Â
Hal yang bakal gue ceritain merupakan gambaran cerita dari kejadian yang gue dan teman-teman gue alamin, dan coba diceritakan dari sudut pandang sendiri, dengan mengambil sisi orang pertama.
Cerita ini bukan certa teladan, tapi kalau ada yang bisa dipelajari, pelajarilah, karena dengan berbagi dan saling belajar, hidup kita akan lebih banyak cerita.
Kami dulu tinggal di dekat sebuah kampung nelayan yang cukup terkenal di Jaw barat, kami berasal dari beberapa latar belakang keluarga yang berbeda, ada yang dari keluarga PNS, keluarga petani, keluarga pedagang dan lain sebagainya. Namun kami bersekolah di sekolah yang sama, karena cuma itu satu-satu nya sekolah negeri di tempat kami. Kami berempat saling mengenal dekat satu sama lain karena kesamaan sifat. Kami cukup populer di sekolah, (lumayan) pintar,(lumayan) menarik, dan keluarga kami masing-masing memiliki tempat tersendiri di mata masyarakat.
Gue Maya, Ibu gue seorang pendidik, Ayah gue seorang sopir, gue punya adik cowok yang berbeda enam tahun dari gue. Teman gue Nina, Ibunya seorang pendidik juga, dan Ayah nya seorang pengusaha kayu. Dewi, Ibu nya seorang perawat di Ibukota dan Ayah nya seorang pekerja kantoran biasa ( sebenarnya dua nama teman gue yang terakhir, gue ga tau latar belakang keluarga nya yang sebenarnya, dan menurut gue itu bukan urusan gue, yang penting kami berteman dan tidak saling merugikan ) dan Dewi tinggal di rumah neneknya di kampung tempat gue tinggal. Silvia, Ibunya (juga) seorang perawat di Ibukota ( soal Ayah nya gue ga tau dan ga mau tahu, karena bukan urusan gue ).
Diantara kami berempat cuma Dewi yang lumayan menonjol. Karena dia putih, mungil dan berpenampilan menarik, walau untuk ukuran akademis, gue masih bisa berbangga hati dengan selalu masuk di 5 besar. Nina terhitung anak yang pintar, berperawakan hitam manis dan tinggi rata-rata, dengan nilai akademis bersaing dengan gue. Silvia, agak pendiam dan manis dengan mata yang sipit dan mempunyai gigi gingsul yang membuatnya terkadang malu-malu untuk tertawa. Gue..orang bilang gue manis kalau mau lebih menonjolkan sifat feminim gue. Orang bilang juga gue galak, malah terkesan sadis dengan mata gue yang selalu memandang dengan 'jereng' ke orang lain.
Kami melewati masa sekolah menengah pertama dengan penuh kegilaan kami. Disitu kami pertama kali mengenal hal-hal yang seharusnya tidak kami ketahui. Di masa itulah, kami mulai mengenal dan mecoba-coba rokok, minuman keras dan lain-lain. Semua hal itu kami kenal dari lingkungan pergaulan yang kami dapat di terminal. Mungkin terdengar aneh, kenapa terminal??? Ya, terminal, lokasi kami yang jauh dari tempat hiburan dan pusat perbelanjaan, menjadikan kami harus 'kreatif' mencari hiburan,kami mencari tempat dimana orang-orang berkumpul, dan dengan sifat kami yang selalu ingin tahu, dan muka ndablek kami ditambah dengan penampilan kami, cukup mudah bagi kami untuk maasuk ke lingkungan itu. Disaat kami mulai mengenal hal-hal tersebut, kami merasa 'bangga' dan merasa 'keren'.
Namun biarpun kami sudah 'agak' melanggar batas kami, namun untuk bidang akademis, kami masih tetap bertahan. Dan itu menjadikan kami tetap punya nama dan muka di sekolah dan teman-teman. tentu saja semua kami lakukan diluar sepengetahuan keluarga kami masinh-masing.
Tibalah saat kami meninggalkan sekolah menengah pertama untuk melanjutkan ke sekolah menengah atas. Kami mulai berpencar mengikuti pilihan masing-masing. Gue memilih melanjutkan ke sekolah menengah atas di kampung sebelah yang menurut gue lebih menantang, karena gue tahu teman-teman gue di sekolah menengah pertama lebih memilih untuk melanjutkan di sekolah menengah atas di kampung. Nina memilih melanjutkan ke kota dan memilih sekolah kejuruan, karena dia berminat untuk melanjutkan ke sekolah bahasa. Dewi dan Silvia memilih pindah dan melanjutkan ke Ibukota, ke tempat orangtuanya, sejauh yang gue tahu melanjutkan ke sekolah perawat.
Selama masa 3 tahun menempuh pendidikan di sekolah menengah atas, hubungan gue dengan teman-teman agak tersendat, karena euforia masa-masa remaja dan puber yang sangat menyita waktu, hanya dengan Nina lah gue tetap komunikasi dengan lumayan lancar. Dan dimasa itulah kami benar-benar merasakan namanya hidup.
Gue yang bersekolah di daerah wisata, sangat akrab dan mudah untuk mendapatkan barang-barang haram. Untuk mendapatkan sejumput 'daun surga' sangatlah mudah.Dengan hanya Rp.15.000 gue bsa mendapatkannya. Tidak terhitung berapa kali gue mengkonsumsi disaat sekolah, ataupun bersama pasangan gue. Hubungan gue dengan teman-teman gue hampir bisa dibilang putus. Kami sibuk dengan dunia baru kami. Hingga diakhir masa sekolah gue merasakan sesuatu terjadi. Gue hamil. Ya...gue hamil gara-gara 'kepintaran' gue dalam menjaga badan
 Dan ironis nya pasangan gue hanya bisa pasrah dan diam tanpa ada solusi. Disaat itu, Nina datang pulang kampung untuk liburan, dan gue cerita semua ke dia, dan dia hanya bisa memeluk gue tanpa menghakimi. Setelah memastikan ke beberapa dokter dengan lemas kami bertiga terdiam, pasangan gue cuma bisa diam dan garuk-garuk kepala, sementara gue hanya bisa bengong sambil berurai air mata dalam dekapan Nina.
