Hembusan angin nan sepoi-sepoi, aku terpesona di bawah bayangan mentari pagi. Tatkala rindu memanggil, aku berontak. Layaknya amarah yang sudah beberapa hari dipendam oleh emosi-emosi negatif di dalam diriku.
Ya, aku berontak. Karena kegiatan harianku sekarang sudah semakin bertambah, seiring dengan suara mesin ATM-ku yang selalu berteriak. So, aku memutuskan untuk berhenti mengulik aksara. Demi menyelamatkan saldo ATM-ku.
Tapi rasanya tak mungkin. Karena panggilan jiwaku selalu bertautan erat dengan diksi-diksi kerinduan dalam nadi aksara. Alaaaamak, aku kembali berada di dalam pusaran dilema. Dilema dalam membagi waktu kerja dan menulis.
kata para filsuf bahwasannya kebahagiaan hanyalah didapatkan melalui kerja. Karena dalam bekerja, kita memperoleh kematangan emosi. Kematangan emosi yang menyangkut ketenangan dan kedamaian saldo ATM.
Sementara menulis adalah bagian mereka yang sudah memiliki kematangan emosi. Artinya, orang yangs sudah matang secara finansial. Ketika orang yang sudah matang secara finansial, ia bebas berakselerasi dengan dunia ide.
Setelah ditimang, aku kembali mendapat pencerahan. Tapi, prahara jiwa pengulik aksara selalu memiliki magnetik dalam jiwaku. Ya, memang mengulik aksara dari sisi penghasilan tak seberapa, tapi ada kepuasan batin. Sementara bekerja, segalanya sudah pasti setiap bulan.
Aku semakin bingung dan bimbang dengan profesi pengulik aksara di republik ini. Ya memang kata Pak Khrisna Pabichara bahwa, jangan bermimpi untuk menjadikan profesi penulis sebagai sandaran hidup. Lebih baik memiliki cita-cita sebagai Guru, Dokter, Polisi, dll. Karena profesi ini sudah fix dari sisi kelayakan hidup. Profesi penulis sebagai kebutuhan sekunder atau sampingan saja.
Hai anak muda jangan bermimpi jadi penulis di republik ini! Biarkan profesi penulis hanyalah kami yang mampu bertahan dalam situasi apapun.
Ah, kamu gimana sih? Logika kamu dibolak-balik, jadinya bingung deh! Ya, lebih baik bingung dalam dunia logika, daripada bingung tak punya penghasilan setiap bulan. Hehehe.
Dalam ranah ini, aku bukan pengajar paham satiris dan skeptisme, apalagi paham xenofobia ya. Aku hanya menyampaikan pengalaman sebagai kuli tinta yang penghasilannya kembang-kempis setiap bulan.
Dulu aku adalah pengkritik ajaran Marxisme tentang alienasi atau keterasingan dalam dunia kerja. Selain itu, aku juga pengkritik dunia iklan dalam kaca mata Herbert Marcuse. Tapi, sekarang aku adalah penyembah ajaran kedua filsuf di atas.
Ya, karena segala sesuatu yang berada di dunia ini tak pasti. Ketika aku terus menolak ajaran Marxisme dan Herbert Marcuse, sama saja aku menjerumuskan diriku ke dalam ranah kemelataran. Karena sejatinya, pemilik atau pengendali mesin ATM-ku ada dalam dunia kerja.
Ketika mengulik aksara, aku hanya mengikuti arah logikaku. Tapi, aku juga perlu bersikap realistis, bahwasannya mengulik aksara tanpa kebutuhan finansial yang cukup, sama saja aku berteori yang ujung-ujungnya hanya sebatas ilusi belaka.
Ilusi berteori boleh, asalkan adanya keseimbangan antara menulis dan bekerja. Demikian potretan prahara rindu tatkala tak bisa menulis di buku diaryku hari ini.
Selamat pagi dan selamat beraktivitas rekan seperjuanganku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI