Jutaan pekerja advertising menyambut euforia negeri baliho. Sebaliknya, jutaan pembenci seketika berspekulasi dari sisi mana pun demi menyalahkan politisi. Inilah uniknya kebergaman paradigma masyarakat.
Berpikir dalam keadaan serba sulit adalah impian setiap orang. Determinasi pikiran mengarah pada pro dan kontra.
Kelompok pro berarti pendukung politisi untuk memasang baliho. Sementara, kelompok kontra menolak pemasangan baliho.
Sebagai rakyat biasa, saya mengambil jalan Non-Blok sesuai dengan semangat Bung Karno dalam mengkampanyekan politik luar negeri yang bebas dan aktif.
Dalam konteks Baliho, saya melihat dan merasakan itu tidak ada kesalahan. Penilain ini secara subjektif. Entah, tanggapan pembaca dan rekan  berbeda, itu pun tidak masalah. Karena fungsi ruang publik adalah bertujuan untuk kepentingan setiap orang.
Baliho Sebagai Medium Eksistensi
Jati diri pemasangan baliho tidak lain adalah untuk memberitakan kepada khalayak bahwasannya pesta demokrasi tahun 2024 sudah semakin mendekat.
Untuk itu, wajah-wajah politisi mulai menghiasi ruang publik bersama. Â Tak lupa juga, budaya sikut-menyikut pun mulai tumbuh bak jamur di musim hujan.
Realitas ini mengacu pada seni berpolitik yakni; tidak memberitahukan kebenaran kepada publik.
Sejarah penipuan ini sudah ada sejak kelompok Sofis Yunani Kuno saat berhadapan dengan Sokrates.