Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Content Creator Tafenpah

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Jakarta Tetap Menarik bagi Perantau

24 Juni 2022   09:15 Diperbarui: 24 Juni 2022   09:36 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Catatan Diaspora di Jantung Ibukota RI. Dokpri

Jakarta akan tetap menarik bagi perantau, karena di kota inilah setiap orang berproses, dari hal kecil menuju sesuatu yang lebih besar. Meskipun, setiap orang tidak tahu, kapan dan di mana ia bertumbuh dan berkembang.

Lantaran, kelahiran, kematian, jodoh, dan karir setiap orang itu unik. Keunikan itu tidak terlepas dari peran perjalanan itu sendiri.

Ya, hidup adalah perjalanan dialektika. Dialektika atau komunikasi dua arah antara diriku dan yang lain. Karena pada dasarnya, kita adalah makhluk sosial.

Sebagai makhluk sosial, tentunya kita saling berbagi apa pun, sejauh kapasitas kita dalam memberi. Ada yang berbagi pengalaman seputar patah hati, ketidakadilan sosial, pasang surut dalam membangun bisnis, karir, dan lain sebagainya.

Begitu pun dengan kehidupan seorang perantau atau diaspora selama mencari suaka/oase/kehidupan di negeri asing. Maka, izinkan saya untuk mengisahkan perjalananku selama mencari kehidupan di jantung Ibukota RI.

Muda Berkelana Tua Bercerita

Puncak Gunung Kawah Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur. Dokpri
Puncak Gunung Kawah Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur. Dokpri

Sub judul di atas sebenarnya merupakan judul buku terbaru saya. Saya sengaja mengangkatnya, karena ada peristiwa suka dan duka saya seputar pencarian jati diri selama di pulau Jawa.

Perjalananku dimulai dari kota Apel Malang, Jawa Timur. Setelah 6 tahun, saya memutuskan untuk meninggalkan kota pendidikan tersebut.

Penyebabnya ada rasa gelisah akan masa depan saya. Saya pun masih mencari jati diri di sekitar Jawa Timur, tepatnya di kota Tulungagung.

Selama di sana, saya pun sedikit demi sedikit mengetahi gejolak percintaan, ketidakcocokan antara pemilik perusahaan dengan karyawannya, maupun persaingan antar karyawan dalam mendapatkan simpatisan dari atasan.

Lagi, dan lagi saya memilih untuk terus bergerak, mengikuti suara hati. Karena ke mana pun langkah kaki seorang perantau, ia pun tidak tahu, jika di tempat tujuannya tidak ada sumber air untuk di minum.

Baca Juga: Sabreena Dressler Kembali Mencuri Perhatian Publik di Klub Barunya


Kalimat di atas masih memiliki korelasi atau hubungan mesra dengan filosofi klasik Jawa, yakni 'Urip iku Mung Mampir Ngombe' sepadan atau semakna dengan filosofi klasik Atoin Meto (Etnis Dawan) di Provinsi NTT, yakni 'Mo'net on Le Tes Ti'un O'el yang berarti 'HIDUP ITU HANYA MAMPIR MINUM.'

Karena segala sesuatu itu hanya bersifat sementara. Dalam kesementaraan itu, ada pergulatan batin dalam diriku. Salah satu kegelisahan terbesar saya kala itu adalah masa depan.

Abraham Lincoln pernah mengatakan cara terbaik untuk memprediksikan masa depan adalah menciptakannya. Namun, saya pun merasa bingung, dengan cara serta pribadi dan lingkungan yang seperti apa, saya akan bertumbuh.

Segalanya absurd (tidak jelas). Maka, saya pun masuk dalam bunuh diri filosofikal, sebagaimana yang diajarkan oleh filsuf Albert Camus.

Namun, di balik diskursus atau kosep berpikir Filsuf dan Jurnalis kebangaan negeri romantis Prancis ini, ada inspirasi bagiku untuk kembali mempertanyakan masa depanku.

Masa Depan dan Pemberontakan Diaspora di Ibukota RI

Lanskap Jakarta. Sumber foto: Kompasianer Tonny Syiariel
Lanskap Jakarta. Sumber foto: Kompasianer Tonny Syiariel

Kegaduhan terbesar yang pertama saya rasakan ketika menginjakkan kaki di kota metropolitan Jakarta adalah kekaburan akan tujuan hidup.

Karena Jakarta  telah menawarkan ribuan kenikmatin. Jika saya dan kamu tidak memiliki filter atau penyaringan diri, kita pun akan kehilangan  jati diri.

Budaya hedonisme, kapitalisme, dan berbagai aspek pendukungnya, benar-benar memiliki pengaruh yang sangat besar bagi saya dan kamu.

Selain itu, saya pun jujur mengatakan bahwasannya tidaklah mudah untuk ditaklukannya. Karena selama saya bekerja di sana, ada stigmatisasi, manipulasi, persaingan yang tidak sehat. Belum lagi ledakan atau kepadatan penduduk dan permasalahan polusi udara, makin memperkeruh situasi batin (mood) tidak menentu.

Akibatnya, saya pun kerap kali masuk dalam perangkat kekaburan etika dan moral. Namun, lupakan itu semua! Karena bagaimana pun juga, sistem tatanan kota yang sehebat dan didukung oleh pemimpin-pemimpin profesional, tentu ada kelemahannya. Begitu pun di kota-kota lain.

Inilah siklus kehidupan yang biasanya kita berusaha untuk menghindarinya.

Namun, di balik gemerlapnya Jakarta, saya pun bersyukur. Karena selama mencari sesuap nasi dengan tetesan keringat dan tangisan, ada harapan untuk memiliki masa depan yang lebih baik.

Karena perlahan-lahan saya keluar dari diri saya untuk mengenal budaya lain. Komunikasi lintas budaya pun tercipta. Saya pun mengenal banyak orang yang berbeda latar belakang profesi.

Proses pengenalan itu, saya bukan mendapatkannya dalam waktu yang singkat. Namun, bertahun-tahun. Setelah memiliki jaringan, saya terus bertumbuh dan pada akhirnya menjadi pribadi yang seperti sekarang.

Jakarta Tetap Menarik bagi Perantau

Saat ini banyak orang gelisah, karena masa depan Ibukota akan dipindahkan ke Kalimantan Timur. Walaupun  Jakarta tidak berstatus sebagai Ibukota RI, namun daya pikatnya justru semakin menarik di mata perantau.

Industri hiburan, pariwisata, dan aspek lainnya semakin bertumbuh. Karena Jakarta bagaimana pun juga merupakan situs sejarah perjalanan RI, mulai dari zaman penjajahan hingga berkembang pesat menjadi tempat pencarian utama ekonomi perantau di seluruh Indonesia.

Sebagai warga DKI Jakarta, saya pun tetap optimis, Jakarta akan semakin baik, jika ranah politik di pindahkan ke Ibukota baru. Akhirnya, Selamat Ulang Tahun Jakarta ke-495. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun