Di mana, leluhur masyarakat NTT sangat terkenal dengan sistem gotong royong. Sama halnya dengan masyarakat Indonesia.
Hari ini, ketika kita berbicara mengenai eksistensi NTT di ruang publik, tentunya semua mata akan tertuju pada destinasi super prioritas Labuan Bajo, karena keberadaan Komodo dan juga eksotisme alam dan pantainya yang mempesona.
Begitu juga dengan Sumba, Kupang, Soe, Kefa hingga Atambua serta daerah lainnya di NTT. Akan tetapi, secara sadar ataupun tidak, warga NTT ke depannya juga membutuhkan sosok pemimpin yang peduli pada industri pertumbuhan konten kearifan lokal.
Karena di balik konten yang berbasisikan pada kearifan lokal budaya, ada semangat gotong royong, bela rasa, bela kampung, kemajuan hingga perkembangan desa-desa indah dan cantik yang ada di wilayah terselatan Indonesia tersebut.
Untuk mewujudkan mimpi tersebut, gotong royong merupakan jalan satu-satunya dalam mendukung pertumbuhan konten digital. Karena kemajuan budaya NTT tidak akan pernah terlepas dari kontribusi pegiat literasi digital hingga kreator konten serta masyarakat dalam membrandingnya di revolusi industri 4.0 maupun 'era society' atau revolusi industri 5.0.
Nilai Moral
Setiap konten yang berbasisikan pada kemasan kearifan lokal nusantara, khususnya kebudayaan NTT mengandung nilai moral.
Moral menyangkut baik dan buruknya tindakan seseorang dalam kehidupan bersama. Moral juga berisikan kewajiban, tanggung jawab dan hal-hal yang berkaitan dengan energi-energi positif dalam memajukan kearifan lokal budaya NTT.
Kendati demikian, moral generasi muda NTT terus dinodai oleh tindakan anarkis dan tak bertanggung jawab dari segelintir orang yang merasa hebat dalam kehidupan bersama kebudayaan lain.
Melihat majemuk dan kompleksnya persoalan moral yang menjerat generasi muda NTT, kita pun tidak memiliki kapasitas untuk mengatasinya.
Karena moral juga bisa bersifat pribadi dan subjektif. Penilaian baik dan buruknya tindakan seseorang, berdampak pada kearifan lokal di mana ia berasal.