk. Luk. 1:26-38). Komunikasi dialogis antara Maria dan Gabriel -- utusan Allah yang bermuara pada kepasrahan Maria untuk menerima Sabda Allah, melukiskan secara konkrit sikap "keperkasaan -- keberanian" Â Maria untuk mengemban tugas Allah Maha Besar.
Allah memilih melibatkan Maria dalam rencana keselamatan umat manusia. Dengan memilih Maria sebagai Bunda Allah, Maria dianugerahi karunia serta martabat yang amat luhur yakni menjadi Bunda Putera Allah dan Puteri Bapa yang terkasih serta kenisah Roh Kudus (LG. art. 53). Maria mewakili kaum perempuan, dipilih dan diangkat menjadi "rekan kerja" Allah untuk mengandung, melahirkan, memelihara, dan membesarkan Putera Allah itu (LG. art 67) dan sekaligus menjadi "teman sekerja" Yesus Kristus dalam karya penyelamatan umat manusia (Bdk. LG. art 58 dan Yoh. 2:1-11).
Dalam kekristenan, Maria ditetapkan sebagai tokoh sentral yang mengangkat martabat kaum perempuan. Berkat karunia Allah untuk memilih dan menetapkan perempuan (baca: Maria) sebagai rekan kerja; Allah sekaligus menegaskan sifat luhur martabat perempuan. Sifat luhur martabat perempuan terletak pada pengangkatan Maria secara adikodrati kepada persekutuan dengan Allah di dalam Yesus Kristus, yang menentukan tujuan akhir setiap orang (laki-laki dan perempuan), baik di bumi maupun di keabadian.
Sebab pertama-tama oleh Allah, perempuan tidak dijadikan sebagai hamba atau budak belian melainkan dipanggil dan dipilih menjadi Bunda Allah. Inilah keistimewaan Maria. Kesatuan Maria dengan Allah, menegaskan suatu keistimewaan yang hanya dimiliki oleh kaum perempuan, yakni persatuan ibu dan anak.
Konsep keselamatan Allah dengan melibatkan perempuan (baca: Maria) sebagai rekan kerja Allah dapat direfleksikan dan diaplikasikan dalam proyek agung zaman ini yakni pemanusiaan manusia(humanisasi). Oleh Paulo Freire, humanisasi tidak sekadar sebagai proses pemanusiaan manusia, tetapi lebih kepada proses pemanusiawian dunia. Hasilnya bisa berupa humanisasi (peningkatan martabat manusia) atau dehumanisasi (kemerosotan martabat manusia). Maka, humanisasi menjadi suatu proses pemanusiaan yang terus diperjuangkan.
Proses peningkatan martabat manusia dapat berlangsung ketika manusia mulai memiliki kesadaran untuk menghargai dan menghormati orang lain sebagai pribadi-pribadi bereksistensi, unik, dan bermartabat. Kesadaran ini menjadi awasan utama dalam membangun interaksi dan kerja sama -- antar pribadi untuk memaknai dunia. Bertolak dari kesadaran eksistensial ini, adanya pribadi-pribadi manusia, tidak untuk saling meng-eliminasi -- pribadi  lain, gender, ras atau golongan tertentu. Tetapi, sebaliknya membangun dialog antar subyek menuju persatuan dan pembebasan bersama.