Kita tak pernah puas dengan apa yang kita miliki. Ketika kita menguasai satu bidang, pingin nambah dan terus nambah. Akhirnya, kita keteledoran dengan hasrat kita sendiri.
Saya dan kamu pasti memiliki segudang impian yang belum digapai. Berbagai ilmu telah kita pelajari. Beragam argumentasi pun kita sampaikan kepada rekan, klien, orangtua, pacar bisa diterima dengan akal sehat.
Namun, ada kalanya, kita memasuki fase "dilema hasrat turisme."
Apa itu hasrat turisme?
Salah satu penulis TOP religi yang berasal dari daerah saya, Kefamenanu, Timor, NTT yakni; Pater Fritz Meko, SVD melihat pengembaraan hasrat ini dari sudut ilmu NOMADOLOGI.
Nomadologi adalah ilmu yang berkaitan dengan kecenderungan manusia untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Di sini, Pater Fritz Meko, SVD melihatnya sebagai kehampaan ruang prioritas bagi kita.
Muncul lagi pertanyaan bagi saya dan kamu, apa tujuan hidup kita?
 Sekadar saya membawa kita pada permenungan tentang tujuan hidup. Tentu kita semua punya tujuan dalam hidup ini. Karena hidup tanpa tujuan, bagaikan seseorang yang berjalan tanpa roh (jiwa).
Seorang petani punya tujuan yakni hasil panen yang melimpah. Penulis punya tujuan berupa royalti buku. Mahasiswa punya tujuan lulus tepat pada waktunya. Meskipun, setelah kuliah banyak yang bingung mau ngapain!
Dan masih banyak lagi tujuan hidup yang saya tidak bisa menyebutkannya satu per satu.
Who am I?
Siapakah aku ini? Jika seseorang mengubah pertanyaan menjadi" Siapakah kamu? Lalu, menyodorkan pertanyaan ini di tengah terik matahari, saya pasti menjawabnya: bang tolong singkirkan pertanyaanmu, sebelum mulutmu disesaki oleh nasi putih ini!"
Larilah ia terberit-birit, gegara amarahku membuncah di siang bolong.
Baiklah sobatku! Pertanyaan ini sebenarnya membawa kita pada "sense of being (rasa keberadaaan). Keberadaan seputar prioritas dari tujuan hidup kita.
Menghargai proses
Kecenderungan kita adalah melihat hasil daripada proses. Banyak orang hebat dalam merancang rencana. Namun, tanpa aksi nyata, mustahil skema yang sudah dirancang sedemikian menarik dan apik tidak tereksekusi denga baik.
Lalu, muncullah asumsi pembelaaan diri kepada atasan, rekan, sahabat, dan pacar bahwasannya semua butuh proses.
Proses terus nak! Itulah kalimat yang biasanya saya dengar dari bapakku.
Proses di sini adalah totalitas untuk melaksanakan rencana kita. Boleh berangan setinggi angkasa. Namun, harus tetap membumi. Karena ketika angannya tak tergapai, rasanya sakit di dada.
Sobatku, saya akhiri coretan ini ya. Jika artikel ini terkesan menggurui, saya mohon maaf.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI