Mohon tunggu...
Fransiskus Frengki Pareira
Fransiskus Frengki Pareira Mohon Tunggu... Lainnya - NIM : 55522120027, Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pajak Internasional - Pemeriksaan Pajak - Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

NIM : 55522120027, Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pajak Internasional - Pemeriksaan Pajak - Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mutual Agreement Procedure

7 Mei 2024   13:43 Diperbarui: 7 Mei 2024   14:09 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konteks hubungan ekonomi internasional, negara-negara memiliki kebijakan tarif pajak yang berbeda-beda untuk mendapatkan pendapatan yang diperlukan. Salah satu masalah yang sering muncul dalam aktivitas ekonomi lintas batas adalah penentuan harga transfer. Penentuan harga transfer menjadi krusial karena dapat berdampak pada pajak penghasilan yang harus dibayar oleh perusahaan multinasional.

Penentuan harga transfer melibatkan penetapan harga jual barang atau jasa antara entitas yang berada dalam satu grup perusahaan, namun berada di negara yang berbeda. Praktik ini dapat digunakan untuk memanipulasi laporan keuangan dengan cara menaikkan biaya di negara dengan tarif pajak tinggi dan menurunkannya di negara dengan tarif pajak rendah, sehingga mengurangi total pajak yang harus dibayar.

Secara  umum,  Wajib  Pajak  (WP)  di  Indonesia memiliki  tiga  alternatif  sarana  yang  dapat  dipergunakan  untuk  menghadapi sengketa  terkait dengan  koreksi  Transfer pricing.  Ketiga  alternatif  sarana  itu  adalah  mengajukan  prosedur  persetujuan bersama MAP,   menempuh   kesepakatan   harga   transfer (Advance  Pricing  Agreement/APA)  atau  mengajukan  banding  ke  Pengadilan Pajak  hingga peninjauan  kembali  ke  Mahkamah  Agung 

Mutual Agreement Procedure  merupakan  alternatif  bagi  Wajib  Pajak  untuk  menyelesaikan  sengketa  yang menimbulkan pemajakan  berganda,  atau  apabila  terdapat  indikasi  bahwa  tindakan  otoritas Negara Mitra menyebabkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B. Wajib Pajak dapat mengajukan   permohonan   asistensi   kepada   Direktur   Jenderal   Pajak   sebagai Competent Authority (CA) atas sengketa yang timbul dari pemajakan berganda dengan Negara Mitra P3B antara lain berasal dari penyesuaian akibat koreksi transfer pricingyang tidak sesuai dengan peraturan dalam P3B (Suparman, 2016)

Tujuan MAP adalah untuk mencegah timbulnya pengenaan pajak berganda (double taxation) atau penerapan ketentuan tax treaty yang tidak benar. Melalui skema baru ini, permintaan pelaksanaan MAP dapat diajukan bersamaan dengan pengajuan upaya hukum domestik (misalnya keberatan atau banding) oleh WPDN. MAP juga dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya sengketa pajak transfer pricing dalam bentuk Bilateral Advance Pricing Agreement.

Di dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) terdapat ketentuan yang mengatur mengenai Mutual Agreement Procedure (MAP).

Pertama, apabila subjek pajak orang pribadi dan badan dikenakan pajak atau akan dikenakan sesuai dengan ketentuan P3B, pajak tersebut dapat mengajukan MAP. Kedua, MAP adalah solusi (remedi) penyelesaian sengketa "spesial" di luar ranah penyelesaian sengketa domestik, seperti keberatan atau banding. MAP dianggap spesial karena merupakan proses konsultasi dan bukan litigasi. Ketiga, MAP tidak dimaksudkan untuk mencabut hak wajib pajak pada penyelesaian sengketa domestik. Keempat, pengajuan MAP dilakukan oleh subjek pajak kepada otoritas yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut di negara tempat subjek pajak tersebut terdaftar sebagai subjek pajak dalam negeri. Terakhir, pengajuan MAP harus dilakukan dalam kurun waktu 3 tahun sejak pemberitahuan pertama yang menghasilkan pemajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam P3B yang telah disepakati. Pada umumnya pemberitahuan pertama (first notification) dapat diartikan sebagai surat ketetapan pajak atau surat pemberitahuan hasil pemeriksaan.

Di Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan No. 49/PMK.03/2019 mengatur ketentuan Mutual Agreement Procedure (MAP). Menurut kebijakan ini, Wajib Pajak (WP) yang menghadapi sengketa perpajakan, seperti perlakuan perpajakan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), dapat mengajukan permintaan pelaksanaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar atau langsung kepada Direktur Perpajakan Internasional, jika permintaan diajukan oleh Warga Negara Indonesia atau Pejabat Berwenang Mitra P3B.

Adapun perlakuan perpajakan oleh otoritas P3B yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B antara lain:

  • Pengenaan pajak termasuk pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan di mitra P3B yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
  • Penentuan status sebagai subjek pajak dalam negeri oleh otoritas pajak mitra P3B;
  • Diskriminasi perlakuan perpajakan di mitra P3B; dan/atau
  • Penafsiran ketentuan P3B.

Dan untuk mengajukan MAP harus memenuhi Persyaratan sebagai berikut:

  1. Permintaan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
  2. Menyatakan ketidaksesuaian penerapan ketentuan P3B menurut WP.
  3. Diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam P3B atau paling lambat 3 tahun sejak tanggal surat ketetapan pajak, tanggal bukti pembayaran, pemotongan, atau pemungutan pajak penghasilan, atau saat terjadinya perlakuan perpajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B.
  4. Ditandatangani oleh WP atau wakilnya yang sah.
  5. Dilampiri dengan surat keterangan domisili atau dokumen lain yang berisi identitas WP dalam negeri Mitra P3B yang terkait dengan permintaan MAP, daftar informasi, bukti, atau keterangan yang menunjukkan ketidaksesuaian penerapan ketentuan P3B, serta surat pernyataan kesediaan WP untuk menyampaikan informasi secara lengkap dan tepat waktu.

Prosedur Penyelesaian Sengketa (MAP) dianggap memiliki kelemahan yang signifikan, terutama dalam pembatasan hak wajib pajak yang dianggap tidak masuk akal dan membatasi akses serta transparansi. Meskipun ruang lingkup hambatan MAP meliputi akses, arbitrase, transparansi, dan keterlibatan wajib pajak, masih terdapat banyak kendala dan proses negosiasi dengan otoritas pajak seringkali memakan waktu dan biaya yang tidak proporsional dengan hasil yang diperoleh.

Banyak penyelesaian sengketa koreksi Transfer Pricing melalui MAP tidak mencapai mutual agreement. dalam  arti berapa yang menghasilkan persetujuan bersama yang dapat menyelesaikan sengketa pajak berganda.

Perlu diketahui bahwa, terdapat berbagai macam outcome MAP berdasarkan data outcomes MAP yang diperoleh dari data Internal DJP, yaitu: (a.) Denied MAP Access, yaitu permohonan MAP ditolak; (b.) Objection is not justified, yaitu permohonan MAP tidak termasuk hal yang seharusnya dipersengketakan melalui MAP; (c.) Withdrawn by taxpayer, yaitu permohonan MAP ditarik kembali oleh wajib pajak; (d.) Unilateral relief granted, yaitu tercapai kesepakatan unilateral; (e.) Resolved via domestic remedy, telah terselesaikan melalui jalur domestik; (f.) Agreement fully eliminating double taxation/fully resolving taxation not in accordance with tax treaty, yaitu tercapainya kesepakatan untuk mengeliminasi pajak berganda secara penuh sesuai dengan tax treaty; (g.) Agreement partially eliminating double taxation/partially resolving taxation not in accordance with tax treaty, yaitu tercapainya kesepakatan untuk mengeliminasi sebagian pajak berganda sesuai dengan tax treaty; (h.) Agreement that there is no double taxation in accordance with tax treaty, yaitu kesepakatan bahwa tidak ada sengketa pemajakan berganda pada permohonan yang diajukan berdasarkan tax treaty; (i.) No agreement including agreement to disagree, yaitu tidak tercapainya kesepakatan, termasuk kesepakatan untuk tidak sepakat; dan (j.) Any other outcome.

Meskipun banyak yang mengajukan sengketa melalui MAP, tidak semua dapat diselesaikan karena beberapa faktor. Pertama, jangka waktu yang lama dan batasan proses dalam pengajuan MAP dapat menjadi kendala. Batas waktu penyampaian permohonan adalah tiga tahun sejak surat ketetapan pajak dikeluarkan, tanggal bukti pembayaran, pemotongan atau pemungutan PPh, dan sejak perlakuan perpajakan yang dianggap tidak sesuai dilakukan. Jika melebihi batas waktu tersebut, permohonan MAP tidak akan diterima. Proses yang memakan waktu lama dapat menambah beban bagi wajib pajak, seperti bertambahnya biaya konsultan.

Kedua, SDM yang kompeten dan berpengalaman diperlukan dalam proses MAP. Hambatan dapat terjadi jika hasil pemeriksaan dari pemeriksa pajak kurang berkualitas, yang menjadi hambatan dalam proses penyelesaian atau negosiasi. DJP perlu meningkatkan kualitas SDM, baik yang memahami konsep perpajakan internasional maupun yang menjadi negosiator dalam perundingan MAP.

Ketiga, penggunaan teknologi informasi yang belum maksimal juga menjadi hambatan. Diperlukan sistem informasi yang mampu mengolah data perpajakan sehingga dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mengawasi transaksi wajib pajak dan dapat diintegrasikan dengan pihak negara dan institusi luar negeri terkait.

Keempat, perbedaan sistem dan prosedur dari negara mitra juga dapat menjadi hambatan. Pengalaman negara mitra dalam penyelesaian MAP dan pengalaman sebelumnya dalam penyelesaian MAP dengan Indonesia juga memengaruhi proses negosiasi.

Kelima, komunikasi dan bahasa yang berbeda juga dapat menghambat proses penyelesaian sengketa melalui MAP. Pemahaman bahasa yang berbeda dapat menjadi hambatan.

Keenam, kerja sama antara wajib pajak dan DJP terhalang oleh keinginan masing-masing pihak untuk tidak mau melakukan transparansi. Hal ini terutama terjadi pada wajib pajak yang enggan melakukan full disclosure.

Ketujuh, ketidakpastian mengenai kesepakatan dalam proses MAP juga menjadi hambatan. Proses yang lama dan kompleks menyebabkan ketidakpastian.

Keseluruhan, kompleksitas regulasi yang menyebabkan ketidakpahaman wajib pajak terhadap prosedur penyelesaian melalui MAP juga menjadi kendala. Persyaratan yang rumit membuat proses MAP sulit dipahami dan diakses oleh wajib pajak, sehingga mereka harus memahami hukum pajak internasional atau menggunakan konsultan pajak, yang menimbulkan biaya tambaha

Referensi:

  1. Darussalam, D.S., & Kristiaji, B. (2013). Transfer pricing -- Ide, strategi, dan panduan praktis dalam perspektif pajak internasional. Danny Darussalam Tax Center.
  2. Ilham, M., & Widiastuti, B. (2022). Hambatan penyelesaian sengketa transfer pricing melalui mutual agreement procedure (MAP) di Indonesia. Educoretax, 2(1).
  3. Nindita, A., Yunintyas, L. F., Rahmaningtyas, R., & Mellynia, S. S. (2023). Implementasi PMK 22/PMK.03/2020 Guna Menindaklanjuti Perubahan Mutual Agreement Procedure dalam Pelaksanaan Transfer Pricing di Indonesia. 22

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun