Dan ironis nya pasangan gue hanya bisa pasrah dan diam tanpa ada solusi. Disaat itu, Nina datang pulang kampung untuk liburan, dan gue cerita semua ke dia, dan dia hanya bisa memeluk gue tanpa menghakimi. Setelah memastikan ke beberapa dokter dengan lemas kami bertiga terdiam, pasangan gue cuma bisa diam dan garuk-garuk kepala, sementara gue hanya bisa bengong sambil berurai air mata dalam dekapan Nina.
Setelah sama-sama bingung, kami sepakat untuk mendiamkan masalah ini dan 'berusaha' untuk tenang. Pada saat itu masa-masa sibuk kami untuk melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Nina tetap di kota dengan melanjutkan ke sekolah bahasa, sedangkan gue dan beberapa teman dari sekolah, memilih kota pelajar untuk sekolah pariwisata. Beberapa minggu kemudian gue sudah berstatus mahasiswi, dan meninggalkan dunia antah berantah. Dengan kondisi yang 'memaksa' gue tetap bersifat normal.
Dan entah bagaimana ceritanya semua kejadian itu ter 'skip' dari kehidupan gue, dengan meninggalkan 'luka' dan cerita miris yang melibatkan Ibu gue. Dan hampir menghilangkan nyawa gue karena kesembronoan gue sendiri. Telah terjadi infeksi di badan gue yang kalau telat sedikit, gue bisa game over. Tapi Tuhan memberikan kesempatan untuk berubah.
Gue bisa tetap melanjutkan sekolah dengan tenang dan tertawa dengan teman-teman. Dan gue kembali harus dihadapi dengan hal dan kejadian yangn tidak akan bisa gue lupain seumur hidup. Tinggal jauh dari orang tua dan tanpa ada yang mengawasi, semua norma dan hukum ' sah-sah' saja untuk dilanggar, begitupun gue. Teman-teman nongkrong gue terdiri dari anak-anak punk dan para 'junkies'. Menjadikan gue merasakan arti hidup dan kebebasan menurut versi kami. Kehidupan yang sangat jauh dari harapan orangtua hampir mencabut nyawa gue. Kebiasaan hidup bebas menjadikan gue akrab dengan maksiat, minuman keras, ganja, obat, sex bebas, itu hal 'lumrah' .
Hingga suatu saat disaat gue mau pulang kampung,terjadilah hal itu. Gue berangkat naik kereta malam sendirian, setelah sebelumnya gue 'perpisahan' sama teman-teman nongkrong gue dengan acara minum. Begitu sampai di Stasiun, gue ambruk, pingsan. Disaat gue sadar, gue berada di pos jaga. Setelah agak enakan, gue diantar pulang sama tetangga yang kebetulan bekerja di stasiun tersebut, sepanjang perjlanan gue menggigil dan muntah darah. Berlembar-lembar darah kental merah kehitaman keluar dari mulut gue, disertai rasa mual dan perih yang mendera. Setengah jam menuju rumah, gue minta mampir ke sebuah warung untuk bersih-bersih dan membuat 'pengakuan dosa'.
Untungnya sang tetangga ngerti dan akan menjaga hal tersebut. Gue ga tahu bagaimana gue bisa sampai dirumah dan apa yang terjadi setelah itu. Yang gue inget cuma Ibu gue bilang kalo gue kayak orang linglung. 3 hari ga bangun dari kasur dengan keadaan muka yang pucat dan badan tidak bertenaga. Dan sampai sekarang, gue ga tahu apa yang terjadi pada saat itu.
Setelah kejadian itu, kehidupan gue berangsur 'membaik', berusaha menjauhi sebisa mungkin hal-hl tersebut. Disaat gue menata hidup, datang kabar dari Nina, dia kalut dan nelp sambil nangis, kalo dia hamil. Tanpa bisa merengkuhnya, gue hanya bisa menangis dan menghibur dia, dia bilang dia takut, dan akhirnya kita berjanji ketemu. Gue mandaddak pulang dan Nina juga pulang, tapi kami tidak pulang ke rumah masing-masing. Kami tinggal di penginapan kecil di pinggir pantai, dan disaat ketemu, kami hanya berpelukan dan menangis bersama.
Kami saling berceirta tentang kehidupan kami selama sekian tahun dan merasa lega setelah semua terucap. Kami juga bercerita tentang Dewi dan Silvia, yang seolah mereka hilang ditelan bumi, tiada yang tahu tentang kabar mereka berdua,hanya Dewi yang terakhir berkabar kalau dia sudah menikah dan menetap di timur pulau jawa. Setelah saling menumpahkan emosi dan angan-angan, kami memutuskan pulang ke rumah masing-masing besok hari nya dengan berjanji saling menguatkan dan mengabari satu sama lain.
Beberapa bulan terlewati hingga terhitung tahun berganti, kami melewati dengan penuh liku dan cerita. Senang susah, tawa tangis silih berganti, kami melewatinya dengan semampu kami. Gue yang sekarang telah menikah, namun belum dikaruniai anak, Nina yang tinggal di luar negeri dan lagi dalam proses perceraian dengan Bapak dari anak yang dikandungnya sewaktu sekolah, Dewi yang masih di timur pulau jawa, dan Silvia yang masih entah dimana keberadaannya.
Kami berempat mungkin secuil gambaran dari kenakalan remaja. Namun kami bersyukur, kami telah mengalami banyak hal, dan ini menjadika kami kuat, dan mandiri dalam hidup.
Kami mungkin bukan orang baik, tapi kami ingin hidup dan diperlakukan sebagai orang baik.