Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teologi Pembebasan sebagai Sebuah Teologi Keberpihakan

13 Juni 2015   21:19 Diperbarui: 25 Oktober 2018   23:51 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Sebuah Refleksi mengkonkretkan Kerajaan Allah dalam pengalaman hidup manusia)

1. Konteks Yang Mendasari Munculnya Teologi Pembebasan

     Konteks asli yang mendasari adanya Teologi Pembebasan adalah hidup dan tindakan nyata Yesus historis. Yesus Historis hidup dalam konteks maraknya penindasan terhadap orang-orang miskin dan tertindas. Entah tertindas karena Hukum Taurat dalam tradisi Yahudi misalnya, kaum janda disepelekan dalam kehidupan sosial. Orang-orang kusta dikucilkan. Kaum pria menjadi figur terhormat dan perempuan menjadi figur kelas dua (fenomen ini selanjutnya memunculkan teologi feminis[1]). Inilah konteks sosio-politik pada zaman Yesus historis.

Di Amerika Latin, kemiskinan dan ketidakadilan tak terbendung sehingga teologi yang cocok adalah teologi pembebasan.[2] Pada dasarnya teologi pembebasan muncul sebagai suatu usaha untuk membebaskan manusia dari kemiskinan dan ketertindasan dengan dasar yang benar pada hidup dan karya pembebasan Yesus historis. Yesus hidup dalam konteks sosio-politik yang ekstrim dan keras dan Ia berjuang untuk pembebasan kaum miskin dan kaum terindas.[3]

Yesus Historis dan Keberpihakan pada Kaum Miskin dan Kaum Tertindas

George Kircberger mengutip uraian Leonardo Boff, menegaskan Yesus Kristus sebagai Pembebas.

Kristologi pembebasan memihak kaum tertindas bertolak dari kesadaran bahwa ia mampu melakukan hal itu karena imannya akan Yesus historis. Jika kita tidak terjun dan terlibat di dalam situasi kita maka hal itu berarti kita mengiyakan (status quo[4]) dan secara diam-diam memihak mereka yang mendapat privilese.[5]

     Kutipan ini menegaskan adanya suatu teologi yang tidak bersifat netral melainkan berpihak pada kaum miskin dan kaum tertindas. Keberpihakan ini berdasar para prinsip kemanusiaan perlu bebas dan bahagia tanpa adanya tekanan atau tindasan dari para penguasa atau juga kaum pemodal.[6]

Yesus Historis dan Kerajaan Allah

Leonardo Boff dalam uraian George Kirchberger, menandaskan pentingnya Yesus historis yang hidup dalam konteks penuh sosio-politis seperti banyak fakta yang kita alami sekarang. Yesus historis memiliki program pembebasan melalui tindakan nyata-Nya. Walaupun demikian, pembebasan itu merupakan sebuah sikap antisipatoris kehadiran Kerajaan Allah. hal ini berarti bukan Kristus iman itu tidak penting. Sebab, arti yang benar dan penuh dari Yesus historis, baru bisa diketahui dan dipahami dalam terang paskah, karena paskah merupakan penyelesaian dari perjalanan historis-Nya.[7] Mengapa demikian? Karena Yesus historis tidak mewartakan diri-Nya sendiri melainkan Ia membawa misi Kerajaan Allah sebagai peristiwa kegembira bagi setiap insan. Kemiskinan, ketidakadilan dan ketertindasan merupakan fenomen-fenomen yang tidak menggembirakan dan tentunya bertentangan dengan misi yang dibawa oleh Yesus yakni kerajaan Allah.

Dalam konteks ini, kita memahami bahwa tidak ada kontradiksi antara Yesus historis dan kerajaan Allah. Kerajaan Allah merupakan situasi di mana sangat dinantikan tetapi sudah mulai ditegakkan sebagai tindakan antisipatoris dalam kehidupan konkret. Kerajaan Allah tidak hanya dinantikan melainkan sudah diusahakan dalam kehidupan konkret manusia. Konkretisasi Kerajaan Allah pada zaman Yesus historis adalah peristiwa perubahan yang membebaskan. Pembebasan yang menciptkan kegembiraan. Terciptanya kegembiraan ini merupakan suatu situasi sebagai wujud dari Kerajaan Allah.[8]

Kita menemukan ternyata aktifitas pembebasan Yesus terjadi dalam dua konteks, yakni konteks historis oleh Yesus historis dan konteks keselamatan universal oleh Krisuts Iman. Konteks historis adalah pembebasan kaum tertindas dan kaum miskin, konteks universal adalah pembebasan dan keselamatan umat umat manusia universal. Pembebasan ini berpuncak seluruhnya pada peristiwa salib. Perisitwa salib erat kaitannya dengan usaha-usaha historis Yesus. Bahkan peristiwa Salib merupakan konsekuensi dari konspirasi antar para penguasa Yahudi-Romawi. Para penguasa tidak mau dirongrong kenyamanan aktifitas menindas dan memiskinkan.

     Salib merupakan puncak dari seluruh usaha yang telah dimulai dari Yesus historis. Peristiwa salib dalam terang paskah meluaskan keselamatan menjadi universal bagi semua orang, tidak hanya bagi orang-orang Yahudi.

Akhirnya, Kristologi pembebasan menekankan panggilan bagi orang-orang Kristen untuk mengikuti dan meneladani Yesus dalam aktifitas historis-Nya serta aktifitas keselamatan universal-Nya. Sebagai orang Kristen, kita terpanggil senantiasa untuk hidup bebas dan bergembira. Kita terpanggil untuk membawa pembebasan bagi sesama yang menderita kemiskinan dan ketertindasan.

 

2. Aplikasi Dalam Hidup Komunitas

     Kita terpanggil untuk meneladani Yesus dengan mengaktualisasikan pembebasan yang telah dimulai oleh-Nya. Pembebasan dalam konteks hidup bersama sebagai calon imam dalam Lembaga Seminari Tinggi Santo Mikhael, dicatat oleh penulis sebagai berikut :

Fenomen Krisis Panggilan

         Krisis hidup panggilan berarti tidak merasa bahagia sebagai calon imam. Hidup rohani sebagai sumber kekuatan terdalam tidak lagi diperhatikan. Relasi dengan Dia yang memanggil makin renggang karena lebih kuatnya relasi dengan tawaran-tawaran yang lebih menggiurkan. Hidup menjadi sesuatu yang membosankan bukannya menggembirakan. Jika kegembiraan dirasakan itu pun kegembiraan yang tidak banyak membantu, karena berbaur pragmatis, hedonistik dan konsumeristik. Sesuatu menjadi menggembirakan jika berguna sesuai keinginan yang sarat akan kenikmatan-kenikmatan material. Hidup baru mencapai kegembiraan ketika didasarkan pada kuantitas material yang dikonsumsi.

          Hidup tidak membawa pembebasan bagi diri. Yesus menderita untuk membebaskan, membawa kegembiraan dan keselamatan, sementara kita bergembira untuk mencari penderitaan bagi diri. Krisis hidup yang sebenarnya dapat diatasi menjadi sesuatu yang sulit karena tidak memiliki basis kekuatan sebagai Sumber Mahakuat.

Fenomen Sikap Menunda

          Banyak tugas dan kepercayaan yang diberikan, menjadi terbengkalai karena tidak memiliki rencana yang matang dalam hidup setiap hari. Sistem kebut semalam terhadap pengerjaaan tugas, hasilnya tidak maksimal. Hasil yang dicapai tidak lebih dari kungkungan tempurung kemalasan. Aktifitas pribadi tidak dihayati sebagai sebuah aktifitas yang membawa pembebasan bagi diri. Prinsip masih ada waktu begitu kuat sehingga kegembiraan hidup sebagai masa depan hanya dirasakan pada waktu sesaat itu pun tidak mendalam. Kemalasan sering hadir sebagai penyekat bagi kegembiraan komitmen.

Fenomen Sikap Hidup Ikut Arus

          Seekor bebek sejak kecil ia berenang mengikuti arah arus air. Ketika ia merasa mulai kuat ia berani untuk melawan arus air. Ia semakin kuat setelah melewati lawan arus. Demikian juga sebuah laying-layang justru membubung tinggi karena daya tahannya melawan derasnya arus angin. Cuplikan cerita ini menandaskan sikap ketahanan atau dalam bahasa kita dinamakan komitmen hidup. Hidup tanpa komitmen tidak membawa pembebasan bagi diri. Setiap tugas yang diberikan justeru dialami sebagai beban bukannya sebagai proses belajar yang membutuhkan ketekunan karena sikap hidup yang mudah ikut arus. Waktu disediakan untuk pengerjaan berdoa, belajar dan pengerjaan tugas lebih sedikit daripada waktu untuk sekedara hura-hura.

3. Penutup

     Sebagai orang-orang yang terpanggil secara khusus, mari kita berpihak pada kebenaran dengan komitmen dan tanggung jawab hidup yang menyelamatkan. Jika Yesus Kristus membawa pembebasan bagi orang-orang Yahudi dalam historisitas-Nya dan membawa keselamatan universal bagi kita semua. Mari kita menghayati peristiwa pembebasan dan keselamatan itu dalam hidup kita sehari-hari. Dengan membebaskan diri dari ketertindasan kemalasan, ketertindasan rendah managemen waktu dan kegiatan. Jika Yesus Kristus berpihak pada kaum miskin dan kaum tertindas, mari kita berpihak pada komitmen dan ketekunan hidup. Mari kita menghayati spiritualitas pembebebasan dan spiritualitas salib dalam kehidupan kita sehari-hari.

 

Kita semakin merasa bebas dan dibebaskan ketika kita selalu berpihak pada kekecilan dan kebenaran.

 

[1]Herman Punda Panda, Bahan Kuliah Kristologi Semester IV, (Kupang : FFA, 2003), hlm. 29.

[2]Ibid, hlm. 14.

[3]Ibid, hlm. 28.

[4]Status quo berarti orang-orang yang tetap bertahan dalam kondisinya yang buruk dan tidak mau untuk bertobat dan berubah. George Kircberger, Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik Kristiani, (Maumere : Ledalero, 2007), hlm. 233.

[5]Ibid., hlm. 231.

[6]Ibid., hlm. 230.

[7]Ibd., hlm. 232.

[8]Ibid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun