Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group || Jika berkenan, mampirlah di blog saya Tafenpah.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menulis Blog, Mengapa Pakai Bahasa Ilmiah?

8 Januari 2021   12:47 Diperbarui: 8 Januari 2021   13:09 1760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sini saya bukan peracik artikel yang nyaman bagi pembaca, ya. Karena hampir semua karya saya terkesan kaku dan berat. Karena cara peracikan saya cenderung mengikuti gaya kepenulisan Filsafat, Sosial, Budaya (Humaniora) yang sudah ketinggalan zaman di mata penikmat.

Tapi, saya menyadari bahwa, untuk menjadi primadona bagi penikmat aksara, tak ada teknik atau cara lain, selain latihan ekstra. Latihan ekstra di sini adalah menulis lebih banyak daripada orang lain. Semakin banyak jam terbang, gaya kepenulisan kita akan ringan dan bersahabat dengan penikmat aksara.

Kita ikuti gaya latihan ekstra ala Cristiano Ronaldo selama di lapangan hijau. Ia meluangkan waktu lebih banyak untuk latihan. Saat rekan-rekannya pada bersantai ria, ia tetap latihan. Dan, hasil latihan ekstra Cristiano Ronaldo sudah tak diragukan selama berada di lapangan hijau. Nah, serupa, seirama dengan kita dalam dunia kepenulisan. 

Ikuti Kemauan Pembaca

Pembaca atau penikmat yang menilai karya kita. Apa yang kita tulis, belum tentu diterima oleh pembaca. Jadi, tak ada salah, kok, bila kita mengikuti kemauan dari pembaca. Seperti, menulis artikel tak perlu memakai bahasa yang baku. Pembaca akan senang, bila tulisan kita berangkat dari bahasa keseharian dalam percakapan. Karena kita ini menulis blog, bukan menulis artikel ilmiah. Tapi, ini tergantung kepada setiap penulis. Karena bagaimana pun, jawaban dari poin ini akan berujung pada,'hidup adalah pilihan."

So, terima kasih untuk kamu yang sudah membaca coretan rasa dan pikiran di artikel ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun