Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group || Jika berkenan, mampirlah di blog saya Tafenpah.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengekangan Ekspresi Perempuan di Panggung Literasi Oleh Kapitalis

23 April 2021   14:39 Diperbarui: 23 April 2021   14:45 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengekangan ekspresi perempuan di panggung literasi oleh kapitalis. Pixabay.

Pengekangan kapitalis zaman now memang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kebebasan ekpresi setiap orang.

Setiap orang didorong untuk tampil ekspresif. Tapi pada kenyataannya sistem uni sovyet zaman now masih diteruskan oleh segelintir orang. Segala sesuatu yang masuk harus dikurasi.

Padahal kekayaan aset tertentu dari kerja keras ribuan orang hanya dinikmatin sepenuhnya oleh segelintir orang. Dunia uni sovyet kembali menggema dalam kehidupan zaman digital.

Tak salah Max Weber pernah mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Menarik Topil dari kompasiana hari ini yakni "Mau Mengekspresikan Diri Aja Kok Banyak Hambatannya?"

Sekadar terbersit logika nakal dalam benak pikiranku. Perempuan disuruh untuk ekspresif dalam segala hal, termasuk hobinya. Tapi, mengapa hingga kini banyak penulis perempuan masih menangis, tatkala hasil jerih payahnya tak dihargai oleh admin? Apakah ini yang disebut ekspresif? Ataukah ini termasuk pengekangan dan pengerdilan minat segelintir perempuan dalam menulis?

Entahlah yang tahu hanya yang berkuasa. Sebagai penulis, saya pun sudah lama disentimen, tapi saya selalu merasa bodoh amat. Karena apa yang benar saya bicarakan. Toh kegiatan menulis bagi saya adalah bagian dari ekspresif.

Penulis Perempuan

Diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya di panggung hiburan. Melainkan di dunia literasi juga. Perempuan selalu didiskriminsi oleh anak bawang, gegara rivalry popularitas.

Dan yang mendiskriminasikan terhadap perempuan adalah segelintir orang yang berkuasa. Berkuasa dalam artian partikular bukan singular dalam dunia filsafat.

Penyebab dari rivalry popularitas adalah ideologi kapitalis masa kini. Bila kapitalis yang murni, setiap orang akan diberikan kebebasan yang sama untuk berekpresif. Tapi, bila kapitalis fanatik dan sudah bercampur  dengan ajaran komunisme baru, segala sesuatu akan menjadi rumit. Serumit rumus matematika yang dari dulu hingga kini saya tidak bisa pahami.

Belakangan ini rasanya panggung literasi dialienasi dengan istilah karantina. Tatkala melihat tulisan dikarantina oleh penguasa, hati dan tulang rusuk pun lunglai tak berenergi. Segala sesuatu yang di depan mata mulai hancur berantakan.

Orang yang tinggi ilmunya akan berani mengakui kesalahan dan menerima kritik. Sebaliknya orang yang masih berada di level kepalanya, akan bertindak frontal dan menggunakan kekuasaannya untuk mendiskriminasi mereka yang lemah.

Lemah bukan tak bisa melawan. Tapi lebih tepatnya adalah menahan emosi, hati dan pikiran untuk tetap fresh di bulan berkah ini.

Salam perempuan ekspresif, peraih panggung literasi. Maka berilah kebebasan bagi penulis perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun