Budaya melambangkan jati diri seseorang. Mencintai alam ciptaan dari Sang Pemberi Kehidupan tak melulu soal manusia. Lebih dari itu adalah korelasi alam dan masyarakat Haumeni dalam merawat bumi.
Merawat bumi dengan cara apapun. Sejauh tidak membahayakan kehidupan manusia sendiri. Kehidupan masyarakat Haumeni masih kental dengan penghargaan kepada alam.
Salah satu penghargaan yang menyita perhatian penulis adalah tradisi penyembahan kepada "Oe Leu" (Sumber air suci) dari setiap suku yang ada di desa Haumeni.
Etimologi Oe Leu berasal dari bahasa dawan. Oe atau Oel  berarti air. Sedangkan Leu adalah sesuatu yang dikeramatkan. Jadi secara harfiah, Oe Leu berarti tempat sumber air yang dikeramatkan.
Setiap suku memiliki "Oe Leu" atau sumber air suku. Masyarakat Haumeni bila menemui kesulitan atau mengalami peristiwa alam, hal pertama yang mereka lakukan adalah mengadakan ritual penyembahan kepada para leluhur yang bersemayam di balik "Oe Leu."
Tradisi mengadakan ritual penyembahan  di 'Oe Leu" atau sumber air suci bukan merupakan penyembahan berhala. Karena antara tradisi dan kepercayaan masyarakat yang mayoritas beragama Katolik sudah diintegrasikan ke dalam tradisi Katolik.
Integrasi ritual ke tempat air suci atau "Oe Leu" sudah ada sejak Misionaris atau Imam-Imam Kongregasi  SVD dari Eropa. Tradisi mengunjungi "Oe Leu" atau sumber air suci biasanya tak menentu bagi setiap keluarga atau suku yang mendiami kampung Haumeni. Tergantung kebutuhan dari setiap suku dalam menyelesaikan persoalan yang ada.
Tradisi ini sangat menarik bagi penulis. Karena selama berada di "Oe Leu" atau sumber air suci, tua adat atau orang yang dipercayakan oleh setiap suku akan mengadakan dialog.
Dialog antara tua adat dan para leluhur yang bersemayam di balik sumber air suci. Umumnya setiap air suci masyarakat Haumeni dijaga atau dihuni oleh ular. Berupa ular Piton atau buaya.
Sesuai dengan mitos suku dawan Timor, buaya dipercayakan sebagai nenek moyang mereka. Tapi, di sini penulis tidak membahasnya. Karena masalahnya akan semakin melebar. Sekadar tambahan bagi pembaca.
Dialog ini terjadi sebelum dan sesudah mengorbankan hewan pilihan leluhur. Sebelum mengorbankan hewan pilihan leluhur di Oe Leu berupa sapi, babi dan kambing, tua adat akan meminta izin kepada para leluhur dengan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh tua adat.
Pengorbanan hewan pilihan leluhur pun terjadi, dan sebelum makam bersama di sumber air suci. Terlebih dahulu, tua adat akan memberikan makan kepada ular yang menjaga air suci berupa hati dari hewan yang dikorbankan.
'Natek kem Mnahat" atau memberikan makan kepada para penjaga air suci. Tempat yang digunakan adalah "Taka." Taka adalah sejenis anyaman dari daun lontar yang terlihat bulat atau bersegi empat. Nilai estetikanya snagat indah dan menawan hati.
Canda tawa dan makan bersama di tempat air suci memang menyimpan nostalgia bagi setaip masyarakat Haumeni. Karena di situlah letak kebersamaan keluarga yang sudha lama berpisah.
Makna Penyembahan di Oe Leu atau Air Suci antara lain
1. Menyembuhkan Penyakit
Masyarakat Haumeni bukannya tidak mempercayai tim medis tatkala sakit. Tapi mereka sebelum ke dokter, hal pertama yang mereka lakuan adalah mencari sebab dan akibat, dibalik penyakit yang diderita oleh salah satu anggota keluarga.
Mereka akan pergi meminta petunjuk ke orang pintar, bukan dukun. Setelah menerima petunjuk yang jelas dari orang pintar atau Indigo, mereka segera berkunjung ke "Oe Leu" atau sumber air suci.
Kesembuhan pun didapatkan oleh anggota keluarga yang sakit.
2. Memperbaiki Komunikasi Dengan Leluhur
Tradisi berkunjung ke sumber air suci sebagai ajang perekat emosional antara leluhur dan mereka yang masih berziarah di bumi. Setelah memperbaiki relasi dengan leluhur di sumber air suci, mereka akan dimudahkan dalam melakukan sesuatu. Caranya serupa dengan apa yang penulis paparkan di atas.
3. Ajang Temu Keluarga
Manusia adalah makhluk pencari. Begitulah filosofi dawan yang masih relevan hingga saat ini. Sebagai mahkluk pencari, tentunya merantau adalah pilihan yang tepat bagi masyarakat Haumeni dalam mencari kehidupan dan kebahagiaannya di mana pun.
Pencarian akan kebahagiaan membawa setiap orang untuk menjelajahi nusantara. Bahkan ada yang mencari kehidupannya ke luar negeri.
Nah, untuk mengumpulkan anggota keluarga yang sudah lama berpisah, jalan satu-satunya adlaah melalui tradisi berkunjung ke Oe Leu atau sumber air suci. Karena di sana keluarga disatukan. Dari sana pula, harapan dan doa serta dukungan pun mengalir antar anggota keluarga.
Inilah hubungan emosional masyarakat Haumeni dengan alam. Di mana alam memiliki kedudukan yang tertinggi dalam tatanan kehidupan masyarakat Haumeni. Menghargai alam berarti menghargai alam ciptaan Tuhan.
Atau bahasa kerennya adalah "Justice, Peace, Integrity of Creation (JIPC). Masyarakat Haumeni tidak pernah belajar tentang cara menghargai alam dari buku atau teori mana pun. Apalagi berfilsafat. Melainkan tradisi lisan yang sudah mengakar kuat dalam setiap pribadi.
Kearifan lokal ini perlu dan harus ditulis, agar tidak ikut tergerus oleh kontaminasi budaya-budaya asing yang sudah sangat memprihatinkan generasi milenial dan alpa Haumeni. Terutama dalam melestarikan tradisi leluhurnya.
Filosofi kosmologis inilah yang mencerminkan pengakuan tertinggi masyarakat Haumeni kepada alam ciptaan. Sekiranya melalui potretan yang sederhana ini, bisa memberikan secuil harapan bagi pembaca untuk mengabadikan kearifan-kearifan lokal ada di setiap daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H