Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group || Jika berkenan, mampirlah di blog saya Tafenpah.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bertarung di Tengah Hutan Demi Menghangatkan Badan

23 Mei 2021   18:37 Diperbarui: 24 Mei 2021   00:12 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
anak-anak negeri Timor bertarung di hutan untuk mencari kayu api. Ilustrasi foto oleh Agustardhy

Generasi 90-an ke bawah pasti bersentuhan dengan alam pegunungan, keluar hutan masuk hutan untuk mencari kayu bakar, demi memancarkan api unggun di setiap tungku perumahan masyarakat kampung pedalaman.

Hidup di kampung yang belum punya listrik, kayu bakar adalah salah satu penerangan dan penghangat badan di saat hujan, malam hari dan kegiatan masak memasak.

Sebagai orang kampung yang pernah mengalami hal demikian, tentu ada kisah yang selalu terukir indah dalam setiap kalbu kita. Rasanya ingin mengulangi lagi kenangan terindah itu di kampung halaman tercinta.

Selama edisi 90-an, kami anak-anak dari negeri Timor biasanya menghabiskan hari-hari sepulang dari sekolah di hutan. Tujuan kami berkelana di tengah hutan adalah mencari kayu kering yang biasanya dipakai untuk keperluan masak-memasak.

Lebih lanjut saya menyebut kayu api. Kedengarannya kurang etis dan membingungkan bagi orang-orang kota. Karena secara logika, kayu kok ada apinya? Ya, itulah keunikan kami dari generasi 90-an negeri Timor.

Negeri Timor dikenal sebagai tanah yang kering, tandus dan hamparan batu karang yang selalu tajam dan meruncing membelah samudera lautan. Akan tetapi, kami bebas berkelana, dari satu pegunungan menuju pegunungan yang lain, dari satu pantai, berpindah ke pantai selanjutnya, dari padang sabana yang satu, menuju sabana yang lebih luas, sejauh mata memandang.

Terkadang ada anekdot atau kisah humoris dari kami anak-anak negeri Timor di tengah hutan belantara. Anekdota yang tak dilupakan adalah memanjat pohon demi mencari ranting yang kering.

Meskipun terkadang, sadar atau tidak sadar, kepeleset lalu jatuh dari pohon yang menjulang tinggi. Sebagian mengalami patah tulang, meninggal dan cidera yang memaksa isi dompet keluarga untuk berobat.

Sebelum pergi ke rumah sakit, masih ada sumpah serapah yang keluar dari mulut seorang ayah. Tega ya, berani-beraninya seorang anak yang dalam keadaan terluka parah, masih ada celoteh dari seorang ayah. Ya, tapi itulah ciri khas yang kami alami di negeri Timor.

Setelah keluar dari rumah sakit, bukannya kami berhenti dan menikmati istirahat yang panjang. Melainkan kami pun kembali berjibaku di tengah hutan untuk mencari kayu api.

Jatuh dari pohon, terluka karena kena timbunan kayu, dan cidera lainnya sudah menjadi hal biasa dari bagian hidup kami. Yang terpenting kami tidak ingin disakiti oleh siapapun. Karena hati dipakai untuk menajamkan spirit kemanusiaan. Bukan sebaliknya menjadikan hati sebagai pelampiasan psikologis bagi mereka yang terpinggirkan.

Kami tahu bahwasanya kami adalah masayarakat marginal yang jauh dari kehidupan kota yang penuh dengan kelap-kelip dan budaya hedonismenya. Namun, hati kami akan selalu bertautan erat dengan panaroma hutan, batu karang, pegunungan, padang sabana demi menikmati udara segar, meluapkan rasa kekesalan di rumah serta menjadikan alam sebagai sahabat kami.

Generasi Milenial

Mirisnya, generasi sekarang, meskipun hidup di perkampungan, cara hidupnya sudah dipolarisasi untuk mengikuti alur atau koridor kehidupan kota. Kita tidak bisa mengelak lagi akan perkembangan dunia yang semakin maju ini.

Bahkan hari ini, ketika kita mengunjungi perkampungan, kita tak perlu capai-capai untuk pergi ke hutan untuk mencari kayu api. Mau masak tinggal colok rice cooker, nyalakan kompor, sembari menonton acara Televisi untuk memuaskan naluri kebutuhan sekunder kita.

Anak-anak kampung sekarang sudah dimanjakan untuk mengikuti gaya hidup kota. Di sisi lain, kami sebagai generasi 90-an ikut bangga akan perkembangan kampung halaman. Sementara di sisi lain, rasanya pingin kembali mengulangi konvoi di tengah hutan untuk mencari kayu api.

Satu per satu generasi 90-an pergi meninggalkan kampung halamannya. Migrasi besar-besaran dari desa ke kota. Akibatnya, terjadilan ledakan penduduk di perkotaan.

Jika sudah seperti itu, kita cenderung untuk menyalahkan pemerintah setempat. Gegara tidak memberikan fasilitas perumahan yang tertata rapi, indah dan asri, bila dipandang oleh mata.

Sobatku, wahai generasi 90-an yang berasal dari kampung, apakah kalian rindu untuk mengulangi kisah petualangan di hutan belantara? Jika ya, saya pun merasakan hal demikian.

Untuk itu, apa pun kehidupan yang kita nikmatin dan jalani saat ini, jangan sekali-kali melupakan sejarah hidup kita. Ir. Soekarno: Jas Merah; jangan sekali-kali melupakan sejarah."

Terimakah kasih untukmu sobat yang masih bertahan untuk membaca kisah sederhana dari generasi 90-an dalam mencari kayu api di hutan. Sebagai epilog, saya ingin mengatakan satu hal yakni berlarilah sekencang kuda liar dan raihkan masa depanmu bersama balutan sejarah hidupmu.

Salam dari generasi perbatasan RI-Timor Leste
Minggu, 23/5/2021
Frederikus Suni

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun