Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group || Jika berkenan, mampirlah di blog saya Tafenpah.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perdebatan Sengit di Hari Pernikahan Winda

17 Maret 2021   06:50 Diperbarui: 17 Maret 2021   09:52 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan Winda dan lelaki pilihan orangtuanya. Foto dari Pixabay.

Episode ke-5 'Skenarion Perjumpamaan di Kota Metropolitan Surabaya'

Aku memutuskan untuk meninggalkan kota kelahiran bapak Proklamotor RI, Ir. Soekarno (Surabaya), dan menuju kota Blitar sebagai kota pemakaman almarhum Bung Karno.


Aku masih berusaha untuk merekam setiap jejak langkah selama berpetualangan cinta di kota pahlawan Surabaya. Kota yang tertata rapi, indah dan nyaman bagi para pendatang, menjadi ciri khas Wali kota saat itu, Ibu Tri Rismaharini.

Diantara banguanan pencakar langit kota Metropolitan Surabaya, aku menggunakan Kereta Api Penataran. Sebuah Kereta Api lokal yang melayani antar kota Suarabaya -- Malang -- Blitar.

Tepat cakrawala berada di garis khatulistiwa, aku meninggalkan kota Surabaya menuju kota Apel (Malang). Perjalanan yang sangat menyenangkan. Karena pemandangan alam yang sangat menawan hati.

Goresan-goresan rindu semakin mengejar aku untuk bersua dengan Winda di hari pernikahannya. Cakrawala kembali bertengger di ujung Barat, Kereta Api yang aku tumpangi tiba di Stasiun Malang.

Selama berada di Stasiun kota Malang, aku berhenti sejenak untuk mengumpulkan keberanian, sebelum melanjutkan perjalanan menuju kota kelahiran admin Komunitas Penulis Berbalas (KPB) Anis Hidayati.

Secuil rasa tertambat di antara kelap-kelip Stasiun kota Malang. Aku mencoba untuk mengalihkan perasaan yang sudah berlarian, melintasi ubun-ubun kepala, dengan membangun dialog. Dialog lintas intercultural (lintas budaya).

"Mas piye kabare?" Tanyaku.
"Sae-sae mawon, mas."

 Selebihnya aku bertanya menggunakan bahasa pemersatu bangsa.

"Kira-kira apa yang bisa dilakukan oleh Mas, tatkala menghadiri acara pernikahan mantan pacar?"
Catatan mantan pacar. Bukan deretan barisan para pencuci uang rakyat yang hidupnya belepotan dengan norma dan hukum yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat.

"Yang bisa saya lakukan adalah membawakan bunga dan mengucapkan selamat menempuh kehidupan yang baru."
"Jawaban yang sederhana, tapi aku tak puas dengan jawabannya. Karena terkesan jawaban klise. Yang aku butuhkan adalah solusi, bukan jawaban ala kadarnya! Celotehku dalam hati.
"Apakah mas pernah mengalami hal serupa?"
"Belum pernah mas."

Ya, ampun bang jago. Kayaknya aku salah bertanya. Lalu aku memutuskan untuk terus memendam perasaan dilematis dalam diriku.

Malam menjemput bintang, aku melanjutkan perjalanan menuju kota Blitar. Perjalanan yang meliuk-liuk diantara indahnya kelap-kelip kota Malang.

Bunyi rel kereta api adalah irama yang menemani perasaan dilematis dalam diriku. Tetiba di Stasiun kota Kediri, aku berjibaku dengan rasa kantuk dan rindu yang sudha lama ditahan oleh kisah cinta terlarang dari orangtua Winda.

Acara pernikahan Winda dan lelaki pilihan orangtuanya dilangsungkan di Hotel Patria Plaza. Jl. Kartini, No.10, Kepanjenkidul, Blitar, Jawa Timur.

Jika seandainya waktu itu, aku sudah mengenal Mbak Anis Hidayati, pasti aku ingin mengajaknya, sebagai tetua yang mengerti kisah cinta anak muda. Tapi, sayangnya, aku terlambat mengenal sosok inspiratif di Kompasiana.

Setiap tarikan nafas selalu berirama ketakutan. Aku takut, bila orangtua Winda mengusir aku dari acara pernikahan Winda.

Malam itu suasana cukup ramai. Maklum acara kondangan yang melibatkan sanak keluarga dan kenalan dari keluarga Winda dna lelaki pilihan orangtuanya.

