Jutaan konten lokal di berbagai platform media digital belum sepenuhnya diberdayakan pihak yang berwenang, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Teknologi dan Riset. Karena persoalnya sangat kompleks.
Untuk itu, informasi mengenai berdirinya Kementerian Kebudayaan mendapat angin segar di kalangan pegiat konten lokal.
Karena persoalan terbesar selama ini adalah kurangnya dukungan Kementerian Pendidikan kepada konten lokal.
Bukan berarti, Kementerian Pendidikan tidak mencurahkan perhatiannya kepada konten lokal. Tapi, karena letak geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan gugusan pulau dan segala problematikanya, membuat Kemendikbud-Ristek tidak maksimal.
Ragam kegiatan atau event kebudayaan juga kebanyakan condong pada kearifan lokal budaya yang sudah mendapatkan personal branding terbaik di google.
Jadi, wacana pemisahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menjadi pilihan yang tepat, guna memberdayakan konten-konten lokal, terutama yang berada di pelosok nusantara.
Sedangkan, Kementerian Pendidikan terus meningkatkan program-program literasinya yang selama ini sudah menyasar pelosok nusantara.
Perihal sosok atau tokoh yang tepat untuk menakhodai Kementerian Kebudayaan, sejauhnya memang belum terlihat oleh masyarakat.
Lantaran, berbicara mengenai sosok, sejatinya Indonesia tidak pernah kekurangan orang cerdas.
Masalahnya adalah praktisi-praktisi kebudayaan lebih condong mempopulerkan kebudayaan dari mana ia berasal.
Namun, jika dihadapkan pada pilihan mengenai sosok yang tepat untuk memimpin Kementerian Kebudayaan, penulis memilih Franz Magnis Suseno.
Ahli filsafat dan kebudayaan sekaligus Imam Katolik ini adalah sosok yang tepat.
Karena meskipun beliau lahir di Jerman, tapi 'sense of culture' nya sangat tinggi, terutama kearifan lokal budaya nusantara.
Rasa memiliki/ sense of belonging terhadap kebudayaan nusantara, tak perlu diragukan lagi oleh masyarakat Indonesia.
Persoalannya, dari segi usia, Franz Magnis Suseno sudah berumur 86 tahun.
Keterbatasannya untuk menjelajahi nusantara, tidak segesit zaman beliau masih berusia 50-60an.
Selain itu, hirarki Gereja Katolik juga tidak memperbolehkan para Imam untuk terjun ke dalam berbagai urusan publik.
Jadi, pemilihan sosok untuk menakhodai Kementerian Kebudayaan juga harus benar-benar mempertimbangkan segala aspek.
Barangkali solusi yang tepat adalah memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk menjadi leadership di Kementerian Kebudayaan.
Perkara, pengalaman itu pun akan berjalan, seiring dengan jam terbang di lapangan.
Selain itu juga, sinergitas dari senior yang ahli di bidang kebudayaan juga akan bahu-membahu membantu para pemimpi muda.
Pertanyaannya, apakah generasi old merelakan kepemimpinan tersebut kepada generasi muda, atau justru sebaliknya menjadi persoalan yang makin besar, di tengah minimnya filterisasi kebudayaan asing di era revolusi industri 4.0 dan jelang revolusi industri 5.0?
Karena ini menyangkut dengan ego kepemimpinan generasi old.
Akhirnya, entah siapa yang akan memimpin Kementerian Kebudayaan jika sudah sah berdiri sendiri, permasalahan filterisasi kebudayaan luar perlu ditingkatkan.
Selain itu juga, akan jauh lebih baiknya, klaim atas hak intelektual dan kebudayaan perlu dibanyak-banyakin.
Tujuannya untuk kemajuan kearifan lokal budaya nusantara, demi generasi penerus bangsa.
Disclaimer: Tulisan ini tidak bermaksud untuk menggurui pembaca, tapi ini sebagai permenungan penulis seputar problematika yang terjadi dalam kehidupan sosio-budaya nusantara.
Instagram penulis @suni_fredy
Youtube: Tafenpah Group
Portal pribadi:
www.tafenpah.com
www.pahtimor.com
www.hitztafenpah.com
www.sporttafenpah.com
Salam kebudayaan.