Sudah lama aku memendam perasaan sesak di dalam diriku. Perasaan ini berawal dari perjumpaan bersama dengan teman -- temanku yang berasal dari budaya Jawa, Kalimantan, Sumatera, Bali, Lombok, Flores, Papua, Manado dll. Sebagai orang muda, aku merasa malu untuk menunjukkan eksistensiku sebagai orang Dawan. Mengapa?Â
Karena dengan menyebut nama Dawan saja, orang sudah menaruh sikap skeptis (ragu) terhadapku. Ketika dalam pergumulan itu, aku mulai bertanya. Pertanyaan yang paling mendasar adalah: Apakah aku ini orang yang tidak tahu apa -- apa? Ya. Memang aku tidak tahu apa -- apa.Â
Jika aku sudah mengetahui segalanya, mengapa aku harus belajar lagi. Bukankah dengan mengetahui segala sesuatu akan membuatku semakin merendahkan orang lain? Seandainya hal ini terjadi dalam diriku, berarti aku sudah menodai hakekat kemanusiaanku sebagai makhluk yang berakal budi. Karena akal budi diberikan oleh Sang Pencipta kepada manusia untuk saling melengkapi dan digunakan pada ruang yang baik dan benar.
Sembari menikmati imajinasiku yang semakin liar itu, aku disadarkan oleh keadaan di sekitarku. Di mana, temanku yang berasal dari Batak (Sumatera) mengatakan bahwa,"Alangkah indahnya suatu hari aku bisa hidup dan berkarya di tengah -- tengah kebudayaanmu." Ha? Apakah aku tidak salah dengar? Tidak!Â
Secara sepintas terbersit perasaan bangga dan bahagia dalam diriku. Selain itu, peristiwa perjumpaan ini merupakan tamparan keras dalam diriku. Di mana, peristiwa ini mengajak aku untuk keluar dari zona nyamanku. Artinya, aku harus meninggalkan perasaan inferioritas (rendah diri) dalam diriku. Teristimewa keluar untuk membagikan budayaku dengan orang lain.
Budayaku jati diriku merupakan ungkapan yang mempunyai sarat makna. Makna yang paling esensial adalah aku harus menunjukkan eksistensiku sebagai orang Timor (Dawan). Aku bersyukur, karena bergabung dengan konggregasi Serikat Sabda Allah (SVD), yang telah mengajarkan kepadaku untuk selalu mencintai kebudayaanku dan tidak eksklusif dengan budaya lain.Â
Kecintaanku dengan kebudayaan Timor (Dawan) telah menghantar saya pada relasi yang semakin inklusif dengan budaya -- budaya lain. Sebagai pendekatan kontekstual adalah aku selalu mengikuti pesta budaya ataupun hari budaya Jawa, Kalimantan, Sumatera, Bali, Lombok, Flores dan Papua. Keikutsertaanku pada acara -- acara budaya tersebut, tidaklah hanya sebagai seorang pendengar dan penikmat saja, melainkan aku juga mengambil peran penting dalam acara  tersebut.
Waktu pun terus berjalan, aku  sadar untuk membagikan pengalaman budayaku kepada teman -- temanku yang berasal dari budaya lain. Pengalaman ini merupakan pengalaman yang sangat menginspirasiku untuk selalu mencintai budayaku. Karena budaya merupakan simbol atau tanda kemanusiaanku sebagai makhluk yang berbudaya.Â
Oleh karena itu, aku harus lebih intensif dalam memperkenalkan budayaku kepada orang lain. Singkat kata, aku telah berhasil menjadi manusia yang berbudaya. Karena budaya yang aku miliki, tidaklah hanya untuk diriku sendiri. Melainkan budayaku juga harus dikenal oleh orang lain. Inilah makna eksistensiku sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk yang berbudaya. Lalu muncul pertanyaan, di manakah letak eksistensi bagi orang yang belum membagikan budayanya kepada orang lain?Â