Ketika kita berada di fase ini, rasanya kita sedang berjuang di tengah padang gurun yang tak ada sumber mata air.
Sahabat yang selalu menemani di kala kita menjalani masa isolasi mandiri hanyalah untaian doa dan kalimat sugesti yang selalu berkejaran dalam tidur kita.
Perjuangan
Sebagai penderita Covid, kita sudah berjuang hingga segalanya kita korbankan demi kesembuhan kita. Karena kesembuhan kita adalah kebahagiaan orang-orang tercinta kita.
Setiap penderita Covid punya cara untuk berjuang dalam kehidupan setiap hari. Hingga titik darah penghabisan pun, kita sudah mempertaruhkan segalanya. Akan tetapi, kesembuhan hakiki adalah ketenangan batin dan psikologi.
Tidak ada obat lain yang bisa mengatasi kecemasan kita, selain kita sendiri.
Apakah kita perlu mengkomunikasikan penyakit  kepada keluarga?
Rasanya sulit! Karena kondisi psikologis setiap orang saat ini hidup dalam kecemasan. Ada yang memilih untuk tidak memberitahukan penyakitnya kepada keluarga. Dan ia pun tahu konsekuensinya dan ada alasan yang jauh lebih penting.
Kelemahannya, kita bisa saja merenggut orang-orang tercinta yang tidak pernah berdosa. Ketika kita berada pada kondisi ini, berbagai teori komunikasi tidak akan mempan dalam kehidupan kita.
Karena yang kita butuhkan hanyalah keheningan. Hening berarti kita selalu berusaha untuk merekonstruksi tubuh kita.
Tubuh kita juga perlu di cas seperti baterai hp yang sudah kosong dayanya. Baterai hp yang sudah memasuki 0%, tentunya ada pengingat dari mesin android. Begitu pun dengan kondisi tubuh kita, ketika kita jatuh sakit atau pun terpapar virus Covid gelombang kedua ini.
Tiada komunikasi yang efektif dan tepat di kala kita menderita Covid. Yang kita butuhkan adalah orang lain ingin mengerti keadaan kita. Begitu pun kita harus mengerti keselamatan orang lain.