Untuk itu, dalam konteks ini, penulis pun akan menerbangkan sekaligus mengelaborasikan Pancasila sebagai sistem etika dan etika nicomachea.
Apa itu Etika Nicomachea?
Sederhananya, Etika Nicomachea yang diajarkan oleh filsuf Aristoles adalah menyangkut kebajikan dan karakter moral.
Lebih jauhnya, etika nicomachea adalah sarana pencarian tertinggi dan terakhir dari perjalanan manusia, yakni: kebahagiaan.
Masih dalam pembahasan yang menyangkut tebar pesona dari figur publik/elit politik bangsa. Di mana, seluruh sikap dan tingkah laku mereka sejatinya bertujuan untuk keunggulan elektabitas dan pada akhirnya kemenangan partai politik, baik di tingkat daerah,kota hingga nasional.
Pertanyaannya; Setelah mereka mendapatkan keinginan dan harapan dari partai, apakah mereka tetap bahagia?
Aristoteles pertama-tama melihat kebahagiaan bukan berdasarkan keinginan dan harapan. Karena persoalan kebahagiaan, setiap orang ingin bahagia.
Banyak kandidat berlomba-lomba untuk masuk ke salah satu partai yang ada di Indonesia dengan keinginan dan harapan yang setinggi bintang garuda. Perihal keinginan dan harapan setiap figur publik, tentunya berbeda. Perbedaan tersebut akan melebur dalam visi dan misi partai, yakni: ungul dari partai politik yang lainnya. Selain mendapatkan berbagai hak istimewa, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Setelah keinginan dan harapan kandidat/figur publik dari partai terpenuhi, bukannya mereka hidup senyaman dan sebahagia, sebagaimana cita-cita keluarga kecilnya.
Justru mereka dihadapkan dengan pelbagai tuntutan partai. Selain, minimnya waktu yang berharga bersama keluarga, relasi dengan dirinya sendiri, lingkungan, alam hingga Sang Pengada (Tuhan yang diimani).
Akibatnya, figur publik dambaan atau primadona warga di wilayah tertentu, secara tak sadar, kehilangan hidup pernikahannya (perceraian), serta persoalan lainnya.
Tak menutup kemugkinan juga, potretan media digital kerap menghadirkan figur publik yang secara diam-diam menjual iman demi popularitas, menghalalkan segala cara untuk meraih kesuksesan, dll.
Akan tetapi, pada akhirnya mereka yang menjual iman demi popularitas, perlahan tapi pasti tergerus, terisolasi, dan terasing dari dirinya sendiri, keluarganya, alam ciptaan. Mengingat hukum karma selalu hadir tepat pada waktunya.
Beragam persoalan di atas, dalam kamus Aristoteles, terutama dalam Etika Nicomachea adalah kebahagiaan semu atau sementara.
Untuk itu, Aristoteles selalu menekankan bahwasannya kebahagiaan sejati itu pertama-tama datang dari dalam diri setiap orang.
Artinya, orang menjadi bahagia, bukan berarti ia harus masuk ke dalam lingkaran partai politik, menyelesaikan studi hingga meraih gelar S1,S2 dan S3.
Orang bahagia juga bukan harus menghalalkan segala cara. Bahagia juga tidak diukur dari seberap kaya harta bendanya. Sebaliknya orang bahagia bukan ia rajin pergi ke tempat ibadah untuk bersembah sujud setiap saat, tapi sikap dan tingkah lakunya, sama sekali tidak selaras dengan ajaran yang terkandung dalam nilai-nilai universal, yakni: cinta kasih, saling menghargai, mencintai, peduli, dsb.
Namun, kebahagiaan versi Etika Nicomachea adalah kenyamanan dan kecukupan tanpa dibuat-buat. Artinya; kebahagiaan itu datang secara alami, ketika setiap orang bersyukur, menerima dirinya sendiri, bersikap dan bertingkah laku, sebagaimana yang diajarkan dalam setiap iman kepercayaan.