Setelah sama-sama bingung, kami sepakat untuk mendiamkan masalah ini dan 'berusaha' untuk tenang. Pada saat itu masa-masa sibuk kami untuk melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Nina tetap di kota dengan melanjutkan ke sekolah bahasa, sedangkan gue dan beberapa teman dari sekolah, memilih kota pelajar untuk sekolah pariwisata. Beberapa minggu kemudian gue sudah berstatus mahasiswi, dan meninggalkan dunia antah berantah. Dengan kondisi yang 'memaksa' gue tetap bersifat normal.
Dan entah bagaimana ceritanya semua kejadian itu ter 'skip' dari kehidupan gue, dengan meninggalkan 'luka' dan cerita miris yang melibatkan Ibu gue. Dan hampir menghilangkan nyawa gue karena kesembronoan gue sendiri. Telah terjadi infeksi di badan gue yang kalau telat sedikit, gue bisa game over. Tapi Tuhan memberikan kesempatan untuk berubah.
Gue bisa tetap melanjutkan sekolah dengan tenang dan tertawa dengan teman-teman. Dan gue kembali harus dihadapi dengan hal dan kejadian yangn tidak akan bisa gue lupain seumur hidup. Tinggal jauh dari orang tua dan tanpa ada yang mengawasi, semua norma dan hukum ' sah-sah' saja untuk dilanggar, begitupun gue. Teman-teman nongkrong gue terdiri dari anak-anak punk dan para 'junkies'. Menjadikan gue merasakan arti hidup dan kebebasan menurut versi kami. Kehidupan yang sangat jauh dari harapan orangtua hampir mencabut nyawa gue. Kebiasaan hidup bebas menjadikan gue akrab dengan maksiat, minuman keras, ganja, obat, sex bebas, itu hal 'lumrah' .
Hingga suatu saat disaat gue mau pulang kampung,terjadilah hal itu. Gue berangkat naik kereta malam sendirian, setelah sebelumnya gue 'perpisahan' sama teman-teman nongkrong gue dengan acara minum. Begitu sampai di Stasiun, gue ambruk, pingsan. Disaat gue sadar, gue berada di pos jaga. Setelah agak enakan, gue diantar pulang sama tetangga yang kebetulan bekerja di stasiun tersebut, sepanjang perjlanan gue menggigil dan muntah darah. Berlembar-lembar darah kental merah kehitaman keluar dari mulut gue, disertai rasa mual dan perih yang mendera. Setengah jam menuju rumah, gue minta mampir ke sebuah warung untuk bersih-bersih dan membuat 'pengakuan dosa'.
Untungnya sang tetangga ngerti dan akan menjaga hal tersebut. Gue ga tahu bagaimana gue bisa sampai dirumah dan apa yang terjadi setelah itu. Yang gue inget cuma Ibu gue bilang kalo gue kayak orang linglung. 3 hari ga bangun dari kasur dengan keadaan muka yang pucat dan badan tidak bertenaga. Dan sampai sekarang, gue ga tahu apa yang terjadi pada saat itu.
Setelah kejadian itu, kehidupan gue berangsur 'membaik', berusaha menjauhi sebisa mungkin hal-hl tersebut. Disaat gue menata hidup, datang kabar dari Nina, dia kalut dan nelp sambil nangis, kalo dia hamil. Tanpa bisa merengkuhnya, gue hanya bisa menangis dan menghibur dia, dia bilang dia takut, dan akhirnya kita berjanji ketemu. Gue mandaddak pulang dan Nina juga pulang, tapi kami tidak pulang ke rumah masing-masing. Kami tinggal di penginapan kecil di pinggir pantai, dan disaat ketemu, kami hanya berpelukan dan menangis bersama.
Kami saling berceirta tentang kehidupan kami selama sekian tahun dan merasa lega setelah semua terucap. Kami juga bercerita tentang Dewi dan Silvia, yang seolah mereka hilang ditelan bumi, tiada yang tahu tentang kabar mereka berdua,hanya Dewi yang terakhir berkabar kalau dia sudah menikah dan menetap di timur pulau jawa. Setelah saling menumpahkan emosi dan angan-angan, kami memutuskan pulang ke rumah masing-masing besok hari nya dengan berjanji saling menguatkan dan mengabari satu sama lain.
Beberapa bulan terlewati hingga terhitung tahun berganti, kami melewati dengan penuh liku dan cerita. Senang susah, tawa tangis silih berganti, kami melewatinya dengan semampu kami. Gue yang sekarang telah menikah, namun belum dikaruniai anak, Nina yang tinggal di luar negeri dan lagi dalam proses perceraian dengan Bapak dari anak yang dikandungnya sewaktu sekolah, Dewi yang masih di timur pulau jawa, dan Silvia yang masih entah dimana keberadaannya.
Kami berempat mungkin secuil gambaran dari kenakalan remaja. Namun kami bersyukur, kami telah mengalami banyak hal, dan ini menjadika kami kuat, dan mandiri dalam hidup.
Kami mungkin bukan orang baik, tapi kami ingin hidup dan diperlakukan sebagai orang baik.
Â
semua hal yang terjadi dalam hidup sudah ada yang mengatur, manusia bertugas memilih dan menjalani. Tidak pernah ada kata terlambat untuk perubahan
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H