Pengekangan kapitalis zaman now memang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kebebasan ekpresi setiap orang.
Setiap orang didorong untuk tampil ekspresif. Tapi pada kenyataannya sistem uni sovyet zaman now masih diteruskan oleh segelintir orang. Segala sesuatu yang masuk harus dikurasi.
Padahal kekayaan aset tertentu dari kerja keras ribuan orang hanya dinikmatin sepenuhnya oleh segelintir orang. Dunia uni sovyet kembali menggema dalam kehidupan zaman digital.
Tak salah Max Weber pernah mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Menarik Topil dari kompasiana hari ini yakni "Mau Mengekspresikan Diri Aja Kok Banyak Hambatannya?"
Sekadar terbersit logika nakal dalam benak pikiranku. Perempuan disuruh untuk ekspresif dalam segala hal, termasuk hobinya. Tapi, mengapa hingga kini banyak penulis perempuan masih menangis, tatkala hasil jerih payahnya tak dihargai oleh admin? Apakah ini yang disebut ekspresif? Ataukah ini termasuk pengekangan dan pengerdilan minat segelintir perempuan dalam menulis?
Entahlah yang tahu hanya yang berkuasa. Sebagai penulis, saya pun sudah lama disentimen, tapi saya selalu merasa bodoh amat. Karena apa yang benar saya bicarakan. Toh kegiatan menulis bagi saya adalah bagian dari ekspresif.
Penulis Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya di panggung hiburan. Melainkan di dunia literasi juga. Perempuan selalu didiskriminsi oleh anak bawang, gegara rivalry popularitas.
Dan yang mendiskriminasikan terhadap perempuan adalah segelintir orang yang berkuasa. Berkuasa dalam artian partikular bukan singular dalam dunia filsafat.
Penyebab dari rivalry popularitas adalah ideologi kapitalis masa kini. Bila kapitalis yang murni, setiap orang akan diberikan kebebasan yang sama untuk berekpresif. Tapi, bila kapitalis fanatik dan sudah bercampur  dengan ajaran komunisme baru, segala sesuatu akan menjadi rumit. Serumit rumus matematika yang dari dulu hingga kini saya tidak bisa pahami.