Leluhur kita akan tersenyum bahagia di alam baka, jika kita tetap melestarikan bahasa daerah kita. Ribuan bahasa daerah di bumi nusantara setiap beberapa tahun hilang dari hadapan kita.
Kehilangan adalah salah satu penyesalan terberat bagi setiap orang. Kita selalu berambisi untuk menguasai dunia dengan segala ketidakmungkinan yang terjadi. Namun, kita sadar juga bahwasan apa yang kita ciptakan juga ikut mengikis mutiara-mutiara tersembunyi dalam keseharian.
Salah satu mutiara berharga adalah bahasa daerah. Nusa Tenggara Timur adalah destinasi internasional. Perpaduan panorama alam, dialek (bahasa daerah), karakter menjadi satu entitas elaborasi rasa dan pikiran visioner ke depan di bumi NTT.
Setiap hari kita selalu melihat ratusan bahkan ribuan orang yang berlomba-lomba untuk mengunjungi Nusa Tenggara Timur. Tujuan kedatangan mereka tak lain adalah melepaskan rasa penat dengan menikmati panorama alam yang sangat menakjubkan.Lebih jauh, pengunjung juga bersentuhan dengan kebudayaan setempat kita. Nah, sebelum mereka mengenal budaya kita, sarana yang tepat bagi mereka adalah belajar bahasa daerah.
Sebagai orang NTT, tentu kita bangga ada orang asing yang mau mempelajari bahasa daerah kita. Pertanyaan sekarang bagi kita rakyat NTT, apakah kita sudah bangga dengan bahasa daerah kita?
Pertanyaan receh tapi sulit untuk dijawab dengan jujur. Sebagai orang NTT kita harus bangga dong. Meskipun kita selalu distigmatisasi dengan generasi stunting (kekurangan gizi), yang terpenting kita jangan stunting logika untuk terus merawat mutiara berharga kita.
Studi Kasus
Merawat bahasa daerah, merawat pariwisata Nusa Tenggara Timur. Sebagai pendekatan kontekstual, Pulau Dewata Bali mengelaborasikan panorama alam dengan kebudayaan setempat sebagai kekuatan untuk terus menggaet pariwisata
Buktinya, dari dulu hingga sekarang, Bali masih menjadi destinasi terfavorit internasional. Sebagai sesama yang pernah memadu ikatan emosional dan geografis dari sudut administrasi "Kepulauan Sunda Kecil," tentu kita harus mengadopsi sistem pengelolaan pariwisata dari mereka.
Kemajuan pariwisata daerah tertentu, tidak pernah lepas dari kebudayaannya sendiri. Terutama bahasa daerahnya.
Melalui penguasaan bahasa daerah, minimal dengan sapaan keseharian yang diberikan oleh orang asing, ikut memberikan senyuman bahagia bagi kita dan nenek moyang kita di alam baka.
Jangan lupa pulang
Ungkapan ini sudah tidak asing lagi dalam keseharian kita. Â Jangan lupa pulang artinya setinggi apa pun gelar dan status sosial kita, semua itu berawal dari kesederhanaan. Kita bisa saja pandai dalam berbahasa asing. Namun, kita merasa sulit untuk berbicara bahasa daerah kita sendiri di era digital.
 Apalagi perkembangan teknologi dewasa ini, seolah---olah memaksa kita untuk mengikuti dunia persuasif iklan. Asumsi bahasa persuasif iklan, perlaha-lahan mengasingkan diri kita dengan bahasa daerah kita.
Kampanye
Sadar cuy!Sebagai kampanye bahasa daerah, hal pertama yang saya lakukan adalah menulis artikel berbau bahasa daerah di blog saya tafenpah.com.
Cara saya mengemas artikel berbahasa daerah adalah ikut merawat amanah dan pesan moral nenek moyang Nusa Tenggara Timur.
Di sini saya bukan anti bahasa asing. Melainkan antara bahasa asing dan daerah harus seimbang. Karena kita hidup selalu berdampingan dengan kebudayaan orang lain. Identitas diri kita kuat, relasi dengan budaya lain pun semakin berakar kuat dalam terang humanisme.
Kita sudah menangis karena kehilangan nenek moyang kita. Jangan sampai kita pun akan kehilangan bahasa daerah kita. Cukup tangisan duka saat kepergian mereka kala itu. Kini dan nanti kita harus membuat mereka tersenyum di alam baka dengan menguatkan bahasa daerah. Merawat bahasa daerah, merawat pariwisata NTT.
Timor, 3/6/2021
Generasi perbatasan RI-Timor leste
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H