Pancasila sebagai sistem etika karena berisikan panduan tentang bagaimana warga Indonesia bersikap dan bertingkah laku. Sikap dan tingkah laku yang baik akan mendatangkan kebahagiaan bagi setiap warga negara.
Karena di tengah persoalan bangsa dan negara yang makin rumit, mulai dari persoalan naik dan turunnya harga kebutuhan pokok, perang opini dan ideologi antar pemimpin bangsa, terlebih yang tersaji dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2024-2024, deretan konflik kepentingan yang terjadi di mancanegara, isu perubahan iklim, perubahan cara kerja, dan pelbagai persoalan bangsa juga ikut menciptakan rance atau jarak pemisah antara kelompok A, B dan C.
Akibatnya, tebar pesona yang dimainkan oleh elit politik di depan kaca layar televisi, secara tak sadar telah melemahkan Pancasila sebagai sistem etika.
Karena mereka (elit politik) yang merupakan kaum intelektualis sekaligus figur publik telah mereduksi atau mengasingkan animo/perhatian generasi muda dalam bersikap dan bertingkah laku.
Hasilnya, sikap dan tingkah laku generasi muda menjadi semakin absurd, liar dan mengikuti paradigma elit politik. Sebagaimana drama kehidupan palsu dari elit politik yang kita saksikan di berbagai konferensi pers dan berbagai event lainnya.
Ketika sikap dan tinkah laku generasi muda tidak seirama Pancasila. Maka, muncullah statement dari segelintir elit atau figur publik, bahwasannya generasi muda saat ini sudah salah jalur pembinaannya.
Dalam konteks  ini, kelompok yang bertanggung jawab adalah tenaga pendidik. Selain orang tua dari generasi muda tersebut.
Hancurnya sikap dan tingkah laku figur publik yang biasanya menjadi konsumi massa melalui berbagai saluran media konvensional hingga digital, ikut memperkuat tembok keangkuhan dan superioritas antar satu dan lainnya.
Sistematika permainan cacat sikap dan tingkah laku dari figur publik tersebut, sama sekali tidak mencerminkan Pancasila Sebagai Sistem Etika.
Bagaimana tidak, para founding fathers telah meletakkan Pancasila Sebagai sistem Etika dengan harapan generasi penerusnya dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan hariannya dengan tulus, tanpa adanya kecenderungan untuk mereduksi esensi dari nilai-nilai universal.
Memang bagaimana pun juga, perbedaan sikap dan tingkah laku dalam memaknai segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan manusia itu, wajar-wajar saja. Asalkan, kadarnya tidak berlebihan.
Pasalnya kelebihan kadar sikap dan tingkah laku sebagaimana yang terpotret dalam tebar pesona figur publik di depan layar kaca televisi, secara kontinyu melemahkan Pancasila Sebagai Sistem Etika.
Untuk itu, dalam konteks ini, penulis pun akan menerbangkan sekaligus mengelaborasikan Pancasila sebagai sistem etika dan etika nicomachea.
Apa itu Etika Nicomachea?
Sederhananya, Etika Nicomachea yang diajarkan oleh filsuf Aristoles adalah menyangkut kebajikan dan karakter moral.
Lebih jauhnya, etika nicomachea adalah sarana pencarian tertinggi dan terakhir dari perjalanan manusia, yakni: kebahagiaan.
Masih dalam pembahasan yang menyangkut tebar pesona dari figur publik/elit politik bangsa. Di mana, seluruh sikap dan tingkah laku mereka sejatinya bertujuan untuk keunggulan elektabitas dan pada akhirnya kemenangan partai politik, baik di tingkat daerah,kota hingga nasional.
Pertanyaannya; Setelah mereka mendapatkan keinginan dan harapan dari partai, apakah mereka tetap bahagia?
Aristoteles pertama-tama melihat kebahagiaan bukan berdasarkan keinginan dan harapan. Karena persoalan kebahagiaan, setiap orang ingin bahagia.
Banyak kandidat berlomba-lomba untuk masuk ke salah satu partai yang ada di Indonesia dengan keinginan dan harapan yang setinggi bintang garuda. Perihal keinginan dan harapan setiap figur publik, tentunya berbeda. Perbedaan tersebut akan melebur dalam visi dan misi partai, yakni: ungul dari partai politik yang lainnya. Selain mendapatkan berbagai hak istimewa, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Setelah keinginan dan harapan kandidat/figur publik dari partai terpenuhi, bukannya mereka hidup senyaman dan sebahagia, sebagaimana cita-cita keluarga kecilnya.
Justru mereka dihadapkan dengan pelbagai tuntutan partai. Selain, minimnya waktu yang berharga bersama keluarga, relasi dengan dirinya sendiri, lingkungan, alam hingga Sang Pengada (Tuhan yang diimani).
Akibatnya, figur publik dambaan atau primadona warga di wilayah tertentu, secara tak sadar, kehilangan hidup pernikahannya (perceraian), serta persoalan lainnya.
Tak menutup kemugkinan juga, potretan media digital kerap menghadirkan figur publik yang secara diam-diam menjual iman demi popularitas, menghalalkan segala cara untuk meraih kesuksesan, dll.
Akan tetapi, pada akhirnya mereka yang menjual iman demi popularitas, perlahan tapi pasti tergerus, terisolasi, dan terasing dari dirinya sendiri, keluarganya, alam ciptaan. Mengingat hukum karma selalu hadir tepat pada waktunya.
Beragam persoalan di atas, dalam kamus Aristoteles, terutama dalam Etika Nicomachea adalah kebahagiaan semu atau sementara.
Untuk itu, Aristoteles selalu menekankan bahwasannya kebahagiaan sejati itu pertama-tama datang dari dalam diri setiap orang.
Artinya, orang menjadi bahagia, bukan berarti ia harus masuk ke dalam lingkaran partai politik, menyelesaikan studi hingga meraih gelar S1,S2 dan S3.
Orang bahagia juga bukan harus menghalalkan segala cara. Bahagia juga tidak diukur dari seberap kaya harta bendanya. Sebaliknya orang bahagia bukan ia rajin pergi ke tempat ibadah untuk bersembah sujud setiap saat, tapi sikap dan tingkah lakunya, sama sekali tidak selaras dengan ajaran yang terkandung dalam nilai-nilai universal, yakni: cinta kasih, saling menghargai, mencintai, peduli, dsb.
Namun, kebahagiaan versi Etika Nicomachea adalah kenyamanan dan kecukupan tanpa dibuat-buat. Artinya; kebahagiaan itu datang secara alami, ketika setiap orang bersyukur, menerima dirinya sendiri, bersikap dan bertingkah laku, sebagaimana yang diajarkan dalam setiap iman kepercayaan.
Hubungan Pancasila Sebagai Sistem Etika dan Etika Nicomachea
Pancasila Seagai Sistem Etika berisikan panduan sikap hidup warga Indonesia. Sementara, Etika Nicomachea mengajarkan kebahagiaan sejati, pertama-tama bukan terletak pada keinginan dan harapan manusia. Kebahagiaan itu datang secara alami.
Elaborasi atau hubungan Pancasila Sebagai Sistem Etika dan Etika Nicomachea terletak pada sikap dan tingkah laku.
Di mana, setiap orang bertindak dan bersikap harus didasarkan pada nilai-nilai universal. Sebagai warga Indonesia, kita memiliki Pancasila yang mengatur seluruh jalannya kehidupan kita.
Karena Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam konteks ini, Pancasila sebagai sistem etika berusaha untuk membuka cakrawala kita, agar menjalani kehidupan degan penuh keyakinan, serta bersikap dan bertingkah laku, sebagaimana filosofi dari founding fathers atau pendiri bangsa, yakni: merangkul dan melihat sesama, layaknya melihat dan memperlakukan diri sendiri.
Sumber: Analisa penulis berdasarkan situasi dan dinamika kehidupan politik dan sosial yang terjadi di tanah air, dengan konsep pemikiran Etika Nicomachea Aristoteles
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H