Mohon tunggu...
Freema H. Widiasena
Freema H. Widiasena Mohon Tunggu... Buruh - Cuman nulis ngasal ngawur abal-abal. Jangan pernah percaya tulisan saya.

Suka menyendiri dan suka bersama. Cuman nulis ngasal ngawur abal-abal. Jangan pernah percaya tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Belilah Makanan Setempat, Kurangi Jejak Karbon

30 Juni 2023   17:04 Diperbarui: 30 Juni 2023   17:06 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengertian sederhana jejak karbon adalah emisi yang timbul karena aktivitas kita. Kita berkendara bermotor, mengeluarkan jejak karbon. Kita memesan paket dari luar kota, ada jejak karbon oleh kendaraan pengirim dari kota asal ke kota kita.

Jejak karbon ini bisa dikurangi. Misalnya dengan menggunakan angkutan umum. Angkutan umum bermotor BBM (bahan bakar minyak) memang masih mengeluarkan emisi. Namun ini akan jauh lebih sedikit ketimbang tiap orang meggunakan kendaraan pribadi. 

Sebagai analogi perbandingan, sebuah bus membakar 25 liter BBM untuk menempuh jarak 100 km. Dia bisa mengangkut katakanlah 50 orang. Maka per orang hitungannya membakar setengah liter BBM saja untuk menempuh jarak 100 km.

Sebuah motor dengan dua orang akan membakar dua liter BBM untuk menempuh jarak 100 km. Artinya, tiap orang akan membakar seliter BBM. Itu juga jika motornya boncengan. Jika dinaiki sendirian, maka seorang akan membakar dua liter BBM untuk menempuh jarak 100 km tersebut.

Yang tragis adalah mobil. Mobil anggap saja membakar delapan liter BBM untuk menempuh jarak 100 km. Jika mobil tersebut berisi empat orang, maka tiap orang membakar dua liter BBM untuk menempuh jarak 100 km.

Itu salah satu gambaran pengurangan emisi atau pengurangan jejak karbon.

Bilamana kelak kendaraan akan berganti semua menjadi kendaraan listrik, mestinya nak bus listrik tetap akan lebih hemat dan efisien dibanding bersepeda motor listrik. Anggaplah sebuah bus menghabiskan daya 100 kwh per 100 km. Dengan isi 50 penumpang, maka tiap kepala menghaiskan 2 kwh per 100 km. Sementara sepeda motor listrik katakanlah menghabiskan 3 kwh per 100 km. Dalam kalkulator karbon alakadarnya ini, terlisat selisih 50%.

***

Itu baru sektor transportasi. Dewasa ini, kondisi empiris di lapangan, masyarakat sudah semakin industrial. Penganan misalnya. Jika dulu kita beli makanan berat ke penjualnya langsung dan membeli kudapan ke warung terdekat, bahkan kudapan seringkali dimasak sendiri oleh para nenek kita alih-alih beli, kini semua serba terindustri.

Kita memang memesan makanan melalui ojol dari konter terdekat dan membeli kudapan di minimarket sebelah. Namun perhatikanlah, terutama kudapan, biasanya mereka buatan pabrik besar nun di kejauhan sana.

Selain menimbulkan sampah kemasan usai kebahagiaan kita menyantap makanan, pengiriman dari jarak jauh juga menjejakkan emisi karbon yang mestinya lumayan banyaknya dibanding jika makanan-makanan tersebut dibuat dan dibeli secara lokal.

Saya tak hendak mencari data berapa gram per km karbon yang dihasilkan dalam pengiriman sekantung keripik singkong produksi pabrik dari lintas provinsi. Namun secara gamblang bisa kita bayangkan berapa bedanya jika dibandingkan dengan kita membeli keripik singkong yang digoreng langsung oleh pedagang lokal dengan singkong hasil panenan petani setempat.

Enggak perlu kalkulator karbon (carbon calculator) untuk memahami komparasi di atas. Yang kita perlukan adalah kesadaran dan keterbukaan pikiran. Mengingat bahwa beli kudapan ke minimarket sebelah itu sudah seperti kewajaran di era sekarang ini. Kewajaran yang menyimpan duka sebenarnya, yakni duka jejak karbon yang pastinya banyak sekali jika diakumulasikan. Duka yang kita tutupi atas nama kemajuan industri dan penyerapan tenaga kerja. 

Hei, berapa sih total tenaga kerja yang terlibat dalam produksi dan pengiriman keripik singkong skala pabrikan besar/nasional dibanding tenaga kerja yang bisa tumbuh merata jika keripik singkong itu diproduksi lokal di tiap-tiap daerah? Jika pun jumlahnya sama misalnya, setidaknya ada keuntungan yang diperoleh dengan produksi yang bersifat lokal: berkurangnya problem urbanisasi.

Well, perkara kudapan ini juga memberikan gambaran tambahan tentang (besarnya) jejak karbon jika kita membeli sesuatu dari kejauahn sementara seharusnya kita bisa membelinya secara lokal.

***

Apakah yang kita semua bisa lakukan untuk mengurangi jejak karbon ini?

SEBAGAI PEMBELI/KONSUMEN

Ya sedapatnya belilah produk apapun yang dihasilkan/diproduksi lokal. 

Sebenarnya sudah lama ada kampanye buy local, support local, lestarikan makanan tradisional, dlsb. Namun kampanye nirlaba tersebut tentunya kalah telak dengan iklan komersial yang secara psikologis termata begitu persuasif dan agitatif. Menghanyutkan beragam kesadaran yang seharusnya kita jaga: kesadaran lingkungan, kesadaran pemerataan ekonomi lokal, kesadaraan kesegaran makanan dan keutuhan gizi, dlsb. dan kalah oleh impulsi ekstasional dari promosi makanan atau segala produk pabrikan.

Kita sebagai konsumen, yuk jaga kesadaran dalam benak: selalu belilah produk lokal, baik pangan maupun yang lainnya. 

Selain menjaga kesadaran tersebut, tularkan juga sebisa mungkin kepada khalayak luas sebisa mungkin dan sekuat tenaga. Misalnya kampanyekan kesadaran ini melalui media sosial, syiarkan dan dakwahkan kesadaran lokal ini ke orang-orang terdekat dan sekitar Anda, dan seterusnya. Apapun langkah yang bisa kit alakukan, lakukanlah.

UNTUK PEMERINTAH

Pemerintahlah yang paling berperan besar untuk menggerus emisi jejak karbon ini. Berkurangnya emisi dan jejak karbon, selain artinya bersihnya lingkungan, itu jug aberarti lebih luas sekali: pemerataan ekonomi, pengurangan beragam problematikan sosial - misalnya karena urbanisasi akibat industrialisasi tadi, dan terciptanya sosial di masyarakat - bahwa di semua sudut Indonesia memiliki kesempatan dan perkembangan yang seimbang.

Wahai pemerintah, ingatlah! Jangan sampai keuntungan finansial yang kalian .dapatkan, demi dalih kemakmuran negara, itu sebenarnya diam-diam harus dibayar dengan kerugian sosial yang jauh lebh besar.

Era Covid19 kemarin menggambarkan, begitu meledaknya sampah karena meledaknya pola belanja daring. Ada sisi tumbuh-besarnya angka nominal perdagangan, namun sayangnya kita memperoleh angka tersebut dengan menumbalkan alam dan lingkungan yang semakin tercemar. Kegiatan seperti ini, tak ubahnya seperti babi ngepet: kita mendapatkan uang dengan menumbalkan sesuatu yang tak ternilai harganya.

Industrialisasi, pariwisata, dll. itu baik karena menumbuhkan dan memeratakan ekonomi. Namun ingat, jangan sampai kebaikan itu berbalik karena kita menumbalkan apa yang paling berharga dalam kehidupan ini, yakni alam dan lingkungan.

Wahai pemerintah, enggak apa-apa untuk menaikkan pajak industri sekaligus memberikan segala kemudahan untuk sektor ekonomi lokal. Satu-satunya yang membuat langkah ini terhambat rasanya hanya satu hal saja: yakni ketika pemerintah lebih memilih membela industri ketimbang sektor ekonomi lokal.

Tapi kami yakin pemerintah memberikan porsi keduanya (industri besar vs produksi lokal) secara adil dan proporsional. Jika kenyataannya belum adil dan belum proporsional, misalnya produksi lokal masih kalah nilainya dengan industrialisasi besar-besaran, maka harus segera dilakukan langkah dan upaya untuk menyeimbangkan secara proporsional.

Jejak karbon yang enggak terlihat hitungannya oleh masyarakat, tergambar dari kondisi keadilan sosial kita. Kondisi keadlilan sosial kita: kesenjangan sosial-ekonomi, kurang pemerataan ekonomi, dll. menggambarkan bagaimana efisien atau amburadulnya urusan pengelolaan jejak karbon.

Semua ini hanya opini kami semata. Mohon koreksi jika ada kelirunya. Yuk terus kita jaga kesadaran.

- Freema Bapakne Rahman,
petani, tinggal di Kediri, Jatim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun