Saya terjebak oleh perasaan bersalah kepada sahabatku. Karena saya telah mengorek kembali kisah pilu dan sayatan hati yang sudah lama dilukai oleh kehidupan keluarganya. Saya lunglai dalam perasaan bersalah di bawah rembulan.
"Bolehkah kamu menceritakan masalah yang sedang kamu alami?"
"Saya tak sanggup untuk menceritakannya."
"Silakan cerita aja, siapa tahu saya punyai solusi untuk masalah kamu."
"Maaf saya tak bisa berbagi dengan kamu."
"Okeylah, saya sangat menghargai privasi kamu."
Saya terus mencoba untuk mencari jawaban dari permasalahan sahabatku. Akhirnya, sesampai di laut, saya menemukan jawaban di antara karang dan matahari. Tapi,,,,,,saya tak bisa menceritakannya kepada anda!
Esok pagi, saya kembali membuka jendela, saya menemukan sepucuk surat. Isi suratnya adalah "Fred, saya hanya terpaku menatap langit. Sebab almarhum orangtuaku telah menitipkan beban ekonomi keluarga di pundakku."
Saya merasa gelisah dengan sepucuk surat yang dikirimkan oleh sahabatku. Lalu, saya segera menemuinya di sebuah kafe yang tak jauh dari tempat kerjaku.Â
Di sana kami menghabiskan waktu untuk saling curhat. Isi curhat hanya berkisar pada kehidupan. Karena kehidupan tak bisa diprediksi dengan logika.
Senja telah kembali kepada pangkuan Sang Pengada di balik perbukitan. Lalu, ia menciptakan sejarah dalam pahatan kata melalui proses mengeja zaman dalam paripurna beban pundaknya yang sudah tak kuat untuk menahan segala cobaan hidup.