Dari kejauhan aku menatap tajam Winda, sembari menahan rasa rindu dan kecemburuan yang semakin mengundang kemarahan. Tapi, aku hanya memandang Winda duduk bersanding dengan lelaki pilihan orangtuanya.

Winda yang aku kenal, terlihat murung dan tak menikmati acara pertunangan pada malam itu. Karena pernikahan yang tidak dilandaskan pada cinta. Melainkan pernikahan yang dimotori oleh ambisi keluarga dalam urusan bisnis keluarga.
"Sampeyan saking nang ndi?" Tanya lelaki paruh baya yang sangat mengagetkanku
"Kula saking Timor." Jawabku.
"Lah, kamu ke sini ngapain?"
"Aku ke sini untuk menepati undangan pernikahan dari Winda."
"Oh, temannya Winda, ya."
"Betul Pak."

Tak lama kemudian, orangtua Winda melihatku dari kejauhan. Lalu, mereka menghampiriku.

"Kamu ngapain ke sini?"
"Aku ke sini hanya untuk mengucapkan selamat perpisahan sekaligus ikut berbahagia atas pernikahan Winda." Bahagia dalam penderitaan (celoteh dalam diriku).


"Tak perlu kamu ke sini! Karena kami sudah memutuskan pasangan yang seiman dan terbaik bagi Winda."
"Maaf, aku bukannya mau mengajarkan kepada Bapak dan Ibu, tapi cinta itu tak mengenal status apapun."
"Ah, itu teori yang tak berguna di dalam kehidupan nyata." Bentak orangtua Winda."
"Aku berhati-hati untuk meladeni amarah dari orangtua Winda, sembari mengamati keadaan sekitar, tatkala mereka mengusir aku dari acara pernikahan Winda.'


"Sekali lagi ya, kami tegaskan, Winda sudah menemukan pasangan yang serasi. Jadi, kamu berhenti untuk mengejarnya!"
"Tapi, aku sangat mencintai Winda!"
"Memangnya, setelah nikah, kamu mau kasih makan anak kami dengan cinta? Hey, pernikahan itu bukan hanya soal cinta, tapi soal makan dan minum."


"Tapi, pernikahan tanpa cinta adalah penyiksaan terberat bagi siapapun, termasuk Winda."
'Alah, jangan sok bijak di depan kami, anak muda!"
"Aku bukan sok bijak, tapi itulah kenyatann hidup."
"Memangnya kamu sudah berkeluarga?"

"Tentunya belum. Tapi, aku melihat dan belajar dari pengalaman keluarga yang berada di lingkungan sekitarku."
"Anak muda, sekali lagi, tolong pergi dan jangan mengacaukan pernikahan Winda!"
"Tapi, sebelum aku pergi, izinkan aku untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Winda.'
"Nanti kami sampaikan. Dan mohon maaf, kami tidak merestui hubungan kamu dengan Winda. Karena pada dasarnya, kalian berbeda budaya, bahasa, ras dan golongan."

Aku merasa didiskriminasi pada malam itu. Tapi, aku mencoba untuk melihat dari sisi orangtua yang mengharapkan kehidupan yang terbaik bagi anaknya. Barangkali kesusahan mereka di zaman lampau, menajadi pelajaran berharga bagi mereka untuk seektif dalam memilih pasangan yang sepadan dengan anaknya. Tujuannya adalah anaknya tidak mengalami nasib yangs serupa dengan mereka.

Jalan rekonsiliasi yang sebelumnya ingin aku bangun bersama Winda dan orangtuanya ambyar. Semua itu karena masalah perbedaaan kepercayaan.

Aku memutuskan untuk pergi merantau ke kota lain lagi. Tujuannya untuk melupakan kenangan indah bersama Winda. Winda hanya menatap kepergianku pada malam perpisahan itu.

Sementara orangtua Winda tak menghiraukan kepergianku. Malah mereka senang, tak ada yang mengganggu pernikahan anaknya.

Cinta memang tak mengenal dari mana kita berasal. Di mana kita bertemu dan menjalin komunikasi dan perjumpaan yang intens, di situlah cinta bersemi. Tapi, pada kenyataannya, kisah cinta beda agama di dalam kehidupan bermasyarakat kita masih menjadi hal terlarang dan sulit untuk dijalani. Pada, perbedaan itu unik dan indah.

Selamat tinggal Winda. Selamat menempuh kehidupan yang baru bersama lelaki pilihan orangtu kamu. Mohon maaf, bila aku  pernah berakrobat di dalam sudut terdalam hati ku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun