Goresan Asmara di Kota Tulungagung
Sambungan dariTatkala cinta aku dan Winda terhalangi oleh tembok humanisme agama, seenggaknya kami berselancar dengan "backstreet" alias hubungan terlarang.
Langit kota Tulungagung masih sepi dan seakan-akan terbelah menjadi dua. Hubungan terlarang aku dan winda senada hubungan dalam tatanan kasta. Hubungan tersulit bagi seorang pria/wanita Sudra untuk memadu asmara dengan tambatan hatinya yang berasal dari kasta Brahmana.
Tapi aku tak peduli! Karena aku dan Winda setiap jam pasti mengabarin melalui via pesan WhastApp. Bahkan tempat kerjaanku berdampingan pula. Jadi, aku bebas masuk area Toko Roti tempat Winda bekerja.
Winda memiliki seorang sahabat, sebut saja namanya Anita. Anita adalah gebetan pertama aku. Tapi, dari gelagaknya yang sok tomboy, akhirnya aku mengurungkan niatku untuk mendekatinya.
Setiap kali aku lewat depan Toko Roti, pasti mereka berdehem-dehem. Sembari gelabakan melayani para pembeli. Cieeee sok terkenal hanya dalam sesaat.
Kisah cinta terlarang antara aku dan Winda membawa kemarahan yang amat besar bagi Ibunya. Ibunya Winda terpaksa membohongi kami. Kebohongan terbesar seorang ibu untuk menyelamatkan anaknya dari seorang lelaki yang berbeda keyakinan.
Apakah cinta itu mengenal tembok pembatas? Apalagi menyoal kehidupan privat setiap orang kepada Sang Pencipta? Ah, sudahlah! Aku terpaksa tersenyum kepada semua orang. Walaupun pancaran mataku tak bisa membohongi semesta.
Ya, aku juga memahami kecemasan ibunya Winda. Karena seorang ibu, apalagi dalam lingkungan mayoritas tidak bisa berdaya, tatkala dihakimi karena telah memberi restu bagi anaknya untuk menjalin asmara dengan lelaki yang berbeda dari mereka.
Aku juga merasakan kesedihan yang terpancar dari sinar mata Winda. Ia sangat terluka dengan sikap ibunya. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Disposisi batin aku, Winda dan keluarganya menyatu dalam perpisahan yang amat menyakitkan.
Winda terpaksa berhenti bekerja dari Toko Roti itu. Aku menjalani hari-hari, bagaikan sang Musafir yang tak tahu tujuan pengembaraannya.
Sebagai penjaga Caf, aku selalu berusaha untuk mengesampingkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Ya, biar terlihat profesional. Walaupun hati ini rasanya ingin menjerit. Aku melewati masa-masa tersulit di langit kota Tulungagung.
Tatkala hati ini terus menjerit, aku berusaha untuk mencari Winda di kota kelahirannya. Aku memutuskan untuk cuti kerja, dengan alasan mengunjungi sanak family yang ada di kota Kediri.
"Koko, hari ini saya izin untuk mengunjungi sanak keluarga yang ada di Kediri."
"Loh, Koko tahu nih, pasti nyari Winda ya?"
"Hmmmm, bukan Koko. Sembari aku mengibas sisa-sisa keringat yang mulai menjalar disekucur tubuhku."
"Nah, kamu bohong sama Koko ya?
"Ya koko."
Koko tahu beberapa hari belakangan ini, kamu tidak fokus untuk kerja. Ya, itu semua karena Winda kan?
Mampus interogasi dari Koko yang tidak pernah melesat. Ya, sudah lah. Koko beri kamu waktu cuman 2 hari aja ya. Terima kasih Koko.
Koko yang baik hati dan pengertian mengizinkan aku untuk mengejar Winda ke kota Kediri. Langit kota Tulungagung masih berawan, aku menggunakan salah satu kendaraan roda dua milik koko untuk mengejar Winda.
Tepat pukul 8.00 WIB, aku tiba di kota Kediri. Aku mulai menyusuri indahnya kota Kediri untuk mencari Winda. Ratusan pertanyaan tak memberikan arah yang jelas. Aku putus asa. Lalu, aku memutuskan untuk kembali ke kota Tulungagung.
Tapi, masih ada rindu yang tertahan di kota Kediri. Aku mulai mencari Winda. Memang kalau jodoh, enggak akan ke mana-mana. Aku menemukan rumah Winda, di salah satu desa yang sejauh mata memandang, segalanya menyejukan dan menakjubkan.
Rasanya lega bercampur was-was, tatkala aku mulai mendekati rumah milik Winda. Hati kecilku masih bertanya, apakah benar ini rumah Winda? Karena aku mendapatkan petunjuk dari warga sekitar, bahwasannya itulah rumah Winda. Tapi, aku masih merasa aneh dengan rumah itu.
Sekadar aku memalingkan pandangan mataku ke arah salah satu sudut rumah. Di antara rel Kereta Api yang membelah permukiman warga, mataku bertautan erat dengan sosok mata yang tak asing lagi dalam hidupku. Ya, perempuan setengah baya itu adalah ibunya Winda.
Bahtera keberanianku dalam seketika hancur lebur bersama bisingnya suara Kereta Api yang barusan lewat. Aku kembali kehilangan ibunya Winda. Apes sudah hidupku. Aku kehilangan jejak wanita paruh baya itu. Lalu, berakhir pada tangisanku yang membangunkan seantero kota Kediri.
Bersambung...........................
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H