Bahagia dan tidak, itu tergantung pada penghayatan dari setiap orang. Sebagian orang memaknai kebahagiaan dengan menjalani kehidupan, sebagaimana aturan hidup yang berlaku dalam keluarga, lingkungan, komunitas hingga bangsa dan negara.
Indonesia adalah Negara besar dengan segala kekayaan serta permasalahannya. Untuk menyatukan sekaligus menyelaraskan harmonisasi kehidupan bersama, para pendiri bangsa (Founding Father) telah menetapkan 'Pancasila Sebagai Sistem Etika.'
Maksud dari Pancasila sebagai sistem etika karena berisikan panduan atau ajaran-ajaran yang mengatur setiap warga Indonesia dalam bersikap dan bertingkah laku.Â
Misi dari pandangan hidup tersebut, adalah kebahagiaan untuk seluruh warga Indonesia.
Paradigma tersebut bertalian erat dengan ajaran dari salah satu filsuf besar dalam sejarah peradaban manusia, yakni Aristoteles. Konsep berpikir Aristoteles tentang kebahagiaan tercantum dalam ajaran 'Etika Nicomachea.'
Menyingkap makna Pancasila sebagai sistem etika dan Etika Nicomachea
Aristoteles sama sekali tidak meletakkan dasar kebahagiaan pada keinginan dan harapan manusia. Karena Aristoteles tahu, bahwasannya kebahagiaan adalah syarat mutlak yang didambakan oleh setiap orang.
Dalam Etika Nicomachea, Aristoteles mengajarkan kepada para pengikutnya untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Artinya, kebahagiaan itu sangat bernilai bagi dirinya sendiri dan bukan sesuatu yang berusaha untuk dicapainya, entah dalam bidang pendidikan, karir, bisnis, dan lainnya.
Sementara, Pancasila sebagai sistem etika juga berusaha untuk mendekatkan kita pada pendewasaan cara berpikir, dewasa dalam pergaulan, dewasa dalam berelasi, dewasa dalam bertindak serta dewasa dalam menjani kehidupan.
Studi Kasus dari Etika Nicomachea dan Pancasila Sebagai Sistem Etika
Willian dan Bagas berasal dari dua provinsi yang berbeda. Perbedaan keduanya bukan hanya terletak pada letak geografis saja. Melainkan, keduanya juga berbeda dalam cara berpikir, karakter, budaya, etnis hingga kepercayaan.
Willian menganut kepercayaan Katolik, sedangkan Bagas adalah seorang Muslim yang taat. Relasi persahabatan mereka, awalnya tidak ada persoalan apa pun.
Seiring dengan lamanya kisah persahabatan mereka, akhirnya mesin waktu pun menguji keduanya. Di mana, tepatnya perayaan Natal 2023, Bagas yang saat itu memilih untuk berlibur di kampung halamannya, tidak sempat untuk berpamitan sekaligus mengucapkan salam keagamaan kepada William yang tengah merayakan momen Natal dan Tahun Baru bersama keluarganya di kota metropolitan Jakarta.
Sikap William pun berubah, yang awalnya sangat respek dengan Bagas, kemudian berubah menjadi acuh tak acuh dengan kehadiran Bagas.
Bagas pun berusaha untuk mencerna, termasuk merenungkan sikapnya kepada William. Singkat cerita, keduanya pun memilih untuk saling menjaga jarak.
Setahun kemudian, William dan Bagas dipertemukan oleh mesin waktu, tepatnya dalam seminar Etika Nicomachea di Auditorium gedung Kampus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang.
Sengitnya perdebatan dari keduanya, memicu animo atau perhatian rekan-rekan mahasiswa lainnya. Karena William dan Bagas menggunakan 'Argumen Ad Hominem (metode diskusi ilmiah yang berusaha untuk menyerang pribadi lawan, di luar topik pembahasannya).
Dosen Filsafat Politik yang saat itu menyimak jalannya perdebatan William dan Bagas pun angkat bicara dan akhirnya menghentikan kesesatan berpikir (logical Fallacy) keduanya.
Meskipun di dalam hati, kedua mantan sahabat tersebut, sejatinya belum puas dengan tuding menuding dalam seminar.
Hingga pada fase tertentu, William dan Bagas memilih untuk berdamai. Karena bagaimana pun, keduanya adalah mahasiswa dari satu kampus, selain keduanya juga merupakan warga Indonesia yang menjunjung tinggi semangat Bhineka Tunggal Ika.
Kesalahpahaman yang sudah berlalu, mereka melihatnya sebagai bahan permenungan sekaligus sebagai pengalaman untuk menjalani kehidupan yang lebih dewasa.
Belajar dari kasus William dan Bagas, sebagai warga negara Indonesia, terlebih mahasiswa Universitas Siber Asia yang datang dari berbagai suku bangsa, termasuk kebudayaannya. Kita pun seharusnya melihat perbedaan itu sebagai peluang untuk melatih tingkat kepekaan, melatih sense of being/rasa keberadaan, sense of belonging/rasa memiliki, sense of culture/rasa kebudayaan, sense of religion/rasa penghargaan dalam setiap kepercayaan, dan berbagai hal yang bermuara pada harmonisasi kehidupan.
Discalimer: Artikel ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila di Universitas Siber Asia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H