Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group || Jika berkenan, mampirlah di blog saya Tafenpah.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pilpres 2024, Generasi Milenial Mendobrak Dominasi Kultus Politik

6 November 2023   04:23 Diperbarui: 6 November 2023   06:34 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Pilpres 2024, Generasi Milenial Mendobrak Dominasi Kultus Politik. Sumber gambar: Kompas.com

Pemilihan calon presiden dan wakil presiden 2024 merupakan bagian dari upaya pendobrakan generasi milenial terhadap dominasi kultus politik senioritas.

Tentu saja ini sangat sexy. Saking sexynya, urusan keluarga pun menjadi objektivitas pemberitaan media massa, termasuk soal makan dan bisa jadi nantinya dimakan di Istana Merdeka dalam beberapa bulan atau tahun mendatang, setelah pergantian presiden. Tetapi bukan itu persoalannya, ya.

Kira-kira apa saja yang menyebabkan problematika di atas?

Pertama: sejak era orde lama hingga zaman reformasi bahkan saat ini, demokrasi dipandang sebagai sesuatu yang agung, dalam hal ini pendewaan sosok tertentu dalam partai politik.

Misalnya: anggota partai mendewakan ketua umumnya. Bisa juga kader tertentu mendewakan dirinya sendiri dan pemikirannya lah yang paling benar dan orang lain (kultus pribadi).

Masih pada poin pertama, terutama keagungan sosok tertentu di dalam partai politik.

Padahal, yang kita ketahui bersama, di dunia ini yang namanya 'AGUNG' hanya satu, yakni: Tuhan yang kita imani. 

Lebih jauhnya, kultus pribadi, biasanya berlaku di negara monarki, teokrasi, dan negara yang menganut sistem demokrasi, tapi gatot, alias gagal total.

Lantas, apakah sistem demokrasi di negara kita gagal?

Jawabannya, tidak! Justru negara penganut demokrasi lain mengajungi jempol dengan setiap penyelenggaran pesta demokrasi serentak, karena kita melaksanakannya dengan adil, jujur, dan tertib.

Apresiasi ini seharusnya membuat kita bangga, dong. Bukan sebaliknya, memanfaatkannya untuk mengkultuskan pribadi tertentu, yang notabene adalah manusia biasa seperti diri kita sendiri.

Siapa saja sosok yang selama ini tampil sebagai tokoh protagonis dalam dunia perpolitikan tanah air?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya kembalikan pada hasil pengamatan pembaca. Karena pembaca lebih memahami peta perjalanan politik demokrasi tanah air hingga detik ini.

Kedua: Politikus senior tidak memberikan ruang pada generasi milenial.

Sadar ataupun tidak, alam bawah sadar kita sudah terpengaruh dengan sistem pemerintahan pra sejarah, dan puncaknya pada pendudukan koloni.

Di mana, pemimpin itu harus berusia, katakan 40 tahun ke atas. Ketimbangan yang berkepala 3 ke bawah.

Bukannya kita tidak menghargai sejarah. Tapi, kita juga harus mengupgrade diri sesuai dengan perkembangan zaman.

Ketiga: Politikus senior dianggap tahu segalanya, karena pengalaman, ketimbangan generasi muda

Memang secara matematis, perkara pengalaman politikus senior tidak bisa dibantah lagi oleh siapa pun.

Namun, terkadang ada politikus tertentu yang jumawa dengan segala kenyamanan dan kepopulerannya.

Makanya, ketika ada tawaran sosok pemimpin muda, itu pun dilihat sebagai ancaman oleh politikus senjor.

Jadi, jalan satu-satunya adalah menggunakan politik DEMAGOG. Di mana, mereka (politikus senior) menggunakan suara rakyat kecil untuk melakukan demostrasi besar-besaran, guna menggagalkan calon pemimpin muda.

Contohnya: sejak MK memutuskan Gibran Rakabuming Raka untuk ikut dalam cawapres 2024, ruang publik pun heboh. 

Demonstrasi besar-besaran setiap pekan hampir ada di jalanan Istana Merdeka dan sekitarnya.

Akibatnya, di sana sini terjadi kemacetan. Lalu, muncullah kaum sofis (Istilah dalam Filsafat Yunani Kuno) yang merujuk pada ahli atau pakar menjual ilmu pengetahuan demi keuntungan kantong pribadi beserta koloninya.

Lebih sadisnya, menyerang pemerintah melalui ragam gimik untuk mencari ketenaran sendiri sebagai pahlawan.

Bagaimana situasi ruang publik dengan kerincuhan saat jelang pilpres 2024?

Kacau! Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan psikologis, sosial, budaya, ekonomi, dan bidang kehidupan lainnya.

Bagimana tidak, pasca terjadinya demostrasi besar-besar soal keputusan MK terkait persyaratan capres dan cawapres 2024, keadaan ekonomi negara di permukaan terasa baik-baik saja. Itu pun berlaku bagi kelas menengah ke atas.

Tapi, bagi rakyat kecil, susahnya bukan main, loh! Membaca sudut pandang dari kaca mata rakyat marjinal, tentunya kita akan tahu dampak dari kultus politik bangsa Indonesia saat ini.

Rasa-rasanya perekonomian rakyat kecil makin hari makin memprihatinkan. Di mana, segala barang kebutuhan pokok naik, dsb.

Lalu, solusi yang seperti apakah ditawarkan penulis untuk meminimalisir kegaduahan ruang publik jelang pilpres 2024?

Pertama: Apa sih salahnya politikus senior memberikan panggung kepada kader mudanya untuk berunjuk gigi di pesta demokrasi serentak 2024.

Karena regenerasi itu perlu demi mempertahankan semangat dari parpol tertentu.

Kedua: Egosentris tidak membuat harga diri seseorang hilang. 

Ketiga: Jika memilih jalan petarung, jalani dengan jujur dan berani, tanpa gimik apalagi menghalalkan isu apapun guna mencapai tujuan bersama dari kelompok tertentu.

Keempat: Indonesia akan memasuki bonus demografi 2030, untuk itu harus ada sosok pemimpin mudanya.

Kelima: Indonesia bukan negara monarki yang dikuasai oleh segelintir elit tertentu, melainkan Indonesia adalah negara demokrasi yang setiap warganya mendapatkan kesempatan dalam hal apapun, termasuk generasi muda dalam berbagai kursi parlemen atau pemerintahan tertentu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun