Manusia tak pernah memilih keluarga, tempat, negara di mana ia dilahirkan. Tapi, apa yang anda rasakan bila terlahir sebagai anak pertama?Â
Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan sahabat lama yang sudah sekian tahun hijrah ke kota metropolitan.Â
Layaknya hijrah para pesepak bola mega bintang dunia mendekati setiap bursa transfer musim panas dan dingin setiap tahun. Sekadar saya ber'say-hello' untuk melepas kangen yang sudah sekian tahun ditahan oleh semesta.
Purnama menggantung indah di angkasa, seolah-olah ia sedang membaca 'Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat' karya Mark Manson. Saya mencoba untuk membangun komunikasi yang sudah sekian tahun hanya melalui medsos.Â
Namun, saya tak menyangka bahwa dia sedang dirundung nestapa penderitaan batin. Sebab senyumannya tak memancarkan ketulusan. Ia boleh membodohi semesta, tapi ia tak akan membodohi diriku yang sedang memandangi pancaran matanya yang penuh dengan derita.
Apakah kehidupan hanya berada pada lingkaran pertempuran antara kebaikan dan kejahatan dalam pandangan humanisme? Saya tidak tahu apa-apa. Berangkat dari ketidaktahuan, saya mencari akar permasalahan yang sedang diderita oleh sahabatku.Â
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"Â
"Saya hanya memikirkan bagaimana caranya saya membiayai pendidikan adik-adikku dan keluargaku.''
"Memangnya ayah kamu tak mampu untuk membiayai pendidikan adik-adik dan keluargamu?"
"Tidak!"
Saya terjebak oleh perasaan bersalah kepada sahabatku. Karena saya telah mengorek kembali kisah pilu dan sayatan hati yang sudah lama dilukai oleh kehidupan keluarganya. Saya lunglai dalam perasaan bersalah di bawah rembulan.
"Bolehkah kamu menceritakan masalah yang sedang kamu alami?"
"Saya tak sanggup untuk menceritakannya."
"Silakan cerita aja, siapa tahu saya punyai solusi untuk masalah kamu."
"Maaf saya tak bisa berbagi dengan kamu."
"Okeylah, saya sangat menghargai privasi kamu."
Saya terus mencoba untuk mencari jawaban dari permasalahan sahabatku. Akhirnya, sesampai di laut, saya menemukan jawaban di antara karang dan matahari. Tapi,,,,,,saya tak bisa menceritakannya kepada anda!
Esok pagi, saya kembali membuka jendela, saya menemukan sepucuk surat. Isi suratnya adalah "Fred, saya hanya terpaku menatap langit. Sebab almarhum orangtuaku telah menitipkan beban ekonomi keluarga di pundakku."
Saya merasa gelisah dengan sepucuk surat yang dikirimkan oleh sahabatku. Lalu, saya segera menemuinya di sebuah kafe yang tak jauh dari tempat kerjaku.Â
Di sana kami menghabiskan waktu untuk saling curhat. Isi curhat hanya berkisar pada kehidupan. Karena kehidupan tak bisa diprediksi dengan logika.
Senja telah kembali kepada pangkuan Sang Pengada di balik perbukitan. Lalu, ia menciptakan sejarah dalam pahatan kata melalui proses mengeja zaman dalam paripurna beban pundaknya yang sudah tak kuat untuk menahan segala cobaan hidup.
Alhasil, kami menciptakan sejarah, lalu kami menuliskannya supaya esok kami menceritakannya kepada anak cucu bahwa menjadi anak pertama itu adalah sebuah penderitaan.
Derita anak pertama adalah bagaimana mendewasakan pikiran, perkataan dan tanggung jawab untuk keluarga. Roda kehidupan akan terhenti, bila setiap anak pertama tak berani mengambil resiko untuk menyelamatkan keluarganya. Anak pertama sebagai tulang punggung ekonomi keluarga akan rela bekerja apa pun untuk kebahagiaan keluarganya. Bila anda tidak percaya, silakan sharing dengan setiap anak pertama yang ada di lingkungan sekitarmu.
Akhir kata, anda yang menjadi anak kedua, ketiga dst, silakan berterima kasih kepada anak pertama yang telah mengorbankan masa depan dan kebahagiaan usia mudanya untuk terus menebarkan kasih dan cintanya kepada anda.
Anak pertama, jangan menyerah karena cinta. Berjuanglah untuk terus mencintai keluargamu. Dan ringankan bebanmu dengan berbagi kisah dalam sejarah pahatan setiap kata dalam tinta kehidupan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI