Apakah Yesus memberi kebahagiaan bagi pengikut-Nya? Pertanyaan menukik sekaligus tajam, kritis dan membakar emosi bagi setiap penganutnya. Begitulah pertanyaan dari  Alm. Romo Berthold Anton Pareira, OCarm.
Romo Berthold Anton Pareira adalah Pakar Kitab Suci Perjanjian Lama dan Guru Besar Kitab Suci di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang.
Puluhan tahun beliau menghabiskan studi dan pendalaman seputar naskah-naskah kuno di Timur Tengah.
Ketika saya masih berstatus sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, sosok Alm. Romo Berthold Anton Pareira selalu mengajarkan semak-beluk naskah kuno Perjanjian Lama yang dikemas dengan bahasa yang ringan dan populer di era milenial.
Siang itu, ketika kami mengikuti kuliah Teologi Kitab Suci Perjanjian Lama, Romo Pareira melontarkan pertanyaan kepada kami semua.
Apakah Yesus memberi kebahagiaan bagi kalian? Mahasiswa yang duduk di bagian belakang pun seketika disambar petir pada siang bolong. Gegara pertanyaan menukik, tajam dan kritis seputar kepercayaan Kristiani.
Saya pun yang  tertidur pulas di bagian belakang, perlahan-lahan mulai membuka mata sekaligus menjadikan pertanyaan dari alm. Romo Pareira untuk sejenak berefleksi akan kehidupan saya yang waktu itu sebagai seorang Frater (Seminaris).
Setelah dicernah dan melalui pergumulan yang sangat panjang, saya menarik benang merah akan kehidupan Seminaris dan pengikut Kriatiani di manapun. Jika Yesus memberi kepuasan, untuk apa kita selalu mencari sensasi di ruang publik?
Sensasi yang kita ciptakan juga sangat beragam. Seorang Seminaris ataupun Imam, maaf mulai melontarkan rayuan maut kepada ibu-ibu. Lantas di manakah letak kepuasan batin dengan Yesus yang adalah jalan penerangan hidup kita sebagai umat Kristiani?
Kasus seperti ini memang sejak zaman dulu sudah ada. Dan ini adalah rahasia terbesar dan tergelap Imam Katolik hingga saat ini.
Jika anda tak percaya, cobalah bertanya dan sharing dengan umat Kristiani seputar kehidupan Seminaris dan Imam Katolik di era digital.
Saya sangat bersyukur pernah dibina dan diajarkan oleh alm.Romo Pareira yang merupakan pakar Kitab Suci Perjanjian Baru sekaligus Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang.
Dari sana saya tahu bahwa beragama itu adalah hubungan personal antara kita penganutnya dengan Pemberi Kehidupan. Untuk apa kita pamer kepercayaan agama kita kepada orang lain? Jika, beragama itu semacam KTP dan ajang untuk mencari sensasi, orang Athenis lebih manusiawi daripada kita yang mendagu beragama.
Seminaris semasa di pembentukan awal (formasi/postulan/dasar) tidak hanya berurusan dengan bidang Teologi. Tapi, selalu bersentuhan dengan Filsafat demi menakar iman kepercayaan seseorang.
Belajar Filsafat bukan mengarahkan kita untuk menjadi Atheis. Melainkan semakin berfilsafat, kita semakin beriman kepada Pencipta.
Lebih lanjut, jika Yesus memberi kebahagiaan dan kepuasan batin bagi pengikut-Nya, untuk apa seorang Seminaris mencari kepuasan lain bersama kaum awam?
Sebaliknya, jika kita sebagai umat Kristiani sudah merasakan kepuasan batin bersama Yesus, untuk apa kita tidak peduli pada nilai-nilai kemanusiaan?
Untung saja kita tidak mabok agama. Lebih baik berfilsafat dan meningkatkan iman kepercayaan kepada Sang Pencipta yang selalu hadir dan bersentuhan dengan kita setiap hari.
Agama itu adalah ajaran moral dan etika untuk mengarahkan pengikutnya menjadi manusia yang peduli dan berempati, serta menghindari ujaran kebencian dengan orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Bukan menjelekkan orang lain setiap memberikan ceramah entah di manapun.
Miris ketika kita melihat bangsa kita. Seandainya orang fanatik kepada nilai-nilai kemanusiaan itu lebih berfaedah, daripad afanatik dalam beragama. Urusan hidup dan mati seseorang itu bukan ditentukan oleh agama tertentu. Melainkan setiap orang sudah ada waktunya. Ada waktu kita dilahirkan dan ada saatnya kita menutup mati. Entah dengan cara apapun jalan kepergian kita kepada Sang pencipta, kita pun tidak pernah tahu.
Lebih sadis, jika kematian sesama yang berbeda keyakinan itu sudah didesain secara komprehensif oleh semua pihak, mulai dari tingkatan dasar hingga tertinggi dalam negara tertentu.
Terkadan kita harus bersikap kritis kepada kepercayaan kita. Tujuannya adalah kita semakin diperbaharui cara pandang dan pola pikir yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya.
Salam Bhineka Tunggal Ika